"Apa lo sekarang benar-benar gila? Lo mau nemuin dia? Terus apa yang bakal lo lakuin setelah lo ketemu dia? Lo bakal langsung bilang ke dia kalau dia itu jodoh lo di masa depan berdasarkan apa yang ada di mimpi lo?" Tuan mencecar Gibran habis-habisan.
Dirinya sama sekali tidak bisa mengerti apa yang ada di dalam otak sahabat sekaligus atasannya itu.
Demi Tuhan, Gibran yang dia kenal semenjak dulu adalah orang yang paling mementingkan logika di atas apapun. Gibran juga merupakan orang yang tidak perduli masalah asmara karena bagi Gibran, mencoba mengerti pikiran rumit perempuan adalah hal yang sia-sia dan hanya membuang waktu saja.
Namun yang terjadi sekarang, hanya karena mimpi yang dia dapat saat koma, Gibran kemudian bahkan sampai berani menyewa detektif dan juga pelukis jenius hanya demi menemukan satu wanita yang ternyata sudah memiliki tunangan. Dan yang lebih gila adalah Gibran masih mau menemuinya bahkan setelah tahu itu semua?
"Lo selalu ngatain gue bodoh karena terus nunggu Vanesha. Lo selalu nganggep gue gila karena masih berpikir Vanesha perempuan yang baik padahal dia ninggalin gue, tapi gue ngelakuin itu karena gue ngerasa kenal Vanesha dengan baik. Dan gue juga tahu apa alasan dia pergi ninggalin gue." Tian menarik napas berat dan menghembuskan nya. "Tapi lo...lo sama sekali engga kenal cewek itu, Gi! Lo cuma tahu dia dari mimpi yang lo punya. Mimpi, Gi! Apa menurut lo ini masih masuk akal?"
Banyak tenaga yang ia keluarkan hanya untuk mencecar Gibran dengan segala apa yang dirinya pikirkan. Namun pria yang menerima semua ucapannya itu, hanya berdiri diam dengan bangun tongkat sambil menatap jauh ke arah luar bangunan kantornya dari kaca bening yang terbentang lebar di hadapannya.
"Lupain aja, Gi. Kalau dia emang jodoh lo kayak apa yang lo percayai, maka dia akan datang sendiri ke lo tanpa harus lo datang ke dia," ucapan Tian melembut. Dirinya menjatuhkan tubuh ke arah sofa dan mengusap wajahnya dengan frustasi. Baru kali ini dirinya benar-benar merasa lelah berhadapan dengan Gibran.
"Apa lo tahu rasanya pertama kali punya sesuatu yang lo percayai, Yan?"
Tian tertegun, kepalanya kembali mendongak ketika mendengar suara Gibran yang terdengar pelan dan terkesan putus asa.
"Apa?"
Pria itu hanya menoleh sekilas dengan senyum yang terasa menyeramkan di mata Tian. Senyum yang sama sekali tidak percaya diri yang mengganggu untuk Tian.
"Sebagai anak pertama, gue terbiasa diarahin ke sana-sini sama bokap gue. Dari mulai sekolah TK mana yang cocok buat gue, SD mana, bahkan sampai gue SMA. Gue engga bisa milih sekolah sesuai keinginan gue, kayak apa yang bisa Gilang pilih." Gibran menyebut nama adiknya dengan senyum tipis yang tidak tahu apa maknanya. Satu tangannya yang bebas, menyentuh kaca itu dengan pelan seakan kaca di depannya bisa pecah kapan saja.
"Dan karena itu gue engga kayak udah ngerasa kalau di hidup gue memang engga ada hal yang bisa gue lakuin sendiri sesuai keinginan gue, setiap kali gue pengen sesuatu, saat itu juga gue langsung lupain. Karena menurut gue percuma, buat apa kan?"
Tian terdiam. Banyak kata yang sudah ada di antara mereka semenjak saling mengenal dari dulu, namun dari ribuan bahkan jutaan kata itu tidak pernah ada curhatan Gibran yahh semacam ini.
"Apa lo pikir gue langsung percaya gitu aja setelah dapat mimpi itu?" tanya Gibran, retoris. Tampak jelas pria itu tidak menginginkan jawaban dari lawan bicaranya.
"Gue cuma nganggep itu sekedar mimpi biasa, sama kayak lo pada awalnya. Tapi kejadian-kejadian yang gue alamin bahkan sama persis dengan apa yang gue lihat di mimpi. Dari situ gue mulai punya kesimpulan kalau Pelita juga bagian dari masa depan yang engga gue tahu, dia jodoh gue, itu kemungkinan terbesar yang bisa gue ambil. Dan gue percaya," jelasnya.
Langkahnya kemudian berbalik, berjalan menuju kursi putar miliknya dan menjatuhkan diri di sana.
"Gue pengen ketemu dia cuma untuk lihat semirip apa dia sama perempuan yang ada di mimpi gue. Walaupun faktanya dia udah tunangan, gue engga berniat untuk bertindak lebih jauh. Cuma mau lihat dengan mata kepala gue sendiri," lanjutnya pelan.
Kini fokusnya beralih pada tumpukan dokumen yang sejak pagi tidak ia sentuh sama sekali. Tapi kali ini dia butuh pengalihan agar tidak terbawa perasaan hingga akhirnya membuat dirinya berdebat lebih panjang dengan Tian.
Terdengar helaan napas yang begitu berat hingga Gibran sendiri meringis saat mendengarnya.
"Okay!" Tian angkat suara. Langkah kakinya terdengar sedikit jauh saat ia membalik tubuhnya ke arah pintu.
"Selesaikan dulu semua tugas yang udah lo tinggalin selama dua minggu ini, baru lo bisa terbang ke Jogja," lanjutnya.
Gibran menarik sudut bibirnya ketika melihat tubuh Tian yang kini menghilang di balik pintu.
Punggungnya ia sandarkan di badan kursi dan kemudian memutarnya.
"Pelita... Kalau kamu memang jodohku, kenapa kamu malah tunangan sama cowok lain?"
°°
"Makasih udah nganterin gue," Gibran berujar sebelum membuka pintu mobil milik Tian.
Karena dirinya belum bisa menyetir mobil sendiri dan masih agak takut untuk kembali menyetir, makanya Gibran meminta bantuan Tian untuk mengantar jemput dirinya ke kantor.
"Sama-sama. Hati-hati turunnya," pesan asistennya itu.
Gibran mengangguk, dengan perlahan dia menurunkan satu kakinya sebelum kemudian kaki yang lain bersamaan dengan tongkat yang dipegangnya.
Hingga mobil milik Tian berlalu, barulah ia berjalan masuk ke dalam rumah keluarganya yang pintu depannya sedikit terbuka. Sepertinya ayahnya baru saja pulang jika melihat dari mobil milik ayahnya yang sudah terparkir di halaman.
"Assalamu'alaikum!" salamnya.
Benar saja, terlihat dari tempat dirinya berdiri, Mama dan Papanya sedang duduk di pantri dengan cemilan dan dua cangkir yang entah berisi apa.
"Diantar Tian?" tanya Elsa. Wanita itu langsung bangkit dan berjalan menyongsong anak sulungnya, membantu Gibran berjalan walaupun Gibran sudah menolaknya.
"Iya," jawab Gibran singkat. Ia menoleh ke arah Ayahnya yang memperhatikan dirinya dan juga Mamanya yang berjalan bersamaan. "Baru pulang juga, Pa?" tanyanya.
Tedy mengangguk, dia mengulurkan tangan untuk disalimi oleh Gibran.
"Kamu engga repot kerja sambil bawa tongkat? Kamu kan bisa istirahat lebih lama sampai benar-benar bisa jalan," tanya Tedy.
Gibran tersenyum dengan gelengan pelan, dia mengambil duduk di bangku yang ada di hadapan ayahnya sedangkan Elsa berlalu ke arah lemari es dan kemudian kembali dengan segelas air putih untuk Gibran.
"Pekerjaan udah numpuk banget, Pa. Kasihan Tian jadi kerepotan karena aku udah bolos lama," jawabnya. Matanya beralih ke arah Mamanya, "Makasih, Ma," ucapnya untuk segelas air putih dingin yang ia terima.
Tedy menghela napas. Tangannya mengangkat cangkir yang ternyata berisi kopi hitam itu, kemudian menyesapnya pelan.
"Ya itu kan udah tugas dia sebagai asisten kamu. Kamu masih sakit begini memang sudah seharusnya istirahat di rumah bukannya keliaran di kantor pake tongkat," sanggahnya.
Gibran hanya menunduk, tangannya melingkari gelas yang ada di hadapannya saat ini.
Papanya memang orang yang seperti itu. Terlalu perduli pada keluarganya sehingga kadang mengabaikan perasaan orang lain yang mungkin saja tidak nyaman dengan apa yang dilakukannya.
Tian dianggap sebagai teman yang tidak membawa kebaikan bagi Gibran, setidaknya itu menurut Tedy karena dulu Gibran hampir gagal ujian nasional karena telat datang ke sekolah setelah menjemput Tian yang tidak mendapatkan kendaraan saat pulang ke rumah neneknya.
Sejak saat itu Tedy tidak menyukai asisten Gibran itu, meskipun faktanya Tian sangat berjasa terhadap perkembangan perusahaan yang Gibran miliki saat ini.
"Engga usah mulai deh, Pa. Tian itu anaknya baik kok, dulu waktu Gibran harus kuliah kan yang handle perusahaan itu Tian," tegur Elsa.
Syukurlah, setidaknya karena Gibran tidak bisa mengatakannya secara langsung tapi ada mamanya yang mewakili.
"Ya tapi kan dia udah dapat balasannya dengan menjadi asisten pribadi Gibran dengan gaji dan tunjangan yang engga main-main." Tedy masih tidak mau mengalah. Dia bahkan tidak menyadari jika Gibran sudah merasa tidak nyaman walau baru duduk beberapa menit saja bersama Papanya itu.
"Pa.." Gibran memanggil pelan. Tidak ada wajah protes atau tidak suka yang ia perlihatkan, yang ada hanya raut lelah karena merasa jengah mendengar hal yang sama tentang sahabatnya.
"Tian engga begitu. Dulu juga bukan dia yang minta dijemput, tapi Gibran sendiri yang keras kepala mau jemput dia ke Bogor. Lagipula kejadiannya udah lama dan Gibran engga gagal di ujian itu. Bukannya udah cukup waktu yang selama ini berlalu dengan rasa engga suka yang Pada tunjukin ke Tian?" sanggahnya. Dalam nada bicara nya, Gibran berusaha untuk tidak terdengar menentang. Juga tidak ingin membuat Ayahnya tersinggung, dia hanya berharap Tedy mengerti jika Tian memang tidak pantas disalahkan.
Namun sepertinya harapannya masih terlalu berlebihan terhadap reaksi Tedy. Karena yang terjadi selanjutnya bukannya Tedy mengerti, tapi Papanya itu justru berdecak cukup keras sebelum kemudian bangun dari duduknya dan berlalu ke arah kamar.
Gibran menunduk dengan wajah sendu. Ternyata papanya masih cukup keras kepala dengan memegang apa yang selama ini diyakininya tentang Tian.
"Engga usah dipikirin. Papa kamu kan memang begitu," hibur Elsa.
Gibran berusaha tersenyum, "Iya, Ma. Gibran juga ngerti kok kalau Papa cuma kecewa karena apa yang terjadi dulu," katanya.
Itu bohong. Karena pada kenyataannya Gibran sama sekali tidak mengerti kenapa ayahnya begitu tidak menyukai Tian hanya karena masalah yang sudah lama berlalu. Bahkan Gibran sudah menjelaskan tentang itu puluhan kali tapi reaksi yang ditunjukan Ayahnya tetap saja sama. Tidak pernah mau menang dengarkan apa yang dia katakan.
"Kamu mandi dulu sana. Habis itu sholat terus turun lagi buat makan malam ya."
Gibran mengangguk, dengan satu tangannya dia meriah tongkat yang tadi ia sandarkan dan kemudian berjalan ke arah tangga lantai dua, dimana kamarnya berada.
Mungkin sedikit air hangat akan bisa melepaskan kepenatan yang ia rasakan setelah berdebat dengan Tian dan juga dengan Ayahnya.
°°