BAB 3. PELAJARAN

936 Words
"Sofia, apa aku dapat hadiah?" tanya Jeffrey kepada Sofia yang masih termanggu di sudut ruangan, dia meringkuk di atas ranjang dengan tubuh yang gemetar. Wajahnya seputih kertas. Jeffery mendekat, langkah kakinya terdengar berat di atas lantai kayu yang berderak termakan usia. Jeffrey menatap lekat Sofia. Wanita itu semakin menggigil, ketakutan yang memagutnya erat. Jeffrey menyentuh bibir bawah Sofia memakai ibu jari lalu menyapunya perlahan. Tubuh Sofia semakin gemetar. Gemeretak giginya terdengar jelas. Sofia seperti baru saja disiram seember air es, sekujur tubuhnya dingin dan membeku.  Selesai menyapu bibir Sofia, Jeffrey menyentuh dagunya lalu mengusapnya perlahan.  "Ada bekas darah di bibir dan dagumu. Bersihkan dirimu dan istirahatlah. Ini bukan akhir dari semuanya Sofia. Ini baru dimulai." Jeffery menusukkan pandangannya yang tajam ke dalam bola mata Sofia.  Mereka terdiam beberapa detik. Terpaku di keheningan yang mencekam.  Jeffrey kemudian berbalik, dia melangkah menjauhi Sofia. Saat menyentuh gagang pintu, dia menolehkan kepala seraya berkata, "Bersihkan dirimu Sofia, aku akan memberikanmu pakaian bersih." Sofia masih terdiam dan tak bergerak dari posisi sebelumnya. Meringkuk di sudut ruangan di atas ranjang kayu.  Jeffrey menatapnya beberapa saat. Dia menghela napas panjang lalu menutup daun pintu.  Sofia melemaskan tubuhnya yang semula membeku. Dia berusaha menjinakkan rasa takut yang mengisi setiap tetes darah di tubuhnya.  Sofia menangkupkan kedua telapak tangan ke wajah. Dia menangis keras.  Sofia mengasihani dirinya sendiri. Dia memikirkan ribuan kali, kesalahan apa yang telah dia perbuat? Karma apa yang dia petik hingga dia harus berada di posisi ini.  Jutaan kali pula dia sadari, dia tidak melakukan kesalahan apa pun. Dia mengabdikan hidupnya untuk menolong orang lain. Menolong bayi dan anak-anak yang tidak bisa menjelaskan rasa sakit yang dideritanya. Sofia menangis pilu.  Dia tidak melakukan kesalahan sedikit pun. Jika reinkarnasi benar ada, apa kesalahannya di kehidupan yang sebelumnya. Sofia kehilangan arah. Dia tak tahu mana yang harus dipercayai. Jiwanya tertekan di garis terbawah.  Sofia tidak tahu waktu, tidak ada jam di ruangan itu. Dia hanya bisa mengira waktu dari matahari yang menanjak atau menurun. Detik demi detik yang dia lalui terasa sangat berat. Ketakutan selalu mengisi relung hatinya. Kecemasan acap kali menyergap perasaannya, sementara kegelisahan telah bercampur di setiap hela udara di dalam paru-parunya.  Mereka memberikan makan dan minum. Sesekali mereka datang melihatnya dan menyapukan pandangan menjijikkan ke seluruh tubuhnya. Ketidaktahuan keinginan dan maksud mereka semakin menyiksanya.  Sofia berdiri dan berteriak nyaring. Dia menendang kasur lalu membanting kursi dan meja. Dia berteriak histeris tanpa henti. Sofia mengeluarkan segala emosi yang mencekiknya. Kemurkaannya meledak. Seketika ruangan itu seperti baru saja terkena gempa berkekuatan tinggi. Kaki meja menghadap ke atas, teronggok di depan pintu. Kursi di atas ranjang. Kasur berada di lantai.  Decit daun pintu menghentikan cacian Sofia yang membabi buta. Jeffrey terkejut melihat apa yang dilakukan Sofia, sontak saja wajahnya memerah karena amarah yang menguasainya. Dia harus mendorong daun pintu lebih kuat demi menyingkirkan meja yang menghalanginya.  Dia masuk dengan langkah kaki yang besar dan cepat. Jeffrey menarik lengan Sofia, wanita itu meringis kesakitan. Jeffrey hampir kehabisan kesabaran.  "APA YANG KAU LAKUKAN?!" Jeffery berteriak nyaring.  "Aku hanya berusaha menjaga kewarasanku. Itu baik untukku," ujar Sofia sinis. Dia hanya berusaha mengeluarkan segala emosinya. Semakin dia diam dan menahan emosi, semakin buruk untuk keadaan jiwanya.  "Seharusnya aku biarkan mereka melakukan apa yang mereka mau!" Jeffery menghempaskan tubuh Sofia ke lantai. Dia jatuh tersungkur.  "Kau harus diberi pelajaran!" Jeffery mengumpat. Banyak celotehan manis yang keluar dari bibirnya. Dia kemudian mengambil kursi yang mendarat mulus di atas ranjang. "Duduk!" ucapnya memberikan perintah. Sofia tak bergerak. Masih duduk di lantai.  Jeffrey menarik lengan Sofia dan mendudukannya ke atas kursi yang dia ambil. Wanita itu tak berdaya. Dia terpaksa menuruti perintah Jeffrey. Sementara Jeffrey, dia membuka beberapa laci, sepertinya mencari sesuatu. Jeffrey tidak menemukan yang dicarinya.  Jeffrey kemudian mengambil sprei yang tergeletak di lantai. Dia melilitkan ke tubuh Sofia dan mengikatnya di kursi. Jeffrey keluar ruangan. Beberapa saat kemudian dia kembali membawa lakban hitam dan gunting di tangan. Sofia dengan keadaan tubuhnya sudah terikat di kursi, tidak mampu lagi menolak apa pun perlakuan Jeffrey. Dia pasrah ketika lelaki itu menutup mulutnya dan melilitkan lakban di kedua pergelangan tangannya.  Jeffrey memunguti barang-barang yang berserakan di lantai. Dia membereskan kekacauan yang dibuat Sofia. "Kau tidak tahu terima kasih. Aku telah menyelamatkanmu dari mereka, lalu kau menyusahkanku." Jeffery memasang kembali kasur yang teronggok di lantai ke atas ranjang.  Sofia memperhatikan setiap gerak-gerik Jeffrey.  Dia terlihat tampan dengan rambutnya yang berwarna hitam pekat, kontur wajahnya tegas. Bibirnya terlihat menarik saat dia terus mengoceh akan sikap Sofia. Lengannya tampak kokoh saat dia mengangkat meja dan mengaturnya kembali ke tempatnya semula.  "Dengar Sofia! Bersiap baik! Sulitkah itu untuk dimengerti?" Jeffery mengalihkan pandangannya ke arah Sofia yang sejak tadi memperhatikannya.  "Apa?" tanya Jeffrey saat melihat Sofia menatap dirinya terlalu lekat.  Sofia memalingkan wajahnya. Dia tertangkap basah sedang memandangi Jeffrey.  Lelaki itu mendekati Sofia, dia membuka lakban yang menutupi mulutnya.  "Aww," keluh Sofia saat penutup mulut itu menarik kuat tiap rambut halus di sekitar bibirnya.  "Kau paham Sofia? Jangan lakukan ini lagi," Jeffery mengulangi kata-katanya. Sofia mengangguk pelan. Pandangan mata mereka bertemu. Sofia menundukkan wajahnya. Ada perasaan aneh yang menyusup di dalam dadanya ketika berdekatan dengan Jeffrey seperti ini.  Jeffery menarik dagu Sofia, dia memajukan wajah. Bibir mereka hanya berjarak beberapa inci.  "Seharusnya kau tidak berada di sini. Sayang sekali," Jeffery menatap lekat mata amber milik Sofia. Dia berdecak menyesalkan.  Sofia menelan ludah. Tenggorokannya terasa kering. Dia menatap lekat iris Jeffrey yang berwarna hijau. Debaran jantungnya seketika berubah cepat.  Jeffery melepaskan ikatan sprei yang membelit tubuh Sofia, lalu dia memasangnya kembali ke kasur. Setelah itu, dia membuka lakban yang melingkari pergelangan tangan Sofia menggunakan gunting.  "Istirahatlah Sofia, kami tidak mau kau sakit di sini." Jeffery meninggalkan Sofia keluar ruangan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD