Kursi putar itu berderit, menghasilkan bunyi yang menganggu di tengah ruangan yang hening itu.
Sebuah kruk yang diletakan di sisi kursi, yang terlihat berdiri tegak akhirnya menyerah ketika kursi kembali diputar dan menyebabkan kruk itu terkapar di lantai.
Si pelaku, hanya mendengus malas sambil bersandar dengan nyaman di badan kursi. Pemandangan luar ruangan yang tampak dari kaca besar itu sedikit menghiburnya setelah dirinya dilanda gelisah dan bosan hanya dalam dua jam setelah ia menempati ruangan ini.
Kini, derit kursi itu beradu dengan ketukan pelan dari pintu ruangannya. Kursinya kembali ia putar, menghadap ke arah pintu yang bahkan sudah sedikit terbuka.
"Saya tadi sudah akan membuatkan kopi untuk Bapak, tapi Pak Tian bilang Bapak hanya boleh minum teh atau air mineral untuk sementara waktu," ujar seorang perempuan dengan dress biru yang ceria. Wajahnya sedikit meringis, cemas kalau atasannya tidak puas dengan apa yang dia bawa.
"Its okay! Tian memang jagonya mengatur orang lain," balas Gibran. Matanya mengedik, meminta sekretaris yang baru dua minggu diterima di kantornya ketika ia berada dalam masa koma itu untuk menaruh gelas kecil yang mengepulkan asap ke atas meja kerjanya.
Prasasti, maju dengan langkah pelan. Menaruh gelas yang ia pegang dengan sangat hati-hati ke hadapan sang atasan.
"Dimana manusia yang melarang kamu membuatkan kopi untuk saya itu, sekarang?" tanya Gibran. Tangannya mengusap perban yang masih melingkar di keningnya, merasa tidak nyaman dengan sedikit rasa gatal yang terasa di sana.
Prasasti mengangkat wajah ketika misinya menaruh gelas itu selesai, langkahnya mundur hingga membuat jarak yang cukup dengan Gibran.
"Umm.. Tadi Pak Tian cuma bilang," Ia berdeham, kemudian menegakan tubuhnya. " 'Kalau Pak Gibran tanya saya kemana, bilang aja saya lagi mau ketemu sama team rahasia', begitu katanya, Pak," ujar Prasasti dengan menirukan nada datar yang biasanya digunakan oleh Tian.
Gibran mengangkat sebelah alisnya, sudut bibirnya sedikit terangkat melihat tingkah laku sekretarisnya yang konyol itu.
"Oke, kalau gitu kamu boleh kembali ke meja kamu," balas Gibran pada akhirnya.
Setelah Prasasti berbalik dan keluar dari ruangannya, barulah Gibran menghela napas berat.
Tadi Tian mengatakan jika dirinya akan bertemu dengan team rahasia. Team rahasia yang dimaksud adalah dua orang detektif yang Gibran sewa dalam misi mencari keberadaan Pelita. Ini sudah tiga hari semenjak dirinya mulai kembali beraktivitas di kantor, dan hingga detik ini pula dirinya belum menerima kabar tentang apakah Pelita benar-benar ada atau memang hanya mimpinya belaka.
Bunyi gelas yang bergesekan dengan piring kecil yang digunakan sebagai alas itu terdengar saat Gibran mengangkat gelas yang tadi diantarkan oleh Prasasti. Ia menyesap dengan perlahan cairan coklat dalam gelas itu, kemudian keningnya berkerut. Lidahnya tampak tidak terbiasa dengan rasa manis asam yang dihasilkan dari secangkir teh yang pekat itu. Dirinya lebih terbiasa menikmati cairan hitam pahit yang selama ini menjadi temannya sejak membangun perusahaan.
Tangannya mendorong cangkir itu pelan, menyerah untuk kembali menyesap teh itu. Perutnya bahkan merasa mual walaupun hanya menyesap sedikit saja.
Ia bangun dari duduknya, mengapit kruk yang dia punya di ketiak dan berjalan ke arah pintu. Ketika tangannya berhasil membuka pintu kayu ruangannya itu, matanya menangkap Prasasti yang terlihat fokus dengan layar monitor yang ada di hadapannya.
"Sas, minta tolong bawakan air mineral dingin ya," pintanya sedikit berteriak.
Gadis dengan rambut kunci kuda itu reflek langsung berdiri. Kemudian setelah bisa mengontrol dirinya, ia memasang senyum sambil mengangguk dalam.
"Akan saya bawakan segera, Pak," sanggup nya.
Gibran tersenyum tipis, kembali berbalik dan kemudian mendudukkan tubuhnya di atas sofa panjang di ruangannya. Dia yakin jika saja Tian ada disini, pria itu akan menatapnya dengan aneh sambil berkata 'buat apa ada interkom kalau lo masih harus repot-repot jalan ke depan buat minta sesuatu?'
Gibran terkekeh pelan, dia merasa begitu lekat dengan keberadaan Tian hingga ketika pria itu tidak ada disini, Gibran jadi merasa aneh. Pantas saja dulu sempat beredar kabar jika dirinya adalah penyuka sesama jenis dan dikabarkan memiliki hubungan rahasia dengan Tian karena publik terlalu tercengang dengan kedekatan mereka berdua. Bahkan karena kabar itu pula Tian hampir mengundurkan diri dari perusahaan karena mengaku ngeri dengan kabar yang menakutkan itu.
Bunyi ketukan di pintu kembali terdengar. Sosok Prasasti kembali datang dengan sebuah nampan di tangan yang di atasnya terdapat air mineral yang berembun dan sedotan yang masih terbungkus.
Gibran menegakan tubuhnya, membiarkan gadis itu menaruh air di meja kopi yang terletak tepat di depannya.
"Engga usah pakai nampan lain kali, ribet kamu bawanya," katanya pelan.
Prasasti tampak tersenyum kaku sambil mengangguk.
"Baik, Pak. Akan saya ingat," katanya.
Gibran hanya mengangguk pelan dan membiarkan gadis itu kembali keluar. Dibukanya botol air mineral dingin itu dan meneguknya hingga tersisa setengah.
Haus sekali. Walaupun begitu, di otaknya masih terbayang hangatnya kopi dan pahitnya cairan kental hitam itu saat mengalir di tenggorokan. Dirinya sangat menginginkan kopi saat ini.
°°
"Selamat datang kembali, Pak!"
Tian berhenti sejenak, tersenyum ke arah Prasasti di depannya dengan anggukan kecil.
"Engga usah sekaku itu. Santai aja," balasnya.
Prasasti tertawa kecil sambil mengangguk.
"Saya cuma engga mau ngelakuin kesalahan dalam pekerjaan saya, Pak. Gimanapun juga Bapak kan atasan saya," katanya.
"Yang atasan kamu itu orang yang sekarang kesulitan jalan tanpa bantuan tongkat, bukan saya," sanggahnya.
Prasasti tertawa, kemudian langsung menutup mulutnya ketika sadar tidak seharusnya dia berlaku kurang ajar pada atasannya.
"Apa dia tetap minta kopi?" tanya Tian, tangannya memutar jam tangan yang ada di pergelangan tangannya.
Prasasti menggeleng, "Saya tadi buatkan teh untuk Pak Gibran. Tapi setelah itu Pak Gibran minta saya bawakan air mineral dingin aja," jawabnya.
Tian mengangguk paham. Kemudian setelah berbasa-basi sedikit dengan gadis yang berada di depan ruangan Gibran itu, dia berjalan masuk ke dalam ruangan yang tidak pernah gagal membuatnya menghela napas lebih dari tiga kali.
"Lo cukup sibuk sebagai direktur perusahaan," sindirnya ketika melihat Gibran yang hanya duduk di sofa dengan mata terpejam itu.
Pria yang menerima sindirannya tampak tidak terganggu, matanya masih terpejam meskipun jemarinya mengetuk pelan pinggiran sofa yang menandakan bahwa dirinya tidak tidur.
Tian menghela napas, kemudian dia membuka sebuah map yang sedari tadi ia bawa.
"Pelita Cahaya, lahir di kota Solo dua puluh tujuh tahun yang lalu," baca Tian.
Dia melirik dari ekor matanya bagaimana Gibran langsung terbangun dengan tubuh yang duduk tegak. Sinar antusias berbinar terang hingga membuat Tian silau. Melihat atasannya itu yang tidak menyahuti ucapannya, membuat Tian berpikir jika Gibran menunggu kelanjutan informasi yang dua punya saat ini.
"Dia anak tertua dan memiliki satu adik yang saat ini sudah kelas dua SMA. Pekerjaannya cuma guru TK di taman kanak-kanak yang ada di dekat rumahnya." Tian terdiam, tangannya melipat kertas yang dipegangnya dan kemudian menatap lurus Gibran yang masih terdiam.
"Jadi dia beneran ada?" tanya Gibran setelah beberapa saat terdiam.
Tian mengangguk kaku, kepalanya menunduk menatap ke arah sepatu hitam mengkilat yang ia kenakan.
Jujur saja, dirinya sama sekali tidak menyangka jika gadis yang muncul di mimpi Gibran benar-benar ada di dunia nyata. Tapi bukan itu yang membuat dirinya ragu untuk menatap langsung ke mata sahabat sekaligus atasannya itu.
"Dia tinggal di Solo?" tanya Gibran lagi. Kali ini lelaki itu bahkan langsung bangun dengan sudah payah menggunakan tongkatnya, berjalan mendekat ke arah Tian.
Tian menggeleng, "Dia sekarang tinggal di Jogja sama keluarganya," jawabnya.
Hening di ruangan itu kembali terasa. Tian melihat Gibran yang hanya menunduk dengan tatapan yang sulit terbaca itu.
"Apa yang mau lo lakuin sekarang?" tanya Tian hati-hati.
Ketika Gibran mendongak dengan sajah berbinar itu, kewaspadaan Tian muncul dengan otomatis.
"Jelas gue harus nemuin dia. Dia jodoh gue, Yan," katanya yakin.
Tian membuang muka, tidak menyangka jika Gibran akan sangat percaya pada mimpi yang dimilikinya itu.
"Dia emang ada di dunia nyata, tapi kayaknya dia bukan jodoh lo, Gi," balasnya pelan.
Gibran terdiam, pegangan pada tongkatnya mengerat seiring dengan tatapan Tian yang terasa tidak mengenakan ke arahnya.
"Apa maksudnya?"
Beberapa saat Tian hanya terus memandang ke arahnya, kemudian sahabatnya itu melengos dengan helaan napas pelan.
"Dia udah punya tunangan, dan akan menikah sebentar lagi."
Sebuah fakta yang seharusnya tidak mengangguk Gibran itu, nyatanya justru membuat sebuah harapan dan kepercayaan yang dia miliki luntur perlahan.
Yang baru saja Tian katakan adalah sebuah info dimana seorang asing akan menikah dengan orang asing lainnya. Maka seharusnya itu akan terdengar seperti perubahan cuaca dimana hujan turun saat musim kemarau, sesuatu yang biasa.
Tapi sayangnya, entah kenapa Gibran merasa seakan ada yang hilang dalam dirinya. Awalnya dia ragu jika mimpinya adalah pertanda tentang apa yang akan terjadi di masa depan, namun ketika Tian datang dan mengabarkan bahwa seorang Pelita benar-benar ada sudah membuatnya percaya bahwa Pelita memang jodohnya seperti yang ia lihat di dalam mimpi. Kelak, mereka akan memiliki seorang putra yang menurut Pelita mirip dengan dirinya.
Namun bagaimana itu bisa terjadi di saat perempuan itu justru sudah bertunangan dengan pria lain yang bukn dirinya?
"Gue bahkan masih shock karena ternyata perempuan itu benar-benar ada, gue nyaris engga bisa napas pas lihat foto yang ditunjukin ke gue. Tapi walaupun perempuan yang ada di mimpi lo benar-benar ada, nyatanya dia tunangan cowok lain dan lo engga bisa ngrebut dia begitu aja," ujar Tian.
Dirinya merasa terganggu melihat wajah pias yang ditunjukkan oleh Gibran. Entah sebesar apa keyakinan yang Gibran punya kalau Pelita adalah jodohnya hingga Gibran terlihat sabgta terpukul dengan fakta sebenarnya dari Pelita.
Gibran mengangkat wajahnya, ada senyum kecil yang tampak sendu di wajah tegasnya itu.
"Gue harus nemuin dia secara langsung," katanya.
Dan sejak itu Tian tahu bahwa sesuatu yang besar akan terjadi.
°°