Udara di sekitar Pantai Sigli sangat sejuk. Varun menunggu di alun-alun dekat pantai dengan jantung berdebar. Sudah tidak sabar rasanya dia ingin segera bertemu dengan Lily, gadis yang sudah satu tahun ia kenal secara online. Sekarang saatnya mereka bertemu secara langsung.
Varun hanya seorang diri. Risky tidak mau mengganggu dan memilih menghabiskan waktu bermain voli di pantai bersama Fauzy dan beberapa pemuda setempat lainnya.
Setelah lima belas menit menunggu, akhirnya orang yang ditunggu Varun tiba. Lily, gadis cantik bermata bulat dengan kelopak besar, bibir merah ranum, hidung kecil mancung, berjalan memijak pasir pantai menuju alun-alun.
Varun tidak sabar dan segera berjalan menyusul Lily. Ia semakin takjub melihat kekasih online itu secara langsung. Jauh lebih cantik dari foto atau video yang selama ini dilihat Varun.
Ujung hijab panjang Lily berkibar terkena embusan angin pantai. Gadis itu menahan kain hijabnya agar tidak terbang.
Akhirnya mereka berdiri saling berhadapan. Keduanya lama terdiam dan curi-curi pandang malu.
"Hai," sapa Varun lebih dulu.
Lily tersenyum. Seketika tampak jelas lesung pipinya. Penampilan gadis itu sangat good looking. Bukan hanya Varun, laki-laki lain pun bisa jatuh cinta padanya.
"Maaf. Saya telat. Tadi dari rumah Paman ada sedikit terhambat. Jalan yang biasa dilewati ditutup. Ada pembangunan parit," ujar Lily.
"Nggak apa-apa. Aku sabar kok nunggu kamu," sahut Varun.
Ucapan Varun membuat Lily semakin tersipu malu. Gerak-geriknya lemah lembut dan elegan. Ia tidak banyak bicara jika bukan Varun yang memulai duluan. Tipe gadis pendiam. Persis seperti dugaan Varun.
Mereka duduk di bangku kafe pinggir pantai. Tempatnya outdoor dan ramai pengunjung. Di Aceh tidak boleh ada tempat khusus pacaran di area indoor. Kalau pun ingin bertemu dengan lawan jenis, harus di tempat umum dan dalam waktu tertentu. Masyarakat Aceh sangat menjunjung tinggi ajaran agama dan nilai moral.
Dua gelas jus jeruk disajikan di meja tempat Varun dan Lily duduk.
"Ayo diminum." Varun mempersilakan Lily.
"Iya," sahut Lily dengan kepala tertunduk.
Varun merasakan kehangatan di hatinya. Suasana malu-malu seperti ini adalah momen yang sangat berarti dan indah.
"Mau makan apa?" tanya Varun.
Lily menggeleng. "Nggak usah. Tadi udah makan kok di rumah Paman," jawab Lily.
Varun tertawa kecil. "Ternyata seorang penulis famous, aslinya pemalu banget ya?"
Lily membalas senyuman Varun. "Maaf kalau mengecewakan kamu," ucap Lily.
"Sama sekali nggak. Bahkan perasaan suka aku ke kamu semakin besar." Varun menatap Lily dalam.
Lily gugup. Sama seperti Varun, sedari tadi ia pun berdebar dan seperti melayang-layang.
"Apa kamu cuma sekadar suka aja?" tanya Lily serius.
"Lily, perasaan aku ke kamu sulit untuk aku jelaskan. Satu tahun udah kita jalani, aku merasa kita cocok dan saling melengkapi. Aku rindu kamu setiap saat. Dan sekarang, di saat aku udah menatap kamu langsung di depanku ...." Varun terdiam sesaat hanyut dalam perasaannya sendiri.
Lily menunggu dengan tidak sabar.
"Aku semakin jatuh cinta sama kamu." Varun melanjutkan kata-katanya.
Mata Lily berlinang. Ada genangan air mata yang berusaha ia tahan. Terharu luar biasa. Laki-laki yang selama ini ia kenal dan menghabiskan banyak waktu dengannya di dunia Maya sekarang ada tepat di depannya. Sangat tampan seperti pangeran. Tubuhnya tinggi dan kekar. Rambut hitam tebal Varun terlihat maskulin dengan potongan rambut rapi pada bagian samping dan dibiarkan sedikit memanjang bagian poninya. Sungguh Varun seperti tokoh film atau novel yang keluar dan menjadi nyata.
Obrolan Varun dan Lily berlanjut hingga ke hal-hal lebih pribadi. Varun ingin tahu tentang keluarga Lily. Namun, Lily belum yakin untuk mengajak Varun bertamu menemui pamannya.
"Paman sedang sakit. Komplikasi ginjal dan diabetes. Saat ini beliau banyak berbaring di ranjang," jelas Lily.
"Aku turut prihatin," ucap Varun.
"Makasih," sahut Lily.
"Kalau kamu izinkan, biarkan aku menjenguk pamanmu. Aku ingin lebih mengenal keluargamu." Varun begitu tulus.
Keraguan kembali menguasai Lily. "Mungkin nanti. Nggak sekarang, Varun. Pamanku sama seperti kebanyakan warga di sini. Kurang suka kalau ada laki-laki bertamu ke rumah."
"Maksudnya?" Varun tampak bingung.
Lily jadi malu. Wajahnya semakin bersemu merah. "Paman nggak suka kalau aku pacaran. Kata Paman, kalau ada laki-laki yang serius, lebih baik langsung datang melamar."
Varun terdiam sebentar mencerna perkataan Lily. Apakah ini kode? Seketika Lily memucat, malu luar biasa.
"Maaf. Bukan begitu maksudku," kata Lily.
Varun mengangguk. "Aku juga mau serius."
Lily terpaku. Selama beberapa saat Varun dan Lily saling berpandangan.
"Tapi kita baru bertemu kan?" tanya Lily ragu.
"Kita udah lama kenal. Kita udah saling cocok," tegas Varun.
Lily tersenyum. Hatinya berbunga-bunga. Tidak disangka pembicaraan mereka akan mengarah sangat serius pada pertemuan pertama ini.
"Kamu bakal berapa lama di Aceh?" tanya Varun.
"Seminggu. Aku tinggal menunggu semua referensi untuk novel terbaruku lengkap. Narasumbernya teman paman sendiri," jawab Lily.
Varun terpesona. "Wah! Keren ya penulis seperti kamu. Mau nulis satu novel aja harus totalitas terjun ke lapangan langsung mencari referensi dan narasumber."
"Sekalian menjenguk paman juga." Lily menautkan tangannya, semakin gugup.
Varun memperhatikan sikap malu-malu Lily. Baginya Lily sangat manis, natural, dan polos.
"Apa kamu memang pakai hijab sekarang? Sebelum ke Aceh kan belum?" tanya Varun.
Lily menggeleng. "Belum. Aku pakai hijab karena Paman nggak suka kalau aku nggak pakai hijab. Di sini aturan juga ketat untuk wanita muslim. Sewaktu-waktu bisa diadakan razia oleh polisi syariah. Kalau tidak pakai hijab, nanti kena hukum. Kepala bisa dibotakin," jelas Lily.
Varun tercengang mendengar penjelasan Lily.
"Tapi kamu cantik banget dengan penampilan seperti ini. Diteruskan aja," ujar Varun tulus.
"Makasih. Doakan hatiku mantap ya," pinta Lily.
Obrolan mereka berlanjut. Semakin lama Lily dan Varun sudah tidak canggung lagi.
Keduanya saling mengagumi satu sama lain. Varun yang bekerja sebagai arsitek dan mempunyai kantor pribadi dengan tim desain di Jakarta menggugah hati Lily. Sementara Lily juga menjelaskan bahwa dia mempunyai keluarga yang tinggal Jakarta.
Varun sudah mulai merencanakan untuk menemui keluarga Lily begitu mereka kembali ke Jakarta. Lily setuju walaupun Varun menangkap ada yang aneh dari gadis itu. Lily kurang nyaman menjelaskan secara detail tentang alamat rumah dan keluarganya.
Pikiran buruk sempat melintas dalam benak Varun. Namun, rasanya tidak mungkin penulis terkenal seperti Alexa D atau Lily seorang penipu atau penipu yang ingin menjerat pria kaya. Terlalu sayang mempertaruhkan nama baik dan karirnya untuk kejahatan cyber model begitu.
Varun merasa semakin nyaman dengan Lily. Tidak hanya cantik, Lily juga sesuai kriterianya. Anggun, cool, smart, dan asyik diajak ngobrol. Seorang penulis yang benar-benar berwawasan luas.
Sudah lima hari dihabiskan Varun di Pidie dengan kebersamaannya dengan Lily. Perasaan cinta mereka satu sama lain semakin kuat.
"I love you," ucap Varun sambil memberikan sebuket bunga untuk Lily di pinggir pantai suatu sore.
Lily sangat senang menerima bunga dari Varun. "I love you too," balas Lily.
Di pinggir pantai dengan sinar matahari keemasan menyinari permukaan air, mereka saling berpandangan. Perasaan cinta hangat sepasang kekasih tumbuh dan merekah seperti sulur-sulur mawar yang merambat di taman.
***