BAB 9. MEMAKSA PULANG

1325 Words
"Masuklah! Hari mulai gelap," ujar Jeffery. Dia berkata dengan nada perintah yang terdengar jelas. Sofia beranjak dari tempatnya sambil menyapukan pandangan ke atas atap rumah. Sofia melihat antena menjulang tinggi disertai sebuah satelit,  "Sepertinya untuk sinyal telpon seluler," ujar Sofia di dalam hati. Dia masuk ke dalam rumah. Petang berganti malam. Sofia menikmati menghilangnya matahari melalui jendela kamarnya dengan tatapan hampa. Kebosanan menjerat erat hari-harinya. Kerinduan kepada suami dan anaknya menikam jantung Sofia. Air mata menetes membasahi kedua pipi Sofia. Dia ingin segera pulang ke rumahnya. Meskipun selama ini rumah besarnya itu sering kali sepi karena kesibukan Aland dan Sofia, tapi saat dia pulang ke rumah selalu ada bidadari kecil yang menyambutnya dengan senyuman kebahagiaan. Semua lelah Sofia sirna saat melihat Kathrine berlari memeluknya. Dia rindu mengusap rambutnya yang selembut sutra, dia rindu wangi segar dan manis dari parfum Katrine yang beraroma buah. Sofia menangis tersedu-sedu. Dia berada di ujung keputusasaan. Harapannya untuk segera bertemu dengan sang putri seperti memudar. Entah sampai kapan dia akan berada di sini. Sofia terus menangis menutupi dirinya dengan bantal. Terdengar ketukan pelan dari daun pintu. "Sejak kapan kalian mengetuk lebih dulu sebelum masuk?" sarkas Sofia nyaring. Dia marah pada keadaan yang menimpanya. Terdengar decitan pelan dari daun pintu yang dibuka. "Sofia, mari makan," ujar Jeffery. "AKU TIDAK BUTUH MAKAN! AKU MAU PULANG!" Sofia berteriak sambil menangis. Kerinduan kepada sang putri menyesakkan dadanya. "Sebentar lagi kau akan pulang, makanlah dulu." Jeffery mendekat. Raut wajahnya berubah berkabut. Dia merasa sangat tidak nyaman dan merasa bersalah saat melihat Sofia seperti itu. "Apa mau kalian sebenarnya?! Aku akan berikan semuanya. Aku tidak akan lapor polisi. Aku hanya ingin pulang." Sofia menangis keras. "Aku hanya ingin pulang, Jeff. Biarkan aku pulang." Sofia tersedu-sedu, matanya terlihat membengkak karena terus menangis. "Aku ingin melihat putriku. Aku ingin bertemu kesayanganku." Sofia bicara terpatah-patah di antara sedu sedannya. "Jeff, tolong pulangkan aku. Aku mohon ... aku ingin bertemu Kathrine-ku. Aku mohon, Jeff." Sofia terus menangis keras. Sangat terdengar kepiluan hatinya. Jeffery berjalan mendekat, "Maafkan aku Sofia," ujarnya sambil mengelus rambut Sofia perlahan. "JANGAN MENYENTUHKU!" Sofia mengibaskan tangan Jeffery agar menjauh dari kepalanya. "KATAKAN APA MAU KALIAN?" Sofia menatap tajam kepada Jeffery. "Kau akan tau sebentar lagi. Mari kita makan," ujar Jeffery lembut. Dia menarik pergelangan Sofia, sementara Sofia menyentakkan tangannya dengan keras. Sofia menahan tubuhnya, dia menolak untuk bangkit dari tempatnya duduk di atas kasur. "Ayolah Sofia, bukankah kau sudah berjanji untuk bersikap baik. Jangan sampai aku menyerah dan membiarkan orang lain yang mengurusmu," ujar Jeffery, nada ancaman terdengar dari suaranya. Meski enggan, Sofia akhirnya menuruti kemauan Jeffery. Sofia tidak memungkiri hanya Jeffrey-lah yang selama berbuat baik kepadanya. Mereka menuju meja makan berbentuk persegi empat dan terbuat dari kayu berwarna coklat kehitaman. Makanan sederhana sudah terhidang di meja. Jeffry menarik kursi dan duduk diatasnya. Dia melihat Sofia masih berdiri mematung di sisi meja. "Duduklah, apa lagi yang kau tunggu," ujar Jeffery sambil menyuap makanannya. Sofia duduk dengar kasar. "Makanlah. Kau harus sehat Sofia, kau harus makan yang banyak. Itukan pesanmu kepada para pasienmu?" ujar Jeffery tersenyum. "Makanlah, Dokter. Jika kau sakit aku tidak bisa mengobatimu," Jeffery berkata dengan nada yang lembut sambil menatap kedua mata amber Sofia. "Bagaimana jika aku benar-benar sakit, Jeff?" tanya Sofia, wajahnya terlihat sangat serius. "Sakit apa? Aku bisa carikan obat untukmu," Jeffery terdengar khawatir dia meneliti Sofia semakin dalam. Sofia merasa tidak nyaman saat diperhatikan begitu rupa, seakan dia spesimen yang diteliti di laboratorium. Padangan Jeffery yang dalam selalu membuat Sofia merasa tidak karuan. Sepertinya ada sesuatu di dalamnya, entah apa itu, hanya Jeffery yang mengetahuinya. "Tidak, aku tidak sakit seperti itu. Aku butuh psikiter," jawab Sofia sambil menarik piringnya dan mulai menyantap makanan yang disajikan Jeffery. Jeffery terdiam beberapa saat mendengar penuturan Sofia.  "Bagaimana Sofia? Enak?" tanya Jeffery saat dia melihat Sofia menyuap maknannya. "Pembicaraan apa ini? Kenapa dia bicara seakaan dia sedang menanyakan pendapat istrinya?'"Sofia bertanya di dalam hati, "Ya, ini enak," jawab Sofia pendek. Mereka menikmati makan malam dalam kebisuan. Entah bagaimana, saat ini Sofia merasa dia sedang memerankan Belle dalam dongeng Beauty and the Beast. Tiba-tiba dia merasa sang penculik adalah orang baik. Sofia merasa ada yang tidak beres dengan otaknya. Setelah selesai makan Sofia mengangkat piring miliknya lalu membawanya ke wastafel untuk dicuci. Ketika dia berbalik dari wastafel, tubuhnya dan Jeffery saling bertabrakan. "Ma-maafkan aku," Sofia berkata terbata-bata. Sofia membuang pandangannya. Dia berusaha menjauhkan indera penciumannya sejauh mungkin dari Jeffery. Aroma sabun maskulin yang tercium lembut dari tubuh Jeffery sanggup memikat wanita mana pun. Sesaat kecanggungan hadir menyusup di antara mereka. Sofia melangkah pergi menuju kamarnya. Namun, dia menghentikan langkah dan berbalik menolehkan pandangan kepada Jeffery yang sedang sibuk membersihkan meja makan. "Jeff," panggil Sofia pelan. "Ya," jawab Jeff sambil mengangkat wajah sementara kedua tangannya sedang memegangi piring. "Bisakah kau memberiku jam dinding atau jam meja? Aku merasa gila sebelum waktunya. Aku tidak tahu waktu," ujar Sofia. Suaranya sarat akan permohonan. "Baiklah aku akan memberikannya," ucap Jeffery sambil meletakkan sisa makanan ke dalam kulkas. "Tunggulah sebentar," lanjut Jeffery seraya menutup pintu kulkas lalu pergi ke dalam kamarnya dan kembali ke hadapan Sofia sambil membawa jam beker di tangannya. "Ini," ucap Jeffery sambil memberikannya kepada Sofia.  Sofia mengambilnya dia melihat ke jam itu, waktu menunjukkan pukul 20:00. Tanpa bicara apa pun, Sofia berbalik dan kembali ke dalam kamarnya. Waktu terasa lebih membosankan bagi Sofia saat roda di dalam mesin jam memutar roda lainnya, memindahkan jarum detik menuju angka-angka di sekelilingnya. Menciptakan bunyi khas perjalanan sang waktu. Sofia kembali melihat ke jam itu. Waktu sudah menunjukkan pukul 23:30 tapi rasa kantuk tak jua datang, justru rasa bosan, hampa dan rasa takut semakin menggerogotinya pelan-pelan, seakan penyakit kronis perlahan tapi pasti terus menginfeksi sel tubuh yang sehat. Sofia tidak sanggup lagi bertahan. Dia memberanikan diri melangkah keluar kamar dan berjalan ke ruang tamu. Ruangan itu kini gelap. Hanya terlihat sedikit cahaya dari depan kursi tamu. Saat dia mendekat, Sofia mendapati Jeffery sedang menonton TV, pandangannya terpusat ke layar TV sehingga dia tidak menyadari kehadiran Sofia di sana. "Jeff," sapa Sofia sedikit takut dan canggung. Jeffery memicingkan mata, "Ada apa?" tanya Jeffery bingung saat melihat Sofia berada di kegelapan. "Jeff, bolehkah aku tidur di kursi itu," ujar Sofia sambil berjalan mendekat. Jeffery menatap Sofia dengan pandangan rumit. Dia berusaha mencerna maksud dari Sofia ingin tidur di sisinya. "Jika kau ingin menonton TV dan tidak nyaman karena aku berada di situ, bolehkah aku tidur di dalam kamarmu?" ujar Sofia lirih. Dia memohon dengan sangat. "Kenapa? Ada apa dengan kamarmu?" tanya Jeffery bingung. "Di sana bekas orang mati." "Kau takut? Bukankah dokter seringkali bermalam bersama mayat. Kenapa kau takut?" "Bukan begitu, mereka mati di sana. Bagaimana aku menjelaskannya, keadaannya berbeda. Aku mohon, Jeff. Aku tidak bisa tidur. Bayangan mereka berdua terus ada di situ," Sofia hampir menangis saat mengatakanya. Jeffery terdiam. Dia melangkah mendekati Sofia. Sofia melangkah mundur hingga tubuhnya membentur dinding. "Sofia," ujar Jeffery pelan sambil berdiri tepat di hadapan Sofia. Cahaya remang-remang semakin memperindah kecantikan Sofia. Sofia terdiam membisu dan membeku. Jeffery menatap dalam Sofia," Apa maksudmu ingin tidur di kamarku? Apa itu artinya kau siap menyerahkan dirimu kepadaku?" tanya Jeffery pelan. "Bu-bukan begitu," ucap Sofia terbata-bata. "Lalu apa?" Jeffery tersenyum rumit saat menanyakannya. "A-ku hanya ta-takut." kata-kata Sofia terhenti, Telapak tangan Jeffery berada di pipi Sofia lalu mengusapnya lembut. Jeffery mengerti, ini bukan soal takut dan tidak. Ini adalah tentang psikis Sofia yang terguncang, berada di dalam kamar itu akan semakin memperburuk keadaannya. "Tidurlah di kamarku, aku akan tidur di kursi ini. Jika kau butuh sesuatu aku ada di sini," ujar Jeffery hangat. Sofia menggigit bibir dan memejamkan matanya kuat-kuat. Dia takut akan bersikap bodoh saat terlalu dekat dengan Jeffery. Usapan hangat tangan Jeffery di pipinya terasa sangat luar biasa. Sementara Jeffery berusaha mati-matian agar tidak kalap dan melumat bibir Sofia. Dia terlihat begitu menggoda saat memejamkan mata seperti itu. Namun ... Jeffery membingkai wajah Sofia dengan kedua tangannya. Jeffery memajukan wajah. Dia tak sanggup lagi menahan keinginannya untuk mengecup lembutnya bibir Sofia. Sofia merasakan hangat napas Jeffery mengenai pipinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD