“Mohon maaf Pak, Bu, kami sudah berusaha semaksimal mungkin.”
Mendengar itu, perempuan dihadapan sang dokter teriak histeris. Kedua lututnya langsung lemas, bersandar di lantai yang dingin. "A-aku siap membayar berapa pun Dok. Tolong kembalikan dia."
Sang dokter menggeleng. Tidak berhasil menyelamatkan nyawa dan menyampaikan kabar buruk kepada anggota keluarga pasien adalah hal yang dibencinya. Tetapi apa hendak dikata, kita tidak dapat melawan takdir. Kita tidak dapat menyogok yang Maha Kuasa meski kau memberikan seisi dunia.
Maka, sang dokter meninggalkan perempuan tua itu bersama pasangannya yang sedari tadi menatap kosong.
Didahului anak adalah hal yang tidak diinginkan oleh para orang tua.
"Kau harus cari cara menghidupkannya kembali. Eveline, Eveline anak kita..." Sang istri, Merema, menggoyangkan tubuh suaminya. Masih tidak terima dengan kenyataan.
"Kita harus segera menyiapkan pemakamannya," kata David pasrah. Mendekap istrinya lembut.
Penyesalan menghampiri David. Bukan karena kepergian Eveline. Tetapi ia merasa tidak bisa menjadi ayah yang baik bagi anaknya. Bahkan disaat-saat terakhir.
Benar kata orang, uang bukan segalanya. Karena kalau iya, David mungkin sudah menjadi ayah terbaik di dunia. Namanya terkenal seantero negeri sebagai pengusaha sukses. Bukan sukses biasa, ia memiliki saham paling banyak di perusaahan tambang emas terbesar di negeri ini. Perusaahannya sendiri sudah bercabang-cabang dari furniture, properti, pangan dan juga transportasi.
David Corp. Nama yang tidak asing kalau kalian menyebutnya di kota ini. Sesekali orang bergurau. "Jika pemilik Davod Corp itu membagikan hartanya, mungkin seantero penduduk kota tidak akan miskin. Tidak akan ada lagi anak jalanan yang mengamen di lampu merah, pemulung, manusia silver, atau pengemis yang rela memotong tangannya untuk dikasihani."
Dan akan dikemanakan kekayaan itu kalau Eveline telah tiada?
Untung saja bagi David, karena Eveline bukan anak tunggal. Dia punya seorang kakak laki-laki bernama Bram. Sayangnya, dibanding Eveline yang penurut, Bram adalah tipe pembangkang yang hobi menghancurkan hidupnya sendiri. Di bar, mabuk-mabukan dan bermain bersama wanita panggilan.
Saat ini, Bram sedang mengendarai mobil setelah lima menit yang lalu asisten pribadinya memberitahukan bahwa Eveline telah meninggalkan dunia untuk selama-lamanya. Setelah mendengar itu, Bram memukul kaca mobilnya hingga pecah. Sebejat-bejatnya pun ia, seberapa besarnya ia benci dengan orang tuanya, ia sangat menyayangi Eveline. Baginya, Eveline adalah satu-satunya sumber kebahagiaan yang bisa membuatnya tersenyum.
Dengan speedometer yang tidak terkendali Bram menyusuri jalanan kota. Dia adalah pembalab ulung. berbelok ke kanan dan ke kiri, melewati tikungan demi tikungan.
Tetapi tiba-tiba ada bayangan putih melintas.
Mungkin anjing liar atau hantu.
Bukan!!!
Manusia!!!
Dengan sigap Bram menginjak pedal rem.
Harusnya mobilnya berhenti. Tetapi karena hujan, jalanan jadi licin dan ia terus melaju.
BRUUUUUUGKKKK!
Seorang perempuan terlempar jauh.
Bram keluar dari mobilnya, memandang berkeliling.
Untung sepi.
Ia memopang tubuh perempuan gemuk itu dengan kepala bersimbah darah naik ke mobil.
*
Sepuluh menit kemudian, Bram tiba di rumah sakit. Mendesak semua perawat untuk menangani perempuan yang kini tak sadarkan diri dalam dekapannya. Ia mengabaikan perempuan itu sejenak, ingin segera menghampiri jasad adiknya. Tetapi saat Bram berbalik, orang tuanya berdiri di belakangnya, mereka sudah terlanjur menyaksikan proses penyelamatan perempuan malang itu.
"Siapa dia?" tanya Merema, cemas. Menyeka air matanya.
"Aku tak sengaja me—”
PLAK!!!
David menampar anaknya. Merema diam mematung dan Bram memegangi pipinya yang kebas.
"KAU TAHU APA YANG TERJADI PADA ADIKMU?"
Emosi David mencuat. Bagaimana tidak, saat ia dan istrinya sedang berduka, anaknya malah mendatangkan masalah baru.
"A-aku minta maaf Pa..."
Merema menghela napas berat. "Kalian boleh bertengkar nanti. Tetapi jangan di sini, kita harus melihat keadaan anak itu. Kau harus bertanggung jawab Bram."
Bram mengangguk. Tidak pernah sekali pun ia mengakui perbuatannya dan menurut, kecuali hari ini. Ini mungkin menjadi yang pertama dan yang terakhir kali.
Padahal Bram sekarang sangat ingin memeluk jasad adiknya. Ia ingin menangis. Ia ingin berteriak.
Tetapi, biar bagaimana pun, itu tidak akan mengembalikan nyawa Eveline. Sementara yang ditabraknya, masih ada harapan untuk hidup.
Bram merasa sangat bersalah.
Suasana di rumah sakit itu semakin menyedihkan. Merema melihat dari kaca tembus pandang bagaimana Leah yang malang diberi penanganan. Sementara David masih memendam amarah. “Bisa-bisanya anak itu berbuat ulah,” gerutunya.
Bram mungkin akan sakit hati mendengar serapah itu. Untungnya ia sudah tidak ada di sana. Sekarang ia mengunjungi jasad adiknya.
Ini adalah momen yang menyedihkan untuk disaksikan secara langsung.
“Kenapa Eveline, kenapa harus kau?”
Kenangan masa kecil bersama adiknya terbesit di benak Bram.
Dua kakak-beradik itu dulu sering menghabiskan waktu bermain bersama di halaman rumah. Saat orang tua mereka belum sibuk ke luar negeri untuk urusan bisnis, saat orang tua mereka dulu punya banyak waktu luang menyayangi mereka.
Tetapi saat mereka sudah kaya, semuanya berubah. Eveline lebih banyak mengurung diri di kamar, Bram keluyuran dan Merema serta David pulang-balik luar negeri bertemu rekan kerja. Tak ada waktu kumpul keluarga.
Orang bisa sibuk menyita waktu demi uang. Tetapi uang tidak bisa membeli waktu. Keduanya sama-sama penting, dan harus ada satu yang dikorbankan.
Bram menarik rambutnya, meninju tembok dan melempar vas bunga. Sesaat kemudian ia berteriak.