ONE

1199 Words
"Kak, pulangnya bareng ya?" kata Audy pada abangnya saat berjalan beriringan menuju sekolah. Hari ini adalah hari pertama Audy menjadi siswa SMA. Siswa SMA Pelita Bangsa yang bergengsi. Dengan susah payah banting kepala, banting otak, mengikuti bimbel, memaksa abangnya untuk mengajarinya, bahkan berani menyogok abangnya dengan berbagai cara agar mau menolongnya. Berbeda dengan abangnya, Andra yang memang terlahir sebagai jenius, sedangkan otak Audy memang agak lambat dalam masalah pelajaran. Selambat bayi siput. Akan tetapi, cewek itu punya tekad dan berkat usaha yang menyiksanya, finally, Audy berhasil dan lolos. Dia sukses bergabung menjadi siswa di sekolah yang dia inginkan. Impian pertamanya terwujud untuk masuk ke sekolah yang sama dengan cowok yang dia taksir. One step closer to be Johan's girlfriend. Benar. Johan, teman kental manis, sohib karib abangnya yang sering datang berkunjung ke rumahnya Andra. Audy jatuh cinta pada pandangan pertama pada sabahat abangnya itu satu tahun lalu. Saat Audy masih duduk di kelas tiga SMP. Sejak bertemu dengan Johan, Audy bertekad bulat untuk mengikuti jejak abangnya, sekolah di SMA Pelita Bangsa, salah satu sekolah swasta bergengsi di Jakarta. "Tuh kan, ngerepotin. SMS aja entar kalo udah selesai. Gue ada sparing basket sama anak-anak. Tungguin aja." Audy mengangguk patuh. Terpaksa. Harus patuh. Ini adalah syarat pertama dari abangnya. Audy harus patuh pada Andra. Apapun yang diinginkan oleh Andra, Audy harus menurut dan melaksanakannya sebagai imbalan mengajar adiknya. 'Nyebelin! Emangnya gue babu?' sungut Audy dalam hatinya. "Apa lo lihatin gue kayak gitu? Hah?" Andra segera merangkul leher adik semata wayangnya dan mulai mencekiknya. Membuat gadis mungil itu sulit bernapas. Ini tidak adil bagi Audy. Mengapa Andra, abang kandungnya, mempunyai tubuh yang tinggi jangkung sedangkan dirinya berperawakan mungil seperti ini? Hanya setinggi d**a Andra. Ini tidak adil. Mengapa Audy harus mewarisi perawakan ibunya? Bukan ayahnya yang tinggi jangkung, sama seperti Andra. Sekali lagi, ini tidak adil bagi Audy. "Ohok! Kak! Kakak! Ampun! Ampun!" Audy terbatuk-batuk karena cekikan yang Andra berikan padanya. "Nyaho lo! Ngelawan mulu sih!" Kata Andra gregetan pada adiknya yang mungil. "Ngelawan apaan?" Audy memukul-mukul tangan kanan abangnya yang masih melingkar di lehernya. "Ngapain lo barusan melototin gue? Apa namanya kalo nggak ngelawan?" Akhirnya Audy dapat bernapas dengan lega. Namun cekikan abangnya itu berganti dengan cubitan di pipi kanannya. "Khak, mwelwar ewntawr piwpiw guwwe!" Kak, melar entar pipi gue. Setelah puas membuat pipi adiknya memerah, Andra mengambil langkah cepat dan panjang. Membuat adiknya harus melangkah lebih cepat untuk menyusulnya. Masih mengusap-usap pipinya yang memerah. Audy memekik, "Kak, tungguin! Barengan!" Andra tetap berjalan cepat. "Udah! Lo jangan nempel-nempel gue! Udah deket sekolah juga! Jangan gangguin gue! Ingat pesan gue, jangan makan di kantin C, banyak anak kelas tiga. Bahaya." "Bahaya kenapa? Tapi kan kakak makannya disitu?" Andra berhenti. Memutar tubuhnya, menatap adiknya. "Dibilangin ngeyel! Bahaya! Lo cari temen dong, makan di kantin B khusus anak-anak kelas satu. Jangan nyariin gue! Awas lo kalo malu-maluin gue!" Dengan begitu Andra pun berjalan lagi. Lebih cepat memasuki gerbang SMA Pelita Bangsa. Abangnya segera disambut oleh teman-temannya. Di sana ada Johan yang merangkul Andra. 'Pangeranku..' Angan-angan Audy segera buyar ketika melihat abangnya melotot. Menatapnya 'Awas lo kalo bikin malu gue!'. Audy hanya bisa memanyunkan bibirnya dan berjalan lunglai ke barisan siswa baru menuju hall untuk upacara penyambutan siswa baru oleh SMA Pelita Bangsa. ☆☆☆   Audy meletakkan kepalanya ke atas mejanya. Blank. Menunggu bel tanda sekolah berakhir berbunyi. Akhirnya. Hari pertama Audy sekolah di SMA Pelita Bangsa hampir berakhir. Bagaimana pendapatnya? Ah, biasa saja. Tidak jauh berbeda dengan kegiatan belajar mengajar biasanya. Hanya ruang kelas yang terlihat baru dan lebih mewah serta wajah-wajah baru yang menjadi teman sekelas Audy. Audy menghembuskan napasnya. Membuat helaian rambut panjang yang menutupi wajahnya terangkat dan kemudian jatuh ke pipinya lagi. Bosan. Hari pertama sekolah memang selalu sangat membosankan. Audy pikir dengan bersekolah di sekolah elite ini ia dapat menghabiskan waktu dengan abang dan pangerannya. Namun ternyata salah. Sekolah ini menjunjung adat kesenioritasan yang tinggi. Buktinya, junior tidak boleh memasuki kawasan senior. Jika ada yang melawan hukum rimba tersebut, habislah. Habis ditindas oleh para senior. Begitu kata Carla, teman sebangkunya. Gadis berambut pendek itu mengetahui banyak hal tentang sekolah ini. Pantas saja Andra melarang adiknya untuk ke kantin C dan menyuruhnya untuk makan di kantin B yang dipenuhi anak kelas satu saja. Berbahaya untuk adiknya ke kantin lain terutama kantin C yang bergaris bawah kantin para senior. Bahaya dibully. Walaupun kini kasus penindasan di sekolah ini sudah tidak pernah terdengar lagi. Mengapa? Karena dari informasi yang diberikan Carla, di sekolah ini ada pentolan sekolah yang sangat antibully. Ada seorang preman atau sebutan kerennya alpha yang tidak menyukai adanya kegiatan penindasan. Audy sempat heran mengapa seorang pentolan sekolah yang selalu bergaris bawah jago berkelahi, ditakuti, berkuasa dan selalu diidentikan dengan tukang tindas malah punya hati selembut cotton candy seperti itu. Kata Carla, sejarah terbentuknya hukum untuk tidak membolehkan junior masuk ke kawasan senior itu adalah untuk menghindari adanya kasus penindasan antar siswa. Hal ini dicetuskan oleh sang pentolan sekolah tersebut sejak tahun lalu dan semua siswa mematuhinya. Hebat juga pentolan sekolah ini. Mengingat berbagai info yang Carla bocorkan tersebut membuat Audy merutuki nasibnya. Audy mulai mengutuk abangnya. Mengapa tidak dari awal Andra memberitahu hal penting seperti ini? Capek-capek banting kepala agar masuk sekolah ini, sia-sia saja karena Audy tidak bisa makan siang bareng abangnya yang pasti selalu bersama pangeran impiannya. 'Kak Johan lagi apa ya sekarang?' batin Audy. Lamunan Audy buyar ketika mendengar suara gadis menyebut namanya. "Audy." Audy menoleh pada teman sebangkunya, Carla. "Mm?" "Habis ini lo langsung pulang ya?" tanya Carla dengan senyum manisnya. Matanya sedikit menyipit di balik kacamatanya yang fashionally update itu. "Jalan yuk!" Audy mengangkat kepalanya dengan malas. Menatap Carla dengan tatapan meminta maaf. "Maaf, gue nggak bisa jalan soalnya nungguin kakak gue selesai latihan basket habis ini." "Basket? Lo punya kakak disini? Kakak yang gimana nih? Romanticaly atau abang beneran? Kelas berapa?" cecar Carla. Matanya membulat. "Abang gue. Kelas tiga. Tiga A," sahut Audy. Bel tanda sekolah berakhir berbunyi. Semua orang mulai berdiri dan bergerak meninggalkan kelas. Termasuk Audy dan Carla. "Gue ikut lo nonton basket ya? Boleh?" Audy menatap Carla antusias. "Serius mau nemenin gue? Waaa! Makasih, Carla." Gadis mungil berambut panjang itu menggandeng Carla. Menarik teman barunya itu keluar dari kelas. Berjalan menuju gedung olahraga indoor. Carla mengangguk dan tersenyum senang. "Lo kok nggak bilang-bilang sih punya abang anak kelas tiga disini? Tiga A pula. Berarti abang lo termasuk jajaran anak pinter dong? Enak banget, punya alasan buat ke kelas tiga." Audy tertawa mendengar kalimat Carla. "Ngarep! Gue nggak dibolehin nyamperin dia pas lagi jam sekolah." Tawa Audy segera terhenti ketika ia merasakan sesuatu membentur bagian depan kepalanya. Membuatnya pusing. Matanya buram. Tubuhnya limbung terjatuh ke belakang dan terduduk di lantai. Membuat roknya tersingkap. "Audy, awas!!" Gadis itu mendengar pekikan temannya. Kepalanya berdenyut. Dunia terasa berputar. Dengan pandangan mata yang agak buram, Audy melihat sebuah bola basket menggelinding di depannya. "Waduh! Sorry, sorry!" Itu bukan suara Carla. Suara cowok. Cowok yang membuat jidat Audy memerah lebam. "Eh, pinky, lo nggak pa-pa kan?" Pinky? Masih memegang kepalanya yang pusing, Audy baru tersadar ketika merasakan hembusan angin melewati paha atasnya. Her cutie pinky underwear exposed. Audy lantas menutup rapat kedua kakinya. Sepasang matanya terbelalak lebar, menatap ngeri cowok yang memanggilnya dengan kata pinky itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD