1

2267 Words
Sekarang masih pukul 6 pagi. Tetapi tidak seperti biasanya, suasana SMA Tunas sudah sangat ramai. Lapangan dan setiap lantai di sepanjang koridor dipenuhi kaum hawa dengan binar mata yang terpancar dari mata mereka masing-masing. Kanayna yang baru saja memasuki area sekolahnya sendiri pun merasa asing. “Udah dateng belum anak barunya?” tanya perempuan berponi dengan rambut sebahu, mendekati gerombolan teman-temannya. “Belum anjir! Lama banget datengnya,” “Tahu, padahal gue udah dateng dari jam setengah enam!” “Sama! Makanya gue masih ngantuk parah, nih!” “Lebay lo pada! Gue yang dateng dari jam LIMA LEWAT LIMA BELAS aja, biasa,” Samar-samar Kanayna mampu menangkap obrolan segerombol cewek-cewek di lapangan. “Eh, anak barunya ada di gerbang!!!” Tiba-tiba saja, salah seorang di antara mereka teriak dengan suara yang cukup menggelegar. Persetan dengan anak baru, gadis kacamata berambut tebal itu harus merelakan bahunya nyeri tertabrak sana-sini oleh para cewek yang berlarian menuju gerbang. Sebab dia tetap memilih berjalan melawan arus menuju kelasnya. “Woy, awas dong!” Terdengar suara seseorang menyentak kencang. Karena saat itu jalannya terhalang oleh Kanayna. Gadis itu sudah minggir ke sisi kiri, tapi ternyata ada orang lain lagi yang jalannya juga terhalang olehnya. Beda dengan sebelumnya, orang yang sekarang lebih parah. Dengan yakin orang itu mendorong tubuh Kanayna hingga jatuh tersungkur di aspal lapangan yang kasar. “Aw-“ Gadis itu berdesis sambil bangkit dan membersihkan telapak tangannya yang lecet juga kotor terseret aspal. Yang bikin Kanayna lebih kesal, orang itu bukannya minta maaf malah berlari meninggalkannya dengan raut wajah tidak enak. “Sabar, Nay. Sabar,” ucapnya pada diri sendiri agar emosinya mereda. Dengan kekesalan yang membara di dalam dirinya, gadis itu berjalan memasuki kelasnya. Lebih kesal ketika tanpa salam, Sera―teman sebangku Kanayna―datang dan langsung membahas soal anak baru tersebut dengan antusias setelah menepuk bahu Kanayna berkali-kali. “Nay, Nay, udah denger gosip tentang anak baru belum?”  “Sakit, ih! Udah tahu!” Kanayna membentak kesal sambil mengusap bahu kirinya. Tanpa memerdulikan kekesalah Kanayna, Sera masih saja melanjutkan omongannya, “Cogan Nay, Cogan!!!” Sorotnya berbinar-binar. Saking semangatnya dia cerita sambil menatap langit-langit kelas, membayangkan ketampanan anak baru itu. Sera ini memang penggila cogan. Terutama cogan yang kebule-bulean gitu, alias cogan western. Kalau kata Hellen sih ‘mata coganan’. “Bodo amat!” Kalau Kanayna menjawab dengan singkat dan nada bicaranya ketus, itu tandanya topik pembicaraan tersebut tidak menarik baginya. “Gue jamin, minus lo bakal berkurang kalau sering-sering lihat dia,” kata Sera yakin, seyakin-yakinnya. “Semerdeka lo aja, Ser,” ketus Kanayna, seraya kembali melanjutkan bacaannya tanpa memperdulikan apa kata Sera. “Ser, lo ngomong soal cowok sama orang yang phobia cowok? Salah besar!”  kata Hellen menyeruak di kursi belakang. Kanayna membalikkan tubuhnya menghadap Hellen kemudian meralat, “Gue bukan phobia cowok, kali. Cuma―” “Cuma apa?” potong Hellen. Kanayna bergumam. Mencoba untuk mencari sanggahan yang pas. “Cuma ya, belum ada yang bisa narik hati gue aja.” “Heleh, kalau suruh milih novel atau cowok juga lo pasti lebih milih novel,” “Iyalah, novel mah udah pasti bisa bikin gue bahagia. Kalau cowok? Belum tentu,” Bel masuk berbunyi. Namun belum ada tanda ataupun aba-aba dari Angga. Si murid culun yang tampilannya persis seperti remaja di era tahun 80-an. Rambutnya berkilau model belah pinggir, tersisir rapi, alias klimis. Kulitnya sawo matang, memakai kacamata bulat besar, seperti kacamata Harry Potter. Karena lokasi duduk Angga terbilang strategis―di pojok depan dekat dengan pintu―otomatis siapa saja yang berlalu lalang di depan kelas dapat dilihat olehnya. Maka dari itu dia selalu memberi komando pada teman-teman satu kelas jika ada guru yang sedang berjalan menuju kelas mereka. Eits, jangan salah, meski culun dia menyandang jabatan sebagai ketua kelas X lima.  “Woii, ada Miss Jen!!!” teriak Angga memberi kode saat ia melihat Miss Jen berjalan dengan jarak beberapa meter dari pintu kelas. Ketika kelas sedang gaduh segaduh-gaduhnya, mendengar teriakan Angga, semua berhamburan menuju kursi masing-masing. Suasana hening seketika. Mereka langsung mengambil buku untuk melakukan aksi kepura-puraan. Ada yang berpura-pura belajar, ada pula yang berpura-pura membaca. Sehingga semua terlihat baik-baik saja seakan tidak pernah terjadi apa-apa. Semua mata terbelalak saat Miss Jen memasuki kelas tidak sendiri. Melainkan bersama dengan seorang siswa yang belum pernah terlihat di SMA Tunas. Tubuhnya tinggi, berkulit putih, hidungnya mancung, dan alisnya tebal seperti ulat bulu. Tidak bisa dipungkiri lagi ketampanannya, semua yang dikatakan Sera memang benar. “Dan sesungguhnya nikmat Tuhan mana lagi yang telah kau dustakan? Sumpah mimpi apa gue semalem bisa sekelas sama malaikat berwujud manusia gini,” Saat melihat sosok anak baru itu memasuki kelas, tidak ada satupun yang bersuara, kecuali Sera. “Ssstt! Berisik b**o!” celetuk Hellen yang duduk di belakangnya. “Selamat pagi, anak-anak,” sapa Miss Jen. “Pagi, Miss.” Semua menyahut serentak. “Anak-anak hari ini kalian kedatangan siswa baru, Miss harap kalian bisa bantu dia beradaptasi dengan sekolah kita, ya,” “Siapa namanya, Miss? Emang blasteran Kanada, ya? Kebetulan saya lagi open heart, nih,” goda Sera sambil mengerlingkan matanya ke anak baru itu. “Eh, ada juga open house kali!” Kanayna berbisik sebal pada teman sebangkunya itu. Anak baru itu tersenyum tipis menyaksikan kesan pertama Sera pada dirinya. “Sera jangan genit-genit dong, kan ada akang Yoga di sini.” Sera menatap sinis ke arah Yoga, tapi Yoga membalasnya dengan kedipan. “Huuuuuu,” “Swit-swit,” “Asoyy,” “Saik, dah,” Berbagai macam sorakan tertuju pada Yoga. Lelaki yang selalu mengejar cintanya Sera. Berusaha untuk mendapatkan perhatian dari Sera. Hampir setiap hari kerjaannya hanya tidur di kelas. Padahal Kepala Sekolah sudah memasang CCTV di setiap ruang kelas, namun ada saja cara agar ia tidak ketahuan tidur di kelas. Dia balut kamera CCTV itu dengan kantong plastik hitam, lalu ia ikat agar tidak lepas. Bukan Yoga namanya kalau tidak ada akal hanya untuk mengatasi hal sekecil ini. “Sabar, bro ... sabar!” seru Gilang dan Nata dengan nada meledek, seraya mengusap bahu Yoga untuk menegarkan sohibnya. Hanya Nata Praditya dan Gilang Pramasta yang menerimanya sebagai teman. Mungkin karena mereka bertiga satu spesies. Sama-sama menjadi incaran para guru. Sama-sama biang onar yang tak tertandingi di SMA Tunas. Sama-sama kurang beruntung dalam soal percintaan. Dan masih banyak kesamaan lainnya. Berbeda dengan Yoga si tukang tidur, kalau Gilang ini tukang telat. Sepagi apapun dia bangun, pasti akan berangkat ke sekolah sepuluh menit sebelum bel masuk. Nah, sedangkan Nata, dia itu murid paling iseng di SMA Tunas. Tidak pandang bulu. Semua sudah pernah menjadi korbannya. Termasuk guru BK sekalipun. “Hai! Kenalin nama gue Damar Fernando, panggil aja Damar. Semoga kalian bisa terima gue di sini, ya.” Setelah beberapa menit berdiri di depan kelas, akhirnya anak baru itu membuka mulutnya juga. “Baiklah Damar kamu boleh duduk sekarang.” Miss Jen meletakkan buku-bukunya di atas meja. Damar hanya menganggukkan kepala, matanya berkeliling mencari tempat duduk. Tak ada kursi kosong lagi selain kursi di samping Angga. Layaknya kursi panas, karena lokasinya strategis untuk pengawasan guru, baik dari dalam kelas maupun luar kelas. Makanya dari hari pertama masuk sekolah sampai saat ini, Angga duduk sendiri, baru Damar saja yang duduk di kursi itu. Keberadaan Damar membuat kelas X lima kini jadi trending topic seantero SMA Tunas. Mendadak toilet wanita lantai tiga―yang letaknya tidak jauh dari kelas X lima―jadi ramai pengunjung. Gadis-gadis yang melewati ruang kelas itu pasti menyempatkan diri untuk melongok ke dalamnya hanya untuk melihat Damar. Para guru pun sampai bingung, padahal tidak ada masalah toilet wanita lantai satu, dua, dan empat. “Ga, hari ini ada jamkos nggak?” Ketika jam istirahat, dengan posisi duduk di meja, dan kedua kakinya naik ke kursi, Nata bertanya persis seperti seorang jagoan. “Enggak ada kayaknya, tadi gue lihat di ruang guru semua guru masuk.” Angga menjawab tanpa berani menatap ke manik mata Nata. “Hm, gitu. Yaudah nanti kalau ada Bu Danti, bilang aja, gue, Yoga, sama Gilang lagi fotokopi!” Seperti biasa, jika tidak ada jamkos tiga kunyuk itu pasti bolos jam pelajaran. Angga yang pada dasarnya pengecut, hanya mengangguk pasrah. Tanpa sadar ada sepasang mata yang menatap Nata penuh dengan kebencian. Geram mendengar obrolan Nata dengan Angga, apalagi gayanya Nata yang sok jagoan. Yap, sepasang mata bulat di balik kacamata itu milik Kanayna. Tapi Kanayna memilih untuk bungkam meredam emosinya. Karena dia punya cara sendiri untuk membuat demit-demit itu jera. Lima menit setelah bel masuk berdering, Kanayna bersama Hellen dan Sera kembali ke kelas. Kebiasaan, setiap habis istirahat Hellen dan Sera pasti suka meributkan hal-hal sepele. Seperti sekarang ini. “Len, pokoknya gue nggak mau tahu, lo mesti tanggung jawab kalau berat badan gue naik!” omel Sera sambil berjalan menuju kursinya. “Yeee, udah gembrot mah gembrot aja, kali! Jangan nyalahin orang,” balas Hellen sewot seraya menjulurkan lidahnya panjang-panjang. “Salah lo-lah! Ngapain pake segala bilang ke Bu Wati nasi gue dibanyakin?” “Tapi lo abisin juga kan nasinya? Gue mah temen yang baik. Nyuruh Bu Wati nasi lo dibanyakin, biar sehat,” “Ya, karena gue nggak tahu,” Sera mengambil cerminnya yang biasa dia titipkan di kotak pensil Kanayna. “tuh kan, pipi gue jadi gede gini,” gerutunya. Ketika sedang asyik menonton dua temannya beradu mulut, tiba-tiba ada lipatan kertas kecil yang terjatuh saat Sera menarik kotak pensilnya dari dalam laci. Buru-buru Kanayna mengambil lipatan kertas itu, kemudian membaca tulisannya; Cinta itu rumit, cinta itu sulit, lebih sulit dari matematika, Karena cinta, tidak mempunyai rumus untuk menemukan jawabannya. Jangan tanya siapa yang menulis kata-kata itu. Sebab Kanayna-pun masih belum mengetahuinya. Entah ini sudah kali yang ke berapa Kanayna mendapat surat-surat semacam itu. Dikarenakan Bu Danti sudah berdiri di depan kelas dan siap untuk mengajar, Kanayna segera memasukkan kertas kecil itu ke dalam ranselnya. Setelah sepuluh menit mengajar, Bu Danti merasa ada kejanggalan dengan suasana kelas yang terasa damai dan tentram, tanpa adanya keributan yang dilakukan tiga kunyuk seperti biasa. Bu Danti langsung memakai kacamatanya karena dia rabun jauh, kemudian langsung melihat ke kursi pojok bagian belakang. “Ada yang tahu Yoga, Gilang, dan Nata ke mana?” tanyanya. Semua menoleh ke tempat duduk para penyamun di paling pojok belakang, lalu menggeleng. “Ehm ... me ... me ... reka bertiga lagi―” Sulit dipercaya, Angga benar-benar ingin mengatakan apa yang diperintahkan oleh Nata tadi. Belum selesai Angga bicara, Kanayna segera memotong dan membuka mulut. “Mereka bolos, Bu!” ucapnya datar. Bu Danti hanya menarik napas berat lalu melanjutkan pelajaran sampai selesai. “Oh iya, tolong nanti kasih tahu ke Nata, Yoga, dan Gilang, mereka suruh menghadap saya di ruang guru,” pesan Bu Danti sebelum pergi meninggalkan kelas. *** Keesokan paginya, setiba Angga di depan kelas, Yoga, Nata, dan Gilang langsung menghadangnya dengan tatapan dendam. Tatapan mereka membuat Angga terpaku dan ketakutan. Jangan berani-beraninya berurusan dengan tiga biang onar ini. Brak! Gebrakan pintu tersebut sukses membuat jantung Angga hampir loncat dari tempatnya. “Heh culun! Lo ngapain ngadu-ngadu ke Bu Danti kalau kami bolos kemarin?!” hardik Gilang sambil menggebrak pintu. “Bu ... Bu ... kan gue yang―” Angga terlihat gemetar dan sangat ketakutan. Kedua kakinya pelan-pelan berjalan mundur. “Apa bukan gue, bukan gue?! Nggak usah ngeles lo! ngaku aja!” Yoga menyela omongan Angga.    “Tahu! lo nggak inget kemarin gue ngomong apa sama lo?! kalau Bu Danti nanyain kami, bilang lagi fotokopi!” Nata langsung menyambar.    “Tapi beneran gue nggak ngomong apa-apa ke Bu Danti.” Angga mengelak sambil terus menggeleng.    Setelah mengumpulkan keberanian yang ekstra, akhirnya Kanayna langsung menghampiri Nata, memasang tatapan tajam, sambil berkacak pinggang. Tubuhnya yang tinggi membuat cewek mungil itu sedikit mendongak. “Emang bukan Angga yang ngaduin lo! Tapi gue!”    “Oh, elo yang ngaduin?” tanyanya sambil tersenyum jail.    “Nggak usah sok manis lo! Pake sanyum-senyum segala!” Kanayna memang benci dengan segala hal yang ada di diri Nata. Selain keisengannya yang tidak bisa ditolerir, Nata juga suka membuat emosinya naik.    Kanayna kaget alih-alih Nata menarik ikat rambutnya, kemudian dibawa lari. Seketika rambut panjangnya yang berwarna cokelat asli itu tergerai.    “Minggir minggir!” teriak Nata pada siapapun yang menghalangi langkahnya. Membuat semua yang berada di koridor sekolah menjadikan mereka tontonan.    “Eh, kunyuk! Balikin kunciran gue!” Kontan Kanayna langsung mengejarnya.    Bodohnya Nata malah berlari ke pojokan, ketika ingin balik arah Kanayna segera menghadangnya. “Mau lari ke mana lo?!” todong Kanayna seraya mendorong Nata ke sudut, agar tidak bisa berlari lagi. Begitulah mereka jika dipertemukan, selalu bertengkar bak anjing dan kucing. Bahkan permusuhan mereka pun sudah jadi rahasia umum di SMA Tunas. Walaupun memiliki karakter wajah yang lugu dan menggemaskan, Kanayna selalu memiliki keberanian yang cukup untuk melawan Nata. Karena dia yakin kalau Nata tidak akan mungkin berlaku kasar padanya. “Aduh, aduh, Nay, ampun Nay.” Nata menjadikan tangannya sebagai prisai, untuk menahan pukulan Kanayna yang tidak terlalu keras, sambil cekikikan. Sebenarnya, bisa saja Nata melawan Kanayna. Namun selalu ada prinsip yang ia pegang dan tidak pernah lepas dari hidupnya, 'lebih baik menangis karena perempuan, daripada membuat perempuan menangis'. “Balikin kunciran gue!” “Iya iya, nih gue balikin.” Akhirnya dia menyerahkan sebuah ikat rambut berwarna biru laut itu sambil terkekeh. Belum sempat untuk mengikat rambutnya lagi, dia segera kembali ke kelas. Karena bel sudah berbunyi beberapa menit lalu. Sebelum masuk, Kanayna mengintip ke dalam kelas terlebih dulu. Syukurlah belum ada guru. Di luar kesadarannya, gadis itu memerhatikan Damar dengan lamat-lamat. Hingga tanpa diduga tiba-tiba Damar mengangkat kepala. Kornea matanya yang berwarna coklat terang itu kini dapat dilihat dengan jelas oleh Kanayna. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD