BAB 1

1143 Words
Leah Andia Row. Adalah perempuan menyedihkan. Orang-orang mengatainya si siluman babi. Tubuhnya besar, wajahnya penuh jerawat kemerahan mirip ruam dan hidungnya pesek dengan lubang yang besar. Rambutnya lurus, kering, mengembang. Ketimbang anak-anak lain yang ingin hidup bahagia, terkenal dan punya segudang prestasi… Leah hanya ingin hidup tenang. Bisa ke perpustakaan tanpa orang-orang melemparinya dengan kertas. Bisa pergi ke lapangan olahraga tanpa orang-orang melemparinya bola kasti. Bisa ke kantin tanpa orang-orang menatapnya dengan perasaan jijik seolah ingin muntah. Dan di kelas saat Leah memutuskan untuk diam di tempat… Icha akan menghampiri lalu menodongnya dengan sapu sambil teriak, “sejak kapan kelas ini jadi kandang babi.”   Lalu anggota gengnya yang lain akan bersorak-sorak. “Kita jual saja dia Ca, sudah hampir tiga tahun babi ini di sini.” “Jangan… najis. Siapa yang mau membelinya?” “Bagaimana kalau dibakar saja?” “Hahaha haram.” Icha tertawa terkikik, mendengar gurauan temannya. Gurauan? Ini jelas tidak lucu. Barulah mereka berhenti merundung ketika guru masuk. Perempuan-perempuan biadab itu akan kembali ke bangkunya setelah bersikap lemah lembut seolah tidak terjadi apa-apa. “Pagi anak-anak. Apa terjadi sesuatu?” tanya bu Meli, guru Biologi mereka. “Tidak kok Bu, kami sedang bergurau dengan Leah, katanya babi itu lucu, berwarna pink, dia ingin membeli boneka babi untuk menemaninya tidur.” Icha menoleh ke temannya yang lain. “Ya kan, ya kan..” “Ya betul bu…” Bu Meli menoleh, memandangi Leah yang terus menunduk. “Betul yang mereka katakan Leah?” Leah mendongak, tersenyum getir. “Betul kok Bu, Icha sudah baik, dia mau membelikannya untukku.” “Pffttt…” Perempuan-perempuan biadab itu seketika menahan tawa. Begitulah kehidupan Leah setiap hari, menerima bully-an dan tidak bisa melaporkannya kepada siapa pun. Dia tidak ingin menambah beban orang-orang di rumah. Ah tidak, seorang saja. Leah hanya tinggal bersama bapaknya. Ibunya menikah lagi dan itu satu hal yang Leah syukuri. Bapaknya adalah seorang pemabuk yang menganggur tanpa kerja, pulang larut malam lalu menghamburkan barang-barang rumah. Hal itu membuat ibu Leah depresi.  Karena bapaknya adalah seorang pengangguran, maka Leah yang menjadi tulang punggung keluarga. Bekerja sebagai penjaga kasir minimarket yang shift malam. Itulah alasan mengapa tubuh dan wajahnya tidak terawat. Tidurnya kurang dari empat jam setiap hari dan lebih memilih ngemil sebungkus gorengan yang dijual di depan minimarket ketimbang nasi.  Malam ini adalah malam minggu. Itu berarti Leah cuti. Dia biasanya menghabiskan waktu untuk tidur. Tetapi malam ini berbeda, dia terlihat bersemangat. Berdiri di depan cermin. Merias diri. Sesekali perempuan itu memperhatikan ponselnya hanya untuk memastikan kalau pria itu benar-benar datang. Pria yang ia sukai. Setelah berhias diri, Leah jalan menyusuri g**g-g**g sempit yang tembus ke pusat kota. Perjalanannya bermuara di sebuah kafe di perempatan jalan. Dia masuk, dan laki-laki yang baru saja ia hubungi melalui pesan singkat sudah terduduk di tepian jendela. Namanya Kevin, peringkat satu kelas yang punya segudang penggemar di sekolah. “Ada apa kau memanggilku ke sini?” tanya Kevin dingin, memperhatikan arlojinya. “Kau tahu aku sudah menunggu hampir setengah jam? Waktunya bisa kugunakan untuk mengerjakan tugas bahasa.” “M-maaf,” kata Leah gugup. “Cepatlah kalau begitu…. to the point saja Leona—” Leah tersenyum, dia baru saja duduk, lantas mengeluarkan hadiah berupa kotak kecil merah dari dalam tasnya, benda itu dijulurkannya pada Kevin. “Kita sudah kelas dua belas, dan setahun lagi berpisah. Aku cuma bilang aku menyukaimu sejak masih kelas sepuluh Kev, aku tahu ini terlambat dan kalau kau menolakku tak—” “Cih, dasar babi sampah.” Kevin menepis kotak itu hingga jatuh ke lantai. Isinya adalah sebuah gelang, yang akhirnya menggelinding hingga ke meja seberang. Saat Leah berdiri setelah memunguti benda itu di lantai, Kevin sudah tak ada di sana.  Leah tersenyum getir. Dia tahu kalau ini akan terjadi, tetapi setidaknya dia lega sudah mengutarakan perasaannya selama dua tahun terpendam. Lagi pun, bagaimana mungkin Kevin menyukainya? Bahkan pria itu lupa namanya. Dan apa yang pria itu katakan barusan? Babi sampah. Dengan berat Leah menyeret kakinya meninggalkan kafe itu setelah seluruh pasang mata tertuju padanya. Dia malu, tetapi dia sudah terbiasa dipermalukan dan juga tatapan menghina seperti itu. Saat tiba di rumah Leah langsung masuk ke kamar dan barulah ia menangis. Hidupnya benar-benar menyedihkan. Dia baru menyeka air matanya saat mendengar suara hentakan sendal di ruang tengah rumah. Bapaknya sudah pulang, sambil mengingau dan langsung mengetuk pintu kamar Leah membuat perempuan itu tersentak. “BUKA! BUKA ATAU AKU DOBRAK ANAK s****n!” Leah menelan ludah. Dia membuka pintu dan ditatapnya bapaknya yang berdiri di ambang pintu dengan mata sayu, pakaian lusuh dan rambut acak-acakan. PLAAKKKK! Pria itu menampar anaknya. “AKU BUTUH UANG!” raungnya meninju pintu kamar. Dengan gemetaran Leah merogoh sakunya. Hanya selembar uang berwarna hijau dari dalam. “I-ini Pak.” “Hanya ini, apa-apaan?” “APA-APAAN?! BAPAK TIDAK TAHU KALAU LEAH LELAH HIDUP?” emosi Leah tak terbendung lagi. Dia menarik-narik kerah baju pria dihadapannya.   PLAAKKKK! BRUUUGHHHK! Pria itu menampar anaknya sekali lagi, lalu mendorongnya hingga tubuh perempuan malang itu bersandar di lemari. “PERGI KAU DARI SINI!” suara berat itu bergema memenuhi ruangan. Di sebuah ruangan kumuh, dengan penerangan lampu kuning  lima watt. Leah meringkuk seraya dengan sigap membuka lemari dan memasukkan semua pakaiannya ke dalam tas cepat-cepat. Ia meringis kesakitan. Jelas. Ini sudah kesekian kalinya ia terkena tamparan. Dengan menyeret kakinya berat, ia meninggalkan rumah kumuh itu. Tanpa sepeser uang pun kecuali sebuah cincin emas di genggaman (cincin yang ibunya berikan saat terakhir kali mereka berpisah), bros kupu-kupu dan juga sepotong roti. Serta tas besar yang menempel di punggung dengan resleting yang hampir lepas. Sialnya, di luar sedang hujan, tubuh perempuan itu basah membuatnya bergetar kedinginan, sesekali ia membawa anak rambutnya ke belakang telinga karena menutupi pandangannya. Perjalanannya bermuara di sebuah toko emas di pertigaan jalan. Leah memberikan emasnya, setelah pelanggan sebelumnya pergi dengan uang memenuhi tas kecilnya. Menunggu. “Tiga gram… tetapi kalau kau menjualnya sekarang uangku tidak cukup, perempuan kurus barusan sudah menghabiskan semua uang kami dengan gelang emasnya,” kata penjaga toko ketus. Lelaki tua dengan kacamata tali yang menggelantung di lehernya. “Kau bisa kembali besok.” “Berapa pun uang yang bisa anda berikan aku tidak peduli, aku butuh uang sekarang.” “Berapa pun? Apa jangan-jangan—ini barang curian?” Mata bapak tua itu mengerut. Leah menggeleng. “Ti-tidak. Aku hanya benar-benar butuh uang.” Si bapak tua memandangi mata perempuan dihadapannya penuh curiga, sebelum berjalan dan membuka lacinya. Mengambil tujuh lembar uang berwarna merah muda dari dalam. “Bagaimana kalau segini?” Tujuh lembar? Yang benar saja. Sepertiga dari dari harga aslinya saja tidak sampai. Leah menenggak saliva.  “Tidak masalah.” Diraihnya uang itu, dimasukkannya ke dalam saku lantas meninggalkan toko. Berjalan dengan cepat, melewati orang-orang yang berlalu lalang dengan payung, pengemis jalanan yang rela basah, pengamen yang mengintip di kaca mobil, penjual tisu dan kucing kelaparan yang hampir terlindas truk. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD