BAB 4

490 Words
Sekembalinya dari ruang jenazah, Bram kembali berdebat dengan David dihadapan dokter. tentang apa yang harus mereka lakukan sekarang kepada perempuan malang ini. Perasaan iba muncul dibenak Merema ketika ia melihat perempuan malang dengan lilitan perban dihadapannya. Sesaat, ia kembali teringat dengan Eveline. Usia anak ini dan Eveline mungkin tak jauh beda, pikirnya. Dengan lembut Merema mengelus tangan perempuan itu. Dipandanginya dengan retapan kasihan. Sambil sesekali merogoh sesuatu dari saku berharap ada kartu identitas anak itu yang bisa ia temukan. Tetapi yang ia temukan malah secarik kertas. Dibacanya kertas itu, yang tertulis : Aku tidak tahu harus berkata apalagi. Aku bukan siluman babi. Aku benci hidup. Aku benci kalian. Sepertinya bukan masalah besar kalau aku menghilang. Kenapa? Kenapa tidak membuangku saja dari awal Kenapa cuma aku yang menderita Mungkin lebih baik aku mati. Ya, aku tidak akan pernah kembali lagi. Sampai bertemu di dunia lain. Aku akan menuntut segalanya. Siapa pun yang menemukan surat ini, kalian tidak perlu tahu alamatku. Lagi pun orang tuaku tidak peduli. Buang saja jasadku yang mati kelaparan ini di sungai. Mungkin lebih baik bagi mereka jika jasadku membusuk atau dimakan ikan-ikan ketimbang mereka harus mengeluarkan biaya untuk pemakaman. Dari Leah, yang tak sanggup lagi melanjutkan hidup. Mata Merema membulat. “Selamatkan nyawa anak itu,” katanya, menyela pembicaraan David, Bram dan sang dokter yang menangani. “Ya, kami akan berusaha sebaik mungkin. Hanya saja… wajahnya remuk. Dan kita tidak dapat melakukan operasi plastik, hidungnya patah—bibir, rahang, benar-benar parah. Jadi dia mungkin akan hidup dengan tidak normal.” “Apa tak ada cara membuat wajahnya normal kembali?” ngotot Merema. Sang dokter memangku wajahnya. Memikirkan satu cara yang bisa ia lakukan. “Transplantasi wajah. Tetapi kita harus mencari pendonornya.” “Eveline, anakku.” “Mama?!” “Sayang?!” Bram dan David terkejut, hampir bersamaan. “Baca ini.” Merema menyodorkan surat itu kepada anak dan suaminya sementara ia kembali menoleh ke dokter. “Lakukan secepat mungkin.” “Tetapi dokter di rumah sakit ini mungkin tidak cukup dan biayanya...” “PANGGIL SELURUH DOKTER TERBAIK DI KOTA INI, SEKARANG JUGA!!!” Sang dokter mengangguk, berjalan menyusuri koridor rumah sakit secepat mungkin. Merema terduduk lemas di kursi, memegang pelipisnya. Ia kembali menangis dengan mata yang sembab dan bengkak. Mungkin sebentar lagi ia akan pingsan kalau terus-terusan seperti ini. Tetapi, semakin ia menahan tangisnya, semakin batinnya terasa perih. Seperti ada yang menekan dadanya. Sakit sekali. David memberikan surat yang baru saja ia baca kepada Bram. Sementara ia sendiri mengelus rambut istrinya lembut. "Sebenarnya apa yang kau pikirkan sayang?" "Eveline. Dia, dia..." Merema terisak tak bisa berkata apa pun. Dengan sigap Bram dengan tatapan kosongnya memberi segelas air. Menaruh surat ke dalam saku dan memperhatikan wajah Leah yang dipenuhi perban. Semuanya terasa seperti mimpi. Dia dan papanya tahu bahwa tujuan Merema adalah agar ia bisa melihat wajah Eveline setiap hari. Dan anak malang ini—Leah, punya hidup yang kelam. Seperti sebuah solusi untuk dua masalah.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD