Flashback

1712 Words
-*-*-*- Gianna -p -p -p -p -p -Jemput gue   Geno -are you craz*? -gue masih sekolah -yang lo minta tolong ini masih SMA   Gianna -Oh iya -Lupa   Geno -lo itu apa yang ga lupa -cowok lo aja terus yang ada di kepala lo itu   Gianna -Ih apasih -Kalo ngga bisa jemput itu ya udah -Ngga usah bawa" yang lain -Nyesel gue minta jemput sama lo   Genoveva -lu yang aneh -anak SMA lu samain kuliah   Gianna -Y   Geno -lah kok jadi lu yang sewot -what’s wrong?   Gianna -Nothing -Just just keep on learning -I go to the park if you look for me   Genoveva -okay -have fun   Gianna Dirandra went offline   Gianna menatap nanar pada layar ponselnya yang menampilkan chat dari Geno yang mengatakan 'Have fun'. Kemudian menghela nafasnya. "Geno selalu berharap gue seneng. Tapi gue tetep aja ngerasa kosong," Gianna menyimpan ponselnya ke dalam tasnya dan segera pergi menuju taman terdekat dari kampusnya. Gianna terus berjalan dan akhirnya dia sampai. Gianna pun duduk di bangku yang ia temukan. Sembari menikmati segarnya oksigen yang di hasilkan pepohonan, Gianna menutup matanya.   "Udaranya segar ya Ny,"   Deg   Gianna berhenti menikmati udara. Matanya kini terbuka. Sejenak, Gianna membuang nafasnya. "Haha. Bahkan tanpa sadar ... tanpa sadar gue sebut nama lo. Seakan-akan lo duduk di sebelah gue," Gianna menengok pada sisi kirinya yang kosong. Ingatannya tanpa sadar mengingat sosok kekasihnya yang dulu selalu bersamanya.   "Apa kabar lo sekarang?"   Flashback ON   Gianna in Junior High School.   "Pony! Pulang sekolah kita ke taman yuk?" seru Gianna tiba-tiba kepada seorang anak laki-laki yang duduk di sampingnya.   Anak laki-laki itu tentu terkejut mendapat seruan yang amat tiba-tiba itu. Ia kemudian dengan sabar menoleh. "Pulang sekolah? Mau langsung? Ngga pulang dulu? Nanti kamu laper di sana. Aku ngga mau kalo di suruh beliin kamu makan," ujarnya dengan sabar menanggapi gadis cantik nan imut yang tengah menatapnya dengan penuh harap saat ini.   "Ih ngga lah. Aku bisa beli sendiri. Aku juga punya uang ya," kilah Gianna seraya menyebikkan bibir bawahnya.   "Oh, gitu? Awas ya kalo mau minta beliin macem-macem. Aku ngga mau beliin pokoknya," ujar anak laki-laki itu mengingatkan.   Mendapat jawaban seperti itu Gianna berubah kesal wajahnya. "Terserah, Pony. Ter-se-rah," katanya.   "Biasa aja mulut itu," -sahut anak laki-laki itu saat Gianna menjawab dengan mulut yang melebar. - "Ngga usah lebar-lebar,"   "Tsk. Apasih kamu sok perhatian amat pake komentar segala," tukas Gianna sewot seraya membuang muka dan menggembungkan pipinya.   "Heleh. Minta di cubit emang ya," dengan rasa gemas, Ravael langsung mencubit pipi kanan Gianna.   "Ih ngapain kamu cubit-cubit! Sakit tau!" Gianna tidak terima dan langsung memukul tangan Rafael yang mencubitnya.   "Ih, jadi cewek kok galak. Bukan cewek ya kamu?" Rafael mulai terkekeh melihat tingkah Gianna yang marah kepadanya.   "Bodo amat. Ngga mau urus," tukas Gianna membuang mukanya lagi dengan rasa kesal.   "Tuh mulai lagi. Yaudah nanti ngga jadi ke taman aja," kata Rafael kembali menggoda.   Merasa terpancing dengan ucapan Rafael, Gianna langsung menoleh. "Loh? Kok gitu?" ucapnya.   "Jiannya ngambek. Ngapain juga kesana cuma nemenin orang ngambek?" kata Rafael dengan tatapan yang berpura-pura kesal.   "Yaudah iya, Jian ngga ngambek lagi," Gianna pasrah, namun ia justru menggerakkan bibirnya seperti sedang menggerutu.   "Nah gitu dong," ujar Rafael seraya mengusapkan telapak tangannya di puncak rambut Gianna.   "Nah gitu," Gianna tiba-tiba menirukan ucapan Rafael dengan bibir yang menye-menye.   "Ih, kamu," Rafael yang gemas dengan sikap Gianna langsung menangkup pipinya kuat sampai bibir Gianna menjadi seperti ikan.   "Iuhh!" Gianna yang terkejut langsung melepaskan kedua tangan Pony secara paksa.- "Ngapain sih kamu kayak gitu. Sakit tau!" geramnya.   "Ngga papa. Kamu ngeselin soalnya," Rafael tak memperdulikan Gianna yang kesal dan justru terkekeh.   "Haiss,"   *   Sepulang sekolah. Gianna dan Rafael benar-benar pergi ke taman. Namun, di tengah perjalanan ...   "Pony ... aku cape ... ." Gianna terlihat berhenti berjalan dan memilih berjongkok.   "Yaampun Ji," -Rafael yang sebelumnya berjalan lebih dulu kini berbalik dan mendatangi Gianna.- "Kenapa?"   "Cape," jawab Gianna seraya menatap dengan pandangan memelas.   "Astaga. Padahal tadi kamu yang maksa mau kesini. Kenapa baru setengah jalan udah ngga kuat?" keluh Rafael seraya berjongkok di depannya.   "Aku kan belum makan," sahutnya masih dengan nada memelas.   "Tuhkan. Tadi siapa yang keras kepala ngga mau pulang?" omel Rafael mengungkit kembali percakapan mereka yang sebelumnya.   Gianna yang mendengar omelan itu justru mengerucutkan bibirnya.   "Tuhkan. Pony jadi marah-marah!"   "Apa hubungannya?" alis Rafael bertaut mendapatkan jawaban begitu dari Gianna.   "Ada lah!" sahut Gianna sedapatnya.   "Ah, terserah kamu. Masih mau jalan ngga?" tanya Rafael.   "Pengennya gitu. Tapi kaki Jian cape," Gianna tak beranjak sedikitpun dari jongkoknya dan tetap menatap Rafael memelas.   Mendengar itu, Rafael hanya menghela nafas dan berjongkok membelakangi Gianna. Melihat itu, Gianna yang paham langsung saja naik di belakang Rafael. Terlihat jelas bibirnya saat ini tersenyum lebar. Begitu Rafael berdiri, Gianna langsung saja memeluk Rafael erat-erat.   "Pegang yang kuat. Nanti jatoh," titah Rafael seraya mengeratkan tangannya di kaki Gianna yang mengunci tubuhnya dari belakang.   "Iya udah kok," Gianna sangat senang bisa di gendong seperti itu. Ia bahkan tidak bisa berhenti tersenyum.   "Kalo Pony cape bilang ya. Nanti Jian turun,"   "Oke, aku cape,"   "Ih, kok gitu?"   "Loh katanya kalo cape bilang?"   "Iih. Pony ngga ikhlas ya gendong Jian?"   "Ikhlas kok ikhlas,"   "Nah gitu dong," Gianna mempererat pelukannya dari belakang. Ia bahkan mendusel kepala Pony dari samping seperti anak kucing manja.   Flashback OFF   Gianna membeku. Kenangan itu tiba-tiba melintas didepan matanya tanpa perintah. "Ny ... kenapa kenangan lo sama gue selalu muncul? Gue kan ngga minta. Please, Pony. Lo kasih gue kabar. Kakak lo sendiri bahkan ngga tau soal kabar lo. Sebenernya apa yang lo lakuin di sana? Lo bahagia atau ngga disana? Dan kenapa ... ." -ucapan Gianna berhenti.- "Lo bohong," nada Gianna mulai bergetar. Matanya kini mendongak menatap awan.   "Kenapa lo bilang kalo lo di sana bahagia? Padahal jelas-jelas nada suara lo itu bohong. Lo sebenernya masih anggep gue atau ngga?" Gianna menutup matanya rapat. Sekali lagi, Gianna ingin menangis sekecang mungkin. Tapi nyatanya, air matanya tidak bisa keluar.   "Asal lo tau Ny. Gara-gara lo. Sekarang gue ngga bisa nangis. Gue rasa air mata gue udah abis buat nangis. Dan lo tau? Rasanya 10 kali lebih sesek dibandingkan saat gue masih bisa ngeluarin air mata. Lo harus tanggung jawab Ny. Gue mohon kasih gue kabar. Kalo emang lo belum bisa- ngga. Kalo emang lo ngga bisa pulang. Plis kabarin gue. Lo suka ya gue nungguin lo kayak gini? Haha. Kamu jahat, Ny," Gianna tertawa miris di akhir keluhannya.   Selesai bicara begitu, Gianna melipat lututnya. Gianna pun menenggelamkan wajahnya di dalam lipatan tangannya di atas lutut. Dengan harapan dirinya bisa menangis dan membuang beban yang membuat dadanya sesak. Tapi sayangnya, air matanya tetap tidak mau keluar.   Sampai.   "Cekrik."   Sebuah suara kamera lagi-lagi mengalihkan perhatian Gianna. Ia mengangkat wajahnya dan menengok pada sisi kiri, di mana ia mendengar suara kamera dan ternyata itu adalah Kenan yang mengambil fotonya untuk yang kedua kalinya.   "Elo ... ." Gianna membeku menatap Kenan.   Lagi-lagi Kenan hanya tersenyum simpul. Ia menghampiri Gianna, sementara Gianna segera menurunkan kakinya mengetahui Kenan duduk di sebelahnya.   "Sorry. Lagi-lagi gue foto lo diem-diem. Gue boleh simpen?" tanya Kenan tak berbeda jauh dengan saat ia mengambil gambar Gianna saat didalam perpustakaan tadi. Gianna menatap Kenan tak berkedip, lalu ia membuang muka. Ia teringat lagi saat dirinya menjawab Kenan dengan nada yang tidak sopan.   Melihat Gianna yang membuang muka, Kenan hanya hanya bisa menghela nafas. Sepertinya Gianna memang tidak suka mengobrol dengannya. Ia kemudian berdiri hendak pergi. Sepertinya Ravindra sudah salah menilai.   "Maaf,"    Ucapan Gianna yang teramat tiba-tiba itu  membuat langkah kaki Kenan yang berniat untuk pergi langsung berhenti. Ia pun menoleh pada Gianna.   "Gue ... gue minta maaf udah ngomong kasar sama lo tadi. Gue ngga sengaja. Ngga. Lebih tepatnya gue ngga sadar," jelas Gianna meminta maaf dengan suara yang cukup pelan, namun masih bisa di dengar oleh telinga Kenan.   "Ah? Mm ... ." -Kenan sejenak terlihat mempertimbangkan sesuatu begitu kalimat Gianna selesai. Ia kemudian duduk kembali di samping Gianna.- "Okay. Gue maafin," katanya kemudian setelah berpikir beberapa saat.   Gianna yang sebelumnya menunduk seketika menoleh pada Kenan dengan mata membelalak. "Lo serius?" -katanya tidak percaya. Namun Kenan segera menjawab satu anggukan dan pandangan yakin, membuat Gianna menghela nafasnya lega.- "Aduh lega. Sebenernya gue udah mikirin itu dari tadi. Gue mau minta maaf sama lo, tapi gue ngga tau harus gimana. Beruntung lo kesini. Ng ... makasih," jelas Gianna panjang lebar.   "Yang penting lo jangan ulangi lagi," kata Kenan menyisipkan senyuman manis di akhir kata-katanya.   "Mm ... maunya gue sih gitu," Gianna yang sebelumnya menatap Kenan kembali menunduk.- "Tapi apa yang gue lakuin itu, gue ngga sadar,"   Raut wajah Kenan berubah heran mendengar jawaban Gianna. "Kok bisa?Lo kebiasaan?" tanya nya.   "Maybe?" -jawab Gianna tersenyum miris.- "Mungkin, bisa gue cerita sedikit?" tanya Gianna sedikit.   "Banyak juga ngga papa. Gue bakal welcome," ujar Kenan enteng. Ia kemudian meletakkan kameranya di sebelah kirinya setelah ia mematikannya.   "Oke. Hmm, lo tau ngga sih kalo gue ini udah jadi bahan gosipan satu kampus?" tanya Gianna memulai ceritanya.   "Hah? Ngga. Gue aja baru tau lo tadi di perpus. Gimana gue bisa tau lo jadi bahan gosip?" sahut Kenan menyanggah dengan cepat dan terdengar sedikit kaget saat mendengar kata ‘gossip’.   "Haha, lo bukan tukang gosip berarti ya?" sambut Gianna sedikit terkekeh, begitu mengetahui fakta Kenan sebelumnya tidak mengenalnya sama sekali.   "Bukan lah! Jurusan gue fotografi. Gue nyari objek foto. Bukan objek gosip," ujar Kenan kembali menyanggah. Bagi Kenan, bergosip merupakan hal yang cukup merepotkan untuk di kerjakan.   Bahkan, meskipun ia hanya menonton saja rasanya sudah melelahkan baginya. Karena menurut pandangannya, ketika seseorang sudah sudah bergosip, mereka tidak akan berhenti bicara sampai satu persatu dari personil gosip itu membubarkan diri sendiri.   Apalagi ketika Tatiana sudah mengajaknya untuk membicarakan orang yang sedang tidak di sukainya, Kenan hanya akan menjawab semaunya tanpa ada niat untuk menanggapi lebih jauh, apalagi sampai harus ikut menambah objek untuk menjadi bahan perjulitan. Memikirkannya saja sudah membuatnya malas.   "Hahaha, oke lah. Bagus begitu. Jadi ya, gitu, gue ini selalu jadi bahan gosip. Gosipnya itu selalu sama. Gue ini katanya cewek sombong dan jutek. Semuanya ngira gue itu orang yang yang sombong. Padahal, jujur. Gue ngga bermaksud begitu," jelas Gianna.   "Terus kenapa lo ngga buktiin ke mereka kalo lo ngga begitu? Misalnya lo mulai berteman dengan salah satu dari mereka gitu?" tanya Kenan sekaligus menyarankan.   "Gue ngga bisa. Karna alasan yang perlu gue jelasin terlalu panjang," jawab Gianna.   -*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD