PROLOG
Angin semilir menerpa wajah seorang perempuan yang terduduk di bangku taman sendirian, matanya sayu sebelum lanjut menangis, rambutnya basah dan tubuhnya berbau amis karena baru saja dilempari telur. Tapi ini bukan hari ulang tahunnya.
Dia korban perundungan.
“Ada yang bisa kubantu?”
Suara itu membuat perempuan malang tadi mendongak, rupanya ada seorang anak perempuan lain yang seusia dengannya. Menawarinya sehelai tisu.
Tetapi perempuan ini berbeda dengannya, dia berkulit putih, matanya sangat indah, hidungnya kecil mancung, bibir tipis kemerahan, rambut panjang hitam bergelombang, bahkan dress mungil putih vintage dengan motif bunga kecil pas ditubuhnya.
Cantik, orang-orang akan memujinya seperti itu.
“Terima kasih,” kata si perempuan malang meraih tisu.
“Kau ada masalah?” tanya si perempuan dress putih lembut.
Si perempuan malang menghembuskan napas berat. “Te-teman-temanku mengataiku siluman babi,” jawabnya sebelum kembali terisak.
“Mereka yang babi, kau tak perlu menggubris mereka. Kau orang baik.”
“Orang-orang yang mengasihaniku kemarin dan kemarinnya lagi, juga berkata seperti itu. Kalian semua tak akan mengerti, kalian hanya ingin menenangkanku sesaat dan—itu membuatku muak.”
Perempuan di sebelahnya tersenyum tipis.
“Kau seharusnya tidak membandingkan kehidupanmu dengan orang lain. Karena apa yang kau lihat dari mereka, tidak sebenarnya seperti itu.”
“CIH, OMONG KOSONG!”
Dengan kesal, perempuan malang tadi menggeser tubuhnya, bangkit berdiri setelah meraih tasnya yang mungil—ah tidak, tubuhnya yang terlalu besar.
“Kalian semua sama sa—”
“Umurku tinggal dua bulan lagi, kata dokter.”
Deg.
Hening.
Dua kali angin sepoi berhembus. Perempuan malang tadi kembali duduk, menoleh dengan mata membulat terkejut. Sementara perempuan ber-dress putih tadi tetap tersenyum.
“Benarkah, kau sakit apa?” tanyanya prihatin.
“Aku tidak tahu, papa dan mama merahasiakannya, dan aku tidak sengaja mendengar pembicaraan mereka.”
Perempuan malang tadi seketika itu juga merasa bersalah. Dia hidup dalam tekanan karena bully-an teman-temannya dan juga masalah keluarganya. Tetapi perempuan di sebelahnya ternyata punya masalah hidup juga, sementara ia sudah berpikir bahwa perempuan ini punya kehidupannya yang sempurna. Dari pakaiannya, Leah sudah bisa menduga kalau ia berasal dari keluarga kaya raya.
Perempuan dress putih tadi bercerita tentang bagaimana ia hidup dalam tekanan untuk menjadi anak yang baik, anak yang sempurna, penurut dan menjadi seperti apa yang orang tuanya inginkan. Dia memang kaya, tetapi dia tidak menikmati segalanya. Semuanya terasa hampa. Dan dia kesepian, sama kesepiannya seperti si perempuan malang.
Maka jadilah mereka perempuan malang berdua.
“M-maafkan aku, aku tidak bermaksud…”
“Tidak masalah—ee siapa namamu?”
“Leah. Kau?”
“Aku—”
“Nona...”
Terdengar suara baru, tetapi ini jelas bukan suara perempuan. Suaranya berat dan tegas. Saat Leah dan si perempuan dress putih menoleh, didapatinya pria tinggi yang memakai kacamata serta jas hitam menunggu di kejauhan.
“Tuan dan nyonya sudah menunggu anda.”
“Baiklah,” perempuan ber-dres putih tadi berdiri, dia terlihat buru-buru seolah dikejar waktu. Sesaat sebelum pergi, dia merogoh sesuatu dari dalam tas selempang mungilnya. Mengeluarkan benda berkilat dari dalam dan menjulurkannya pada Leah. “Ambillah bros ini. Aku punya dua, satunya ada di rumah, sampai jumpa lagi…”
Leah memperhatikan bros kupu-kupu itu. Warnanya putih dan indah sekali. Diperhatikannya bend aitu lamat-lamat sebelum ia teringat sesuatu. Dia menepuk jidat, lupa bertanya siapa nama perempuan tadi.
Sayangnya, mobilnya sudah berangkat, menghilang di sudut jalan.
Leah turut prihatin dengan perempuan itu. Tetapi entah mengapa dia merasa sedikit lebih baik. Karena dia baru tahu kalau dia tidak sendirian mengalami penderitaan di dunia ini. Dia memiliki teman seperjuangan—walaupun temannya didiagnosis akan meninggalkan dunia ini, dua bulan lagi.
Itu menyadarkan Leah sesaat kalau hidup ini hanya sementara. Kita tidak merasakan penderitaan di bumi ini selama-lamanya.
Dia hanya perlu bertahan, dan dia pikir dia bisa—sepertinya.