-*-*-*-
Pagi hari di Universitas Joymedia
Gianna sampai di Kampusnya diantar seorang pria.
"Thank's," ucapnya seraya melepas seatbelt.
"Okay. Have a nice day. Anna," ucap Geno tersenyum.
"Mm hm. Akan gue usahakan," -jawab Gianna mengangguk.- "Maybe same as usualy. Bad Day," katanya menunduk seraya menghela nafasnya.
"No. Mau sampai kapan lo pasang muka jahat begitu," Geno yang mulai muak mendengar jawaban itu segera menoleh dan menatap dengan alis bertaut. Entah ini sudah yang keberapa kalinya Gianna berkata begitu padanya, sehingga Geno merasa muak. Gianna menengok pada Geno dengan pandangan lesu.
"I don't know, Gen. I just, still ... ." bibirnya mengatup. Terasa lidahnya itu kelu saat ingin melanjutkan ucapannya.
"Just what?" -lanjut Geno dengan pandangan penuh intimidasi- "Waiting for him? Oh please Anna. Udah cukup lo nunggu terlalu lama buat dia. Dia ngga ada kepastian!" tegasnya frustasi. Ia tidak paham lagi, kenapa Gianna bisa se keras ini bertahan pada pendiriannya.
"Tapi gue bisa apa, Geno? Gue udah coba! Lo sendiri apa pernah coba untuk kasih tau gue caranya lupain dia? Lo bisa? Ngga kan? Udahlah! Gue bisa telat kelas. Thank's udah nganterin gue," balasnya tak kalah tegas. Dengan air yang sedikit membasahi matanya, Gianna pun beranjak keluar dari dalam mobil meninggalkan Geno.
Geno tak bisa berkata apa-apa lagi kalau Gianna sudah begitu. Hanya satu hal yang bisa ia ucapkan di saat seperti ini.
"Okay. Have a nice day!" serunya sedikit berteriak dari dalam mobilnya. Memang sebuah kata yang simpel, tapi bagi Geno kata itu mengandung doa. Yah, doa berharap hari Gianna menjadi hari yang baik. Sementara Gianna yang sudah mendengar kata itu hampir setiap waktu hanya diam dan tak mempedulikannya.
Gianna pun berjalan masuk ke dalam gedung kampusnya. Sepanjang ia berjalan, beberapa orang nampak menatap dan membicarakan Gianna sambil berbisik. Bahkan tak sedikit juga dari mereka yang bicara terang-terangan tanpa takut menyinggung objek yang sedang mereka bicarakan.
"Wah. Makin hari makin rata aja tuh muka. Ngga ada niat buat berubah apa orang itu? Masih aja sombong. Padahal cuma modal cantik doang," Ujar seorang mahasiswi yang kebetulan ada di sana dan melihat Gianna melintas.
"Dari yang aku denger, dia juga lumayan pinter sih sebenernya," sahut lawan bicaranya menanggapi pembicaraan.
"Ohya? Jadi dia sombong karna udah cantik dan pinter? Gitu? Astaga. Emang sepinter apa dia, udah bisa sombong?" ujarnya menambahkan.
"Dari yang gue denger sih dia hampir selalu dapet nilai A+ di setiap tugas. Dia juga penerima penghargaan nilai UN terbaik di SMA, terus ... ." belum selesai mahasiswi kedua melanjutkan, mahasiswi yang pertama tiba-tiba saja tersedak.
"Uhuk! Ah sebentar. Kayaknya hp gue ketinggalan waktu gue ke kantin," kelitnya berusaha kabur dari pembicaraan mereka.
"Lha terus ini hp siapa?" kata gadis kedua seraya mengangkat ponsel pintar yang sebelumnya berada di meja diantara mereka.
"Sh*t!" -gadis pertama langsung merebut ponsel miliknya.- "Lo ngga tau gue lagi ngalihin pembicaraan? Argh bodo amat," ucapnya seraya beranjak meninggalkan temannya itu.
Begitulah. Kurang lebihnya seperti itu isi percakapan dari beberapa orang yang selalu membicarakan Gianna. Hanya saja yang membuat heran adalah respon Gianna. Ia tetap saja cuek meskipun orang yang membicarakannya itu sudah menaikkan volume suaranya. Entahlah, fikiran Gianna terlalu penuh akan kekasihnya yang sedang menghilang tanpa kabar.
*
*
*
Kelas Gianna kini sudah berakhir. Gianna masih ada waktu banyak sampai kelas yang selanjutnya di mulai. Ia pun lebih memilih menuju ke perpustakaan untuk mencari buku referensi belajar.
"Bruk."
Seorang mahasiswi menabrak Gianna saat ia berjalan keluar kelas, membuat buku-buku yang di bawa oleh Gianna jatuh.
"Ah sorry." -mahasiswi itu nampak kaget kemudian membantu memungut buku Gianna.- "Ini buku lo. Maaf ya," kata mahasiswi itu sembari menyerahkan buku-buku Gianna.
Tetapi Gianna hanya menerimanya tanpa merespon lebih. Ia pun segera berlalu dari sana begitu saja.
"Eh buset. Siapa yang nyalain AC?" ujar mahasiswi itu begitu mendapat respon dingin dari Gianna.
Sementara itu, sesampainya Gianna di perpustakaan, ia segera mencari buku yang dibutuhkannya.
"Ah, materi ini. Terus yang ini. Oke, ini cukup," Gianna langsung saja duduk di lantai begitu mendapat buku yang di inginkannya. Sesaat, ia masih fokus dengan bukunya. Sampai beberapa orang lewat dan kembali menggosipkan dirinya.
"Oh, dia rajin juga. Dia lagi belajar sekarang," ucap gadis pertama saat melihat Gianna membaca buku di lantai.
Sedangkan gadis kedua yang berjalan bersamanya ikut menoleh dan ikut berkomentar pula.
"Bagus dong kalau dia belajar. Dia lagi pertahanin nilainya,"
Gadis pertama seketika melirik sinis pada temannya.
"Bodo amat. Lo kok dukung dia terus sih? Kesel gua lama-lama sama lo," gadis itu kemudian pergi begitu saja meninggalkan temannya. Sedangkan Gianna yang dibicarakan, ia masih tetap fokus pada bukunya.
Akan tetapi, tidak lama kemudian keheningan membuat dirinya teringat kepada kekasihnya, Rafael Alvaro. Tidak sadar, matanya kini melirik ponselnya yang sedang diam tak bersuara.
"Oh, please Ji," -Gianna spontan mengalihkan matanya.- "Dia ngga bakal hubungin lo. Udah tiga tahun berlalu dan kabar itu udah bener-bener hilang. Kenapa lo masih aja keras kepala nungguin dia? Hahhh." Gianna menghela nafas berat yang begitu panjang.
Kepalanya mendongak dan matanya menerawang langit-langit perpustakaan. Gianna tidak mau menangis. Tidak, Gianna bukan tidak mau. Tetapi air matanya itu mungkin sudah habis. Sudah terlalu lelah Gianna membuang banyak air mata.
Ia hanya bisa merintih di dalam batinnya. Tanpa mengeluarkan suara tangisan seperti dirinya yang sebelumnya. Namun, tangisan tanpa air mata itu nyatanya justru lebih menyakitkan.
"Please ... kasih gue satu kabar aja. Setidaknya jangan buat buat gue mikir yang ngga-ngga," Gianna menutup matanya. Sebenarnya, Gianna sangat ingin menangis. Tapi nyatanya ia tidak bisa.
"Cekrik"
Sebuah suara kamera yang menangkap gambar membuat Gianna yang menutup mata spontan membukanya dan menoleh pada asal suara.
Gianna terdiam, seorang pria terlihat oleh matanya sedang berjongkok menghadap padanya dengan kamera ditangannya. Pria itu sedikit terkejut saat Gianna menoleh. Namun ia kemudian berdiri dan menghampiri Gianna. Pria itu tersenyum malu-malu.
"Mm, sorry. Gue baru aja ambil foto lo. Baru satu kali ini kok. Kebetulan tadi pose lo bagus banget, makannya gue ambil. Gue boleh simpen foto lo ngga? Fyi. Gue jurusan fotografi di kampus ini," jelas laki-laki itu meminta izin dengan sikap malu-malu menatap Gianna.
Sementara Gianna yang di ajak bicara tak merespon apapun. Ia hanya menatap pria itu sejenak kemudian berdiri dan pergi. Pria itu bingung, matanya tak berkedip menatap Gianna yang pergi begitu saja tanpa respon apapun padanya.
"Apa dia marah ya gue foto tanpa izin? Tapi gue kan udah jelasin. Kalaupun dia ngga suka, harusnya dia tegur gue atau apapun itu. Kenapa dia cuma diem aja?"-ujarnya penuh tanya. Pria itu kemudian melihat kebawah.- "Astaga. Dia sengaja atau gimana sebenernya? Kenapa buku-bukunya di biarin gitu aja di lantai?" protesnya saat melihat buku Gianna yang berantakan di lantai.
Pria itu kemudian mengambil buku-buku yang ada di lantai dan menyusunnya di tempat yang seharusnya. Tiba-tiba saja, Gianna kembali membuat pria itu sedikit kaget dan menatapnya tanpa berkedip.
Gianna yang di tatap pria itu jadi salah tingkah. Padahal ia kembali karena berniat merapikan buku-buku yang sudah ia baca. Tetapi pria itu justru sudah lebih dulu merapihkannya.
Gianna pun lebih memilih mengambil ponselnya yang berada di rak paling bawah.
"Maaf, hp gue ketinggalan," ujarnya. Langkahnya kemudian hendak membawa tubuhnya pergi. Namun pria itu segera mencegah dengan menahan salah satu pergelangan tangan Gianna.
"Hei, boleh gue simpen atau ngga foto lo ini? Gue ngga mau ya kalo tiba-tiba lo nanti datengin gue terus marah-marah dan nganggep gue paparazi-in lo. Walaupun gue awalnya foto diem-diem, gue selalu minta izin buat simpen hasil foto itu sama orangnya. Jadi plis jangan buat gue susah," jelas pria itu panjang lebar. Entah mengapa rasanya ia sedikit kesal dengan sikap Gianna yang terkesan sangat sombong padanya itu.
Gianna terdiam mendengar penjelasan laki-laki itu. Ia kemudian menoleh. Mungkin ia merasa sudah tidak sopan sudah menanggapi seperti itu.
"Iya lo boleh simpen. Sekarang lo bisa lepas tangan gue?" katanya.
Pria itu terkejut. Ia lupa kalau tangannya masih menahan Gianna.
"Ah, sorry." pria itu kemudian melepaskan genggamannya.
Gianna menunduk, ia melihat ada satu buku yang tertinggal dan belum di kembalikan.
"Maaf gue tadi cuma diem aja, gue lagi mikirin sesuatu dan rada nge-blank. Maaf juga udah buat lo beresin bukunya. Gue tadi lupa, pas gue balik, sama lo malah udah di rapihin. Makasih," jelas Gianna setelah mengembalikan buku yang terakhir.
"Ah, its okay," -laki-laki itu menggaruk kepalanya yang tak gatal saat mendengar penjelasan Gianna.- "Asal lain kali lo jangan lupa lagi. Kasian sama penjaga perpustakaannya. Nanti mereka yang di salahin kalo bukunya ada yang rusak,"
"Mm, okay," -Gianna mengangguk paham.- "Kalo gitu gue pergi dulu," katanya beranjak pergi.
"Ah, sebentar," pria itu tiba-tiba saja kembali menahan Gianna, namun kali ini ia tidak menahan tangannya. Gianna pun menoleh.
"Ya?"
"Maaf, tapi boleh gue tau nama lo? Nama gue Kenan. Lengkapnya Alfonsus Kenan Kalandra," pria itu mengulurkan tangan kanannya masih tersenyum.
"Ohya," -Gianna membalas jabatan tangan Kenan. - "Nama gue Gianna. Gianna Dirandra,"
"Makasih ya," kata Kenan kemudian.
"For what?" alis Gianna bertaut. Ia tidak merasa memberikan apapun kepada Kenan.
"Makasih udah izinin gue simpen foto lo," sambung Kenan menjelaskan.
"Cuma foto, bukan masalah. Asal bukan foto disaat yang ngga bener. Gue bakal kasih izin," jelas Gianna santai.
"Oh okay. Btw, lo model ya?" tanya Kenan kemudian.
"Model? Bukan," -Gianna segera menggelengkan kepalanya.- "Gue bukan tipe orang yang suka berpose ria di depan kamera,"
"Tapi pose lo bagus. Pose lo alami. Persis model yang punya banyak pengalaman," puji Kenan jujur mengingat pose Gianna membuat dirinya otomatis mengabadikan di dalam kameranya tadi.
"Ahaha, lo bisa aja," -kata Gianna sedikit terkekeh paksa- "Gue bukan model. Yaudah, gue pergi dulu ya," Gianna mengakhiri percakapan mereka dan beranjak pergi, tetapi Kenan menahannya. Lagi.
"Maaf,Jian,"
Gianna menarik nafasnya panjang-panjang merasa kesal. Namun akhirnya ia tetap menoleh juga.
"Yaa?"
"Elo ... mau ngga jadi model gue,"
"Hah?"
-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*-