BAB 5

1985 Words
Matahari terpapar di wajah seorang perempuan hingga membuatnya terbangun, memegangi kepalanya yang pening. Ditatapnya sekeliling, ruangan putih yang dipenuhi alat-alat canggih. Selang-selang bertautan di sebelahnya.  Semuanya terlihat membosankan dan menyedihkan. Kecuali sebuah tanaman sanseveira di sudut ruangan. Perempuan itu menoleh, ia baru menyadari jika ada seorang perempuan tua yang membaringkan kepala di kasur, tepat di sebelah tangannya dengan tubuh terduduk di kursi--Merema. Ia kelelahan menjaga semalaman. Tetapi, meski lelah ia terbangun ketika mendengar ada bunyi berderit. "E-eveline." Merema bahagia, setengah terkejut, memanggil dokter dengan memencet tombol hijau di dinding. Lalu menghubungi David dan Bram. Akhirnya, selama berminggu-minggu, perempuan malang itu sadar juga. * Regin Penthouse, adalah sebuah penthouse yang menjulang tinggi, di pusat kota, lima belas lantai. Baru saja mobil terparkir di depan bangunan itu, puluhan pria berseragam hitam berbaris rapi sampai ke pintu masuk. Tiga diantara mereka membuka pintu mobil. David beserta keluarganya berjalan, memasuki bangunan megah itu. Penyambutan kepulangan Eveline tak kalah meriah dari pelantikan gubernur tahun lalu. Confetti bertebaran di sana-sini. Semua orang tersenyum dan bersorak-sorak. Dan di belakang para pria berseragam, Eveline bisa melihat kerumunan wartawan mengambil gambar, dengan agak kesulitan. "Jaga adikmu Bram," pesan David, mengangkat dagunya tinggi-tinggi. Bram menutupi wajah Eveline dengan jas hitamnya. Pintu masuk Regin Penthouse berbentuk seperti gerbang kerajaan Eropa kuno, tetapi meski demikian, kaca tembus pandang mengelilinginya membuat semua orang menyadari kalau ini bukanlah sebuah kerajaan. Melainkan bangunan dengan teknologi canggih. Setelah memasuki pintu masuk, di tengah ada pancuran air yang besar berwarna-warni yang terpantul dari sinar cahaya yang dipasang di setiap sudut ruangan. Pemandangan pria berseragam berganti menjadi perempuan bercelemek. Tak ada lagi wartawan. Pintu masuk sudah tertutup otomatis. "Tolong bawa adikmu ke kamarnya ya," pesan Merema. "Mama mau menyiapkan makanan untuk makan malam." Bram mengangguk. Menarik tangan Eveline lembut. Membawanya ke lift. Saat naik, Bram terdiam canggung. Aneh baginya berbicara dengan Eveline yang sekarang. Dan lagi pun, meski wajahnya persis seperti Eveline, tidak dapat dipingkiri bahwa ia sudah jadi orang yang berbeda. Jika ini adalah Eveline yang asli, mungkin Bram sudah mengusilinya dengan menjewer telinga, atau mengelus rambutnya lembut. Tetapi dia adalah Leah. Perempuan malang yang ditabraknya. Atau mungkin malah beruntung, karena kalau tidak begitu Leah mungkin akan mengakhiri hidupnya sendiri, tetapi lihatlah sekarang. Ia akan menikmati semua hal yang dilihatnya saat ini, tanpa ia sadari. Kalau saja perempuan itu tidak lupa ingatan. Mereka tiba di lantai dua belas, setengah menit kemudian. Saat pintu lift terbuka, di dalam nampak sebuah pintu lagi. Bram menempelkan sebuah kartu di gagang pintu. Pintu terbuka. Dan pemandangan megah terlihat di dalam Kamar yang luas yang terhubung dengan banyak ruang bersekat. Bimo menunjukkan semuanya satu-persatu. Mulai dari ruang menonton pribadi, gym pribadi, perpustakaan pribadi dengan buku yang lengkap, dapur mini, serta kamar utama yang tak kalah luasnya, dengan berbagai properti bernilai milyaran rupiah. “Kalau ada yang ingin kau tanyakan, kau bisa bertanya kepada semua pelayan di sini, atau menghubungiku dan juga bibi Ki.” Seorang perempuan berjas hitam ketat masuk ke kamar. Dia lah bibi Ki. Asisten pribadi Eveline—yang asli. Dia sudah berada di penthouse ini bahkan sebelum Eveline lahir. Sekaligus menjadi kepala asisten lainnya. “Senang bertemu dengan anda kembali Non, selamat atas kesembuhannya,” kata bibi Ki lembut, mengelus pipi Eveline lembut dan memberi dekapan hangat. “Oh iya Bi, kata mama… Eveline sudah akan sekolah pekan depan. Tolong siapkan semua perlengkapan belajarnya ya. Aku ada urusan mendesak,” tukas Bram. Bibi Ki mengangguk. “Baik tuan, serahkan semuanya kepadaku.” “Dan Eveline, jangan terlalu memikirkan apa pun dulu. Fokuslah untuk bersenang-senang, oke?!” Eveline mengangguk, sebelum kakaknya mengelus rambutnya, memberinya room card dan meninggalkan ruangan. Dia kakak yang baik, pikir Eveline.  Sayangnya, saat ini Bram belum bisa menerima Leah sebagai Eveline seutuhnya. Bagaimana mungkin jiwa diganti jiwa? Eveline tetaplah Eveline dan Leah tetaplah Leah. Satu hal yang membuat Bram melakukan semua ini adalah karena ia kasihan. Dia telah menabrak perempuan malang yang berniat mengakhiri hidupnya. Lama proses mengubah Leah menjadi Eveline. Bukan biaya yang murah untuk membuatnya hampir mirip, kecuali tanda lahir di punggung. Bahkan lemak ditubuhnya pun disedot. Ia jadi kurus. Setengah berat badannya menghilang. Bibi Ki menepuk tangannya dua kali. Belasan pelayan bercelemek hitam-putih masuk ke kamar dengan berbagai macam benda di genggaman. Masing-masing pelayan membawa benda yang berbeda. Empat pasang seragam sekolah berbeda warna, tujuh pasang sepatu, delapan macam tas dan juga buku-buku pelajaran. Eveline terperangah. “Begini kah hidupku sebelum lupa ingatan? Ini luar biasa,” pekiknya dengan nada rendah. Dielusnya semua benda itu satu-persatu. “Bagaimana, kau suka?” tanya bibi Ki. Eveline mengangguk-ngangguk, raut bahagia terpancar di wajahnya. “Ini sempurna. Terima kasih.” “Sempurna? Tumben-tumbenan Nona menyukai pilihan papa. Ini semua pilihan tuan David. Kalau kau mau sepatu atau tas yang lain kau bisa membukanya di lemari.” Dua pelayan berjalan, mendekati lemari di sebelah Utara ruangan, lemari kaca besar berukir kayu hitam dengan serbuk emas. Dua pelayan tadi membukanya dan nampaklah kumpulan tas dan sepatu sebanyak dua belas susun. Satu susunnya muat kurang lebih dua puluh barang. Lagi dan lagi Eveline terpukau. “Kupikir anda kelelahan Non, mungkin ada baiknya kami semua keluar sekarang. Kalau butuh bantuan anda bisa memencet tombol itu,” kata bibi Ki menunjukkan bel di dinding. “Ah i-iya. Terima kasih sebelumnya bi-bibi Ki.” Terima kasih? Eveline tak pernah mengucapkan kalimat semacam itu kepada bibi Ki, pelayan lain dan juga pengawal. “Sama-sama.” Kedua bahu bibi Ki terangkat sesaat setelah ia meninggalkan ruangan. “Mungkin lupa ingatan juga bisa mengubah sikap dasar seseorang,” begitu pikirnya. Melihat Eveline yang sekarang, sangat berbeda. Tersenyum, mengucapkan terima kasih dan senang ditunjukkan barang baru. Sementara Eveline dulu, ia tidak ramah dan tak tahu mengucapkan terima kasih. Karena sedari kecil, tak ada hal-hal seperti itu dalam kamusnya. Dan barang baru? Ia mulai bosan dengan hadiah seperti tas bermerk dari Berlin, Paris, Tokyo. Sepatu kulit buaya putih punah langka, dompet kulit ular langka hanya dua di dunia, atau cincin berlian merah delima. Meski dengan harga fantastis, namun semuanya sama saja baginya, sama-sama membosankan. Satu hadiah yang membuatnya bahagia adalah hadiah pemberian Bram. Sepasang ikan cupang.  Namun meski dengan sikapnya yang seperti itu, jarang tersenyum, tidak mengucapkan terima kasih, dan tidak senang dengan hadiah baru. Eveline kecil tetaplah anak yang baik. Ramah dengan caranya sendiri. Kembali ke Eveline yang sekarang—Leah, yang membuka tirai kamarnya. Memandangi kota di luaran sana yang terpapar cahaya terik matahari. Menara-menara tinggi. Ini pemandangan terindah yang dilihatnya seumur hidup—mungkin. Sekarang kan ia sedang lupa ingatan. Jadi, ia bisa mengatakan kalau ini adalah pemandangan pertama terindah yang ia lihat setelah ingatannya menghilang. Leah menghirup napas dalam-dalam, seraya tersenyum. * Saat Leah menikmati kehidupannya sebagai Eveline, Bram datang ke ruang kerja papanya di lantai tujuh penthouse untuk mengancam.  "Aku tidak akan tinggal diam kalau terjadi sesuatu pada anak itu." Bram memandangi lelaki yang kini duduk di kursi kerjanya. Mata mereka berdua bertemu pandang, seperti tengah bertarung.  "Terus apa, apa yang akan kau lakukan? Biar bagaimana pun anak itu telah menjadi Eveline. Jadi semua hal yang dilakukan Eveline sebelumnya harus ia lakukan juga, tanggung jawabnya tak akan pernah berubah." Bram menggosok hidungnya. "Cih, papa tidak ada kapok-kapoknya ya. Papa tahu apa yang terjadi pada Eveline di saat terakhirnya? Harusnya papa sadar di-" Bram menghembuskan napas berat. "Dia tidak bahagia dengan hidupnya."  "Dia bahagia." David bangkit dari duduknya. "Jadi, keluarlah dari ruanganku sekarang dan berhenti melakukan hal konyol."  "Hal konyol? Aku bisa menyusul Eveline kapan pun aku mau Pa, dan Leah akan tahu semua kebenarannya. Kalau sudah seperti itu, papa akan tahu apa arti hancur sebenarnya." David tersenyum getir. Dia takut, dia benar-benar takut kehilangan anaknya lagi, maka dia berusaha meredam emosi. "Baiklah, kalau begitu aku tidak akan membebani Leah yang sekarang. Tetapi ingat, kau harus menjadi jaminan bahwa Leah tidak akan mencari tahu kebenarannya." Bram mengangguk, berbalik, melangkah keluar pintu.  "Satu lagi..." Langkahnya terhenti.  "Kau harus belajar mengurusi semua aset keluarga kita mulai sekarang. Berhentilah melakukan hal konyol demi—Eveline."  Bram meng-iyakan tetapi tubuhnya membelakangi David. "Kalau begitu beri aku waktu untuk menikmati semua hal yang ingin kulakukan hari ini." "Baiklah. Hanya hari ini."  Bram meninggalkan ruangan itu. Dengan harapan besar, kalau papanya benar-benar tak akan pernah lagi menuntut Eveline untuk belajar mati-matian. Eveline kecil, setiap harinya harus membaca buku dan belajar tentang dunia bisnis. Terduduk di perpustakaan pribadinya atau menonton video tentang hukum-hukum bisnis di bioskop keluarga di ruang khusus di lantai tiga penthouse didampingi papanya. Bram seringkali memaksa Eveline untuk melawan kalau ia memang tak suka diperlakukan seperti itu, tetapi Eveline membela diri dengan berkata ia menyukainya. Ia membohongi diri dan kakaknya sendiri. Sungguh, ia ingin hidup bebas seperti burung di luaran sana yang dilihatnya setiap hari dari balik jendela kamarnya. Tetapi di sisi lain, ia ingin membuat papa-mamanya bangga. Akibat dari kelelahan belajar, Eveline didiagnosa mengidap kanker otak yang baru terdeteksi saat memasuki stadium 3. Malang nasib anak itu. Tetapi bukannya karena penyakit itu ia bisa bebas sekarang seperti burung yang ia lihat setiap hari? Bebas dari tekanan papanya sendiri. Dan sebagai gantinya, Leah—seekor burung baru yang kini dimasukkan ke sangkar megah. Semoga saja Bram benar-benar bisa membebaskannya.  * Ruang makan terang, dengan lampu gantung raksasa di tengah bercahaya kekuningan yang estetik, menyinari makanan-makanan yang tersusun rapi di bawahnya juga piring-piring keramik berwarna putih tulang, kursi empuk putih keemasan, dan meja lonjong yang menawan.  Saat Eveline turun bersama bibi Ki, di sana sudah ada Merema dan David serta perempuan bercelemek yang mengelilingi mereka di belakang. Bersiap-siap. "Akhirnya, bagaimana kamarmu Nak?" tanya Merema kepada Eveline dengan senyum tipis menghiasi wajah.  "Luar biasa."  Merema senang mendengarnya.  Makan malam akhirnya dimulai. Keluarga ini makan dengan table manner. Sehelai kain menggelantung dari leher sampai ke perut. Piring, pisau, sendok, garpu, gelas berjejer rapi dihadapan. Makanannya ada beberapa pilihan. Appetizernya adalah salad buah jika suka dingin. Dan untuk versi hangatnya ada crouqette. Tiga pelayan membawa makanan itu ke hadapan mereka. Setelah habis, Merema menepuk-nepuk mulutnya lembut dengan kain. Lalu mengangkat sebelah tangannya. Para pelayan itu akan datang membereskan sisa makanan, sementara pelayan-pelayan baru akan mendatangkan menu berikutnya. Makanan utama. Yang sangat lengkap dengan gizi seimbang yang semuanya dibuat dari bahan makanan segar. Lebih banyak yang mereka sisa daripada yang mereka makan. Bahkan tidak sedikit makanan yang masih utuh tak tersentuh sebelum berpindah ke menu berikutnya. Seperti chicken parmigiana dan foire gras. Merema adalah seorang vegetarian. Sementara David tak suka daging ayam apalagi hati angsa.  Foire gras adalah makanan kesukaan Eveline. Tetapi sekarang, Eveline sepertinya tidak tertarik sama sekali. Jangankan hati angsa, hati ayam saja mungkin akan dimuntahkan seorang Leah.  Terakhir dessert, makanan penutup. Ada custard dan puding berbagai macam bentuk dan rasa. Tetapi Eveline lebih tertarik mengambil es krim stroberi.  Sementara Merema dan David yang melihatnya makan sedari tadi berusaha diam, tidak berkomentar tentang cara makan anaknya. Jauh dari kata table manner. Eveline yang sekarang bahkan makan dengan kedua tangan tanpa sendok.  Siapa sangka jika Leah yang dulunya seorang penjaga kasir minimarket dan mengumpulkan makanan sisa yang kadaluarsa kini menikmati semua makanan ini. Dan bukan hanya kali ini saja. Setiap hari.  "Ngomong-ngomong ke mana kakak, apa dia belum pulang?" Eveline bertanya saat pelayan mengambil piring-piring di meja.  David melemparkan pandangannya kepada Merema.  Merema tersenyum getir. Menoleh ke Eveline. "Dia sedang sibuk."  Eveline mengangguk lugu. Tak bertanya banyak, karena dia sendiri belum ingat tentang bagaimana kehidupan Eveline sebelum lupa ingatan. "Oh iya, bagaimana perlengkapan sekolahmu?" tanya David. "Kau suka hadiah papa kan?"  "Ya, sangat suka. Semuanya lengkap dan—mewah." Senyum Eveline merekah sembari bertepuk tangan kecil. "Te-terima kasih Pa."  David tersenyum kikuk, ini kali pertama Eveline mengucapkan terima kasih padanya.  "Kalau begitu, kembalilah ke kamar bersama bibi Ki. Kau harus banyak istirahat, besok dokter akan datang mengecek kesehatanmu," pesan Merema. Lalu pandangannya beralih ke bibi Ki. "Tolong bantu Eveline ya Bi. Kalau dia butuh sesuatu, penuhi, apa pun itu." Bibi Ki mengangguk, "Baik nyonya."  Sementara David dan Merema melemparkan pandangan. Rasanya sangat aneh. Karena ia bukan Eveline yang asli. Bukan darah daging mereka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD