Bab 3. Kejadian Tidak Terduga

1571 Words
Novel terbaru yang akan ditulis Lily berkisah tentang sepasang kekasih. Kisah roman itu bertema cinta segitiga antara seorang polisi dan wanita asli Aceh yang dituduh sebagai komplotan teroris. Konflik utama adalah profesi pasangan kekasih itu saling berlawanan. Namun, rasa cinta tidak dapat mereka hilangkan. Lily begitu antusias dengan ide-ide di kepalanya. Tulisannya kali ini menurut dia sendiri berbeda dari sebelumnya. Lebih menantang rasa ingin tahunya. Ia juga ingin berbagi perasaan dan pengalaman baru di bumi Aceh kepada para pembaca setia yang sudah menunggu karya terbarunya. Varun juga salah satu penggemar beratnya. Dari awal pemuda tampan itu jatuh cinta dengan gaya menulis brilian Lily. Manis dengan diksinya, sekaligus tajam. Perpaduan yang unik. Dia bukan sekadar penulis novel roman picisan. Terbukti, karya-karya Lily selalu best seller. "Hari ini kita akan mewawancarai teman Paman. Ini rahasia kita berdua ya." Lily berbisik di telinga Varun, takut Risky mendengar. "Apa?" tanya Varun penasaran. "Teman Paman itu mantan anggota teroris. Dulu marak gerakannya di Aceh. Tapi ini rahasia kita berdua," kata Lily melirik sekitar waspada. "Tenang aja," ujar Varun memberikan jempol pada Lily. Semangat Lily menular padanya. Mereka akhirnya sampai di rumah Pak Ridwan, teman paman Lily. Rumahnya sederhana dan Pak Ridwan hanya tinggal seorang diri. Istrinya telah lama meninggal, sementara anak satu-satunya tinggal di luar kota. Risky izin pamit mau ke warung katanya. Varun tahu Risky orangnya cepat bosan. Tidak suka hal-hal berbau novel dan lainnya. Itu malah bagus. Lily memang tidak ingin wawancaranya dengan narasumber hari ini diketahui siapa pun selain Varun. Proyek rahasia bagi Lily apalagi yang akan diwawancarai mantan teroris. "Kamu keponakannya Jamal kan?" tanya Pak Ridwan begitu Lily menyapanya. "Benar, Pak," jawab Lily seraya tersenyum ramah. Dia lalu menjelaskan ulang maksud dan tujuannya kedatangannya. Ia tahu pamannya sudah memberitahu Pak Ridwan, tapi berbasa-basi. Pak Ridwan mempersilakan mereka masuk ke dalam rumahnya. Pak Ridwan perawakannya kurus, sampai rangka tulang-tulangnya pun terlihat di balik kulitnya, dadanya pun sering naik turun seperti sesak napas, tapi masih kuat merokok. Beliau sudah berumur delapan puluh tahun. Paman Lily sempat memberitahu bahwa temannya itu sudah pikun. Jadi Lily harus berhati-hati dan tidak berlama-lama di sana. Varun sedia di samping Lily, takut terjadi apa-apa. Bagaimanapun yang sedang mereka hadapi adalah mantan pelaku teror. Begitu masuk rumah itu mereka sudah disambut beragam senjata tajam dari golok, celurit, pedang, segala ukuran dijejerkan di meja, dipajang di tembok. "Kamu yakin mau lanjutin ini?" tanya Varun ragu. Entah kenapa perasaannya jadi tidak enak. "Yakinlah. Kita udah telanjur ke sini," jawab Lily berapi-api. Ternyata seperti ini watak Lily. Meskipun pemalu, tapi kalau sudah ingin sesuatu, dia begitu optimis. Wawancara dimulai. Pak Ridwan cukup ramah dan menjawab semua pertanyaan Lily mengenai gembong teroris dan peristiwa teror yang terjadi di Aceh. Setiap Lily melontarkan pertanyaan, Varun berkeringat dingin. Lily ini termasuk wanita nekad. Di luar ekspetasi Varun. Pak Ridwan yang katanya pikun ternyata masih ingat setiap detail mengenai teroris. Semua pertanyaan Lily dia jawab dengan lugas. Bahkan menceritakan bagaimana dia membantai seseorang, pria itu begitu semangat. "Sudahlah," kata Varun memperingatkan Lily. Ia khawatir Lily kebablasan. Pernah dengar pepatah, jangan bangunkan harimau tidur? Seperti itulah situasi mereka saat ini. Di sela cerita Pak Ridwan tentang bagaimana dia membunuh, pria itu mempersilakan Lily dan Varun minum kopi yang telah ia sajikan. Demi kesopanan, Varun dan Lily meminumnya. Lily masih biasa saja, tapi Varun sudah tidak nyaman. "Ah, mulutku jadi asam banyak bicara dari tadi." Pak Ridwan bangkit dari duduknya dan mau pergi. "Lho? Mau ke mana, Pak?" tanya Lily. "Sebentar. Aku mau ambil rokok," jawab Pak Ridwan. Lily dan Varun ingin ikut pergi, tapi Pak Ridwan mencegah mereka dan memaksa agar mereka menunggu sebentar di situ. "Ceritanya belum selesai," kata Pak Ridwan penuh semangat. Sepertinya dia menemukan kebahagiaan istimewa hari ini karena diwawancarai Lily mengenai kegiatan terorismenya. Pak Ridwan pergi meninggalkan Varun dan Lily di ruang tamu. Cukup lama pria itu belum kembali juga. Lily mulai gelisah dan melihat sekitar. Pandangannya beradu dengan Varun. Keduanya tampak gugup. "Ke mana ya si Bapak kok lama banget baliknya?" tanya Lily bingung.. "Tunggu aja," sahut Varun. Sebenarnya dia juga sudah merasa tidak nyaman. Ditunggu beberapa lama Pak Ridwan belum juga kembali. Varun dan Lily tersentak kaget saat terdengar suara benda jatuh dari arah belakang rumah Pak Ridwan. "Apa itu?" tanya Lily. Tanpa menunggu, Lily bergerak ke belakang menuju dapur Pak Ridwan. "Lily, jangan!" Varun ingin mencegah Lily, tapi telat, Lily sudah masuk ke dapur rumah itu. "Astaga! Tolong! Ada api!" teriak Lily. Varun segera berlari ke belakang. Langsung kaget melihat meja kayu di dapur Pak Ridwan mulai terbakar. Api berasal dari rokok menyala dan diletakkan sembarangan di tepi meja. Ternyata ada bekas-bekas koran di dekat rokok dan memacu kebakaran. "Varun, tolong!" seru Lily. Dia sudah kebingungan mencari air ke sana kemari. Lily bahkan hampir terpeleset jatuh di kamar mandi saat menciduk air di gayung. Seberapa banyak pun air disiramkan Lily, api tidak mau reda. Varun berinisiatif mengambil kain taplak tebal yang ada di situ dan merendamnya dengan air. Semua dilakukan Varun dengan cepat. Kain basah ia tepuk-tepuk di kobaran api. Lily juga terus menyiram air. Akhirnya api pun padam. "Hah! Ya ampun. Hampir aja kebakaran," ujar Lily tersengal. "Ke mana si Bapak itu? Bahaya banget sampai kebakaran kayak gini." Varun menyeka peluh di dahinya. Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki dari arah depan. Lily mau berjalan kembali ke ruang tamu, tapi kakinya lagi-lagi terpeleset dan menubruk Varun. "Eh!" Varun sigap menangkap tubuh Lily. Namun, karena lantai licin bekas siraman air, langkah Varun pun gontai. Varun dan Lily terpojok di tembok. Varun masih memegang tangan Lily erat. Mereka saling bertatapan. Keduanya merasakan sensasi hangat merasuki hati mereka. Varun dan Lily begitu dekat hingga dapat merasakan detak jantung pasangannya. Mereka masih terpaku dalam dan saling bertatapan. "Astaghfirullah! Apa yang kalian lakukan?" teriak seorang laki-laki paruh baya yang tidak dikenal Varun dan Lily. Tiba-tiba saja pria itu sudah masuk ke dalam rumah dan memergoki Varun dan Lily seperti itu. Varun dan Lily tersentak. Langsung melepaskan pegangan dan saling menjauh. Namun, semua sudah terlambat. Pria paruh baya itu sudah marah besar dan berprasangka buruk pada mereka. Ternyata dia tidak sendiri. Beberapa pria lain masuk menyusulnya ke dalam rumah. "Astaghfirullah. Zina! Zina! Sial empat puluh rumah kita kalau begini!" seru pria lain. Varun langsung maju ingin menjelaskan yang sebenarnya terjadi. "Bukan begitu, Pak. Maaf, Bapak-Bapak jangan salah sangka. Saya dan Lily tidak berbuat macam-macam. Tadi ada kebakaran di sini. Kami berusaha memadamkan api." "Kebakaran? Mana kebakarannya? Dasar pendosa! Kalian sudah mengotori kampung ini dengan perbuatan zina. Kami tidak bisa dibohongi," cecar pria yang lebih besar dan berwajah sangar. "Ringkus aja mereka ini. Berani sekali berbuat maksiat di tempat kita! Telepon polisi biar mereka ini langsung diadili!" Terdengar seruan provokasi dari salah satu bapak-bapak. Lily mulai menangis. "Demi Allah kami nggak bohong, Pak. Kami nggak berbuat maksiat. Ini cuma salah paham. Bapak-Bapak lihat sendiri meja ini bekas terbakar. Tadi Pak Ridwan permisi keluar mau ambil rokok, kami tamunya disuruh menunggu di dalam. Tapi karena ada kebakaran di dapur, kami berusaha memadamkan api." Para pria itu melihat meja yang ditunjuk Lily. Namun, masih saja ada keraguan di wajah mereka. "Bisa jadi itu akal-akalan kalian. Tahu bahwa Bang Ridwan udah pikun, kalian manfaatkan kesempatan buat berzina." Bapak yang lebih dulu memergoki Lily dan Varun bersikeras dengan tuduhannya. Mereka semua memandang bengis Varun dan Lily. "Pak, saya bersumpah nggak berbuat maksiat seperti yang Bapak-Bapak kira. Tolong jangan cepat mengambil kesimpulan. Jatuhnya fitnah," tegas Varun. "Sebentar, sebentar, kamu keponakannya Jamal yang datang dari Jakarta kan?" tanya seorang laki-laki pada Lily. Lily gemetaran mengangguk. "Benar, Pak. Saya keponakan Paman Jamal." "Innalilahi. Bagaimana mungkin Jamal seorang alim punya keponakan yang berbuat zina? Aku tahu benar si Jamal. Dia kawanku. Nggak mungkin dia biarkan keponakannya berbuat maksiat." Bapak yang tadi menanyai Lily jadi ragu. "Ah, itu kan Jamal yang alim. Keponakannya bisa saja munafik. Buktinya sekarang ketahuan berduaan dengan lelaki di dalam rumah." Yang lain tetap memprovokasi. Pak Ridwan muncul dan tampak bingung dengan apa yang terjadi. Semakin ramai orang datang karena penasaran dengan keributan. Pak Ridwan ditanyai warga tentang Lily dan Varun. "Memang benar. Mereka ini tamuku. Tadi aku suruh duduk di dalam. Aku nggak tahu ada kebakaran. Apa yang terbakar?" Pak Ridwan tampak linglung dan mulai mengoceh sendiri melihat bekas meja yang terbakar. "Kita jangan main hakim sendiri. Kalau mereka nggak bohong, sama aja kita udah fitnah. Dosa itu!" seru seorang laki-laki berpikiran jernih. "Tapi bagaimanapun mereka ini udah salah berduaan di dalam rumah. Kita lihat sendiri tadi mereka sedang berpelukan. Tidak bisa dibiarkan seperti ini. Nanti anak-anak kita di sini meniru." Ramai ungkapan-ungkapan kemarahan warga sekitar marah. "Begini saja, kita jangan dulu lapor polisi. Kita selesaikan ini secara kekeluargaan. Kita bicarakan dengan Jamal," kata bapak yang mengaku teman paman Lily. "Maksudmu bagaimana, Iman?" "Mereka harus segera dinikahkan di kampung ini untuk membersihkan nama baik kampung kita!" Bapak bernama Iman yang tak lain teman paman Lily begitu yakin mengucapkan kata-kata itu. Sementara Lily dan Varun tersentak kaget. Mereka seketika lemas dan bingung. Tidak pernah menyangka akan seperti ini. Warga setuju agar Lily dan Varun segera dinikahkan. Varun sempat menolak. Bukan karena tidak menyukai Lily. Namun, ia tidak mau menikah secara terburu-buru apalagi karena difitnah seperti itu. Begitu juga Lily masih belum siap menikah. Namun, warga marah dan akan semakin mengamuk jika mereka tidak menurut. Pilihannya adalah mereka segera menikah di tempat itu atau dilaporkan ke polisi dan diadili sesuai hukum syariah. Terpaksa Varun dan Lily menerima keputusan warga. Acara pernikahan akan segera dilaksanakan. Lily menangis di samping Varun. "Maaf," ucap keduanya berbarengan. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD