2

1562 Words
“Kanayna, banguun udah siang!” teriak Fina sambil menggedor pintu kamar Kanayna. Suara Fina yang melengking memang satu-satunya suara yang bisa membangunkan Kanayna selain bunyi alarm jam wekernya. “Iya Bun, ada apa? Sekarang kan weekend. Jangan ganggu tidurku, dong,” sahut Kanayna mengumpat di bawah selimutnya. “Hellen sama Sera nunggu kamu di bawah, katanya kamu yang bikin janji sama mereka mau ke toko buku?” “Hah? Toko buku?” Kanayna bangun, lalu melamun sejenak untuk mengembalikan ingatannya. “Ah iya! Astagaa kok aku bisa lupa! Iya Bun, suruh mereka tunggu sebentar!” Ini nih, yang paling Kanayna benci dari dirinya. Pelupa! Tidak heran orang-orang sering bilang dia pikun. Bagusnya kalau situasi genting seperti ini, lima menit waktu yang cukup bagi Kanayna untuk mandi. Kanayna menuruni anak tangga satu persatu dengan secepat mungkin. Hellen dan Sera hampir saja dilanda rasa bosan selama menunggunya. “Hey, guys!” sapa Kanayna dengan melemparkan senyum selebar mungkin pada mereka, tanpa merasa berdosa sedikitpun. “Nggak usah sok manis deh, Nay!” Sepertinya senyum manis, eh, lebih tepatnya senyum sok manis dari Kanayna tak berpengaruh apa-apa pada mereka, terutama pada Hellen. Sera juga melempar tatapan sinis padanya, tapi tetap saja tidak sesinis Hellen. “Tahu nih, pake senyum-senyum segala lagi!” “Yaudah yuk, jalan! Nanti keburu siang, kan panas,” timpal Sera. Dia memang paling takut jika terkena panas. Sebab panas bisa membuat kulitnya hitam, dan dia merasa jika dia hitam akan terlihat dekil dan kumal. Di antara mereka bertiga, gadis yang memiliki nama lengkap Serania Disyani ini paling mementingkan penampilan. Berbeda dengan Hellen, dia paling cuek tentang penampilan. Dia selalu mengenakan pakaian yang menurutnya nyaman untuk dipakai. Seperti ripped jeans, kaos, rambutnya-pun lebih sering dicepol, tidak pernah diikat rapih. Sedangkan Kanayna, tidak terlalu fashionable seperti Sera, yang penting rapi, nyaman dipakai dan tidak terbuka atau mini seperti kekurangan bahan, dikuncir kuda, pakai kacamata berbingkai hitam. Dari penampilannya sih, semua orang pasti tahu kalau dia memang kutu buku. “Bun, aku berangkat, ya,” pamit Kanayna seraya mencium punggung tangan Fina, diikuti Hellen juga Sera. “Hati-hati, yaa!” Fina mengantar mereka sampai depan pintu. “Kita langsung ke toko buku aja ya, katanya novel Tentang Kamu udah terbit. Gue mau beli,” rajuk Kanayna dengan sedikit memohon disertai puppy eyes-nya. “Terserah kalian mau mampir ke mana dulu, gue sih ikut aja,” Hellen hanya menuruti kemauan dua sahabatnya itu. “Hm, gini nih resikonya punya temen kutu buku.” Sera memutar kedua bola matanya. “Iya deh ... Untung lo sahabat gue.” Sera memasang senyum yang dipaksakan. “Yeay, lo berdua emang the best!” puji Kanayna lalu merangkul Hellen dan Sera. Jika sudah memasuki area toko buku, Kanayna selalu asyik, dan merasa seperti memiliki dunia sendiri. Berkeliaran mengelilingi jejeran rak buku, melihat-lihat judul juga cover-nya, lalu membacanya sedikit. Jika menarik buku itu pasti dibeli. Sesekali dia melirik Sera dan Hellen. Hellen terlihat bosan melihat jejeran buku di setiap sudut dan sisi. Dia hanya mengambil buku, melihat cover depan, kemudian dibalik untuk membaca sinopsis yang biasanya tertulis di cover belakang, dan diletakkan kembali olehnya. Itu dia lakukan secara berulang pada beberapa buku. Tapi ketika Kanayna melihat Sera, dia sedang asyik menggoda pria tinggi, putih, berseragam kuning hitam. Sepertinya pria itu salah satu pekerja di toko buku ini. Memang anak itu selalu bersikap sangat manis pada setiap laki-laki. Kecuali Yoga. “Udah yuk, kita ke kasir,” ajak Kanayna menghampiri Hellen dengan membawa lima buku novel yang ditumpuk menjadi satu. “Nay! Lo serius mau beli novel sebanyak itu?? Tadi katanya mau beli novel Tentang Kamu doang?” tanya Hellen dengan ekspresi sedikit kaget. “Ngapain gue bawa-bawa kalau nggak mau dibeli,” Kanayna menjawab enteng. Itulah Kanayna, kalau udah ke toko buku, rasanya semua ingin dia beli. “Ngga kebanyakan, Nay? Emang lo yakin bakal dibaca semua? Itu tebel banget loh Nay, gue aja lihatnya udah gumoh duluan, nih.” Hellen seperti tidak yakin dengan sahabatnya sendiri. Kanayna menggeleng. “Yaudah ayuk, temenin gue bayar ke kasir,” Selesai membayar semua novelnya, Kanayna dan Hellen menghampiri Sera. “Nay, lo sehat? Beli novel sebanyak itu?” Ekspresi Sera jauh lebih terkejut dibanding Hellen tadi. “Nggak panas kok badan lo Nay.” Berlebihan, dia sampai menyentuh kening Kanayna dengan punggung tangannya. “Kalau gue nggak sehat, nggak mungkin Bunda izinin gue keluar bareng kalian sekarang,” ketus Kanayna seraya memutar bola matanya. “Ayuk kita makan dulu kek, gue laper nih. Tadi pagi belum sarapan, baru makan roti selai sama bubur doang.” ucap Hellen menyeruak sambil mengelus perut kemplengnya. “Hah? Makan segitu banyaknya, lo bilang 'doang'?” tanya Sera dengan menekankan kata 'doang'. “Udah yuk, katanya mau makan?” ujar Kanayna mengalihkan pembicaraan mereka. Baru sampai di sebuah tempat makan, Hellen langsung mengambil menu makanan. Mereka makan di resto yang tidak terlalu mewah, harga makanannya pun tidak terlalu mahal, makanya mayoritas yang berkunjung itu anak muda. “Mau pesan apa, Mbak?” Seorang waitress bertanya. “Aku mau nasi goreng spesialnya satu, jus mangganya satu," jawab Kanayna. Kemudian dia mengoper buku menu itu ke Sera. "Ser lo pesen apa?” “Aku salad aja, Mbak, sama minumnya jus mangga juga, tapi less sugar ya, Mbak. Len lo mau pesen apa?” “Mbak aku mau pesan kentang goreng, sup ayam, cheese cake-nya satu, sama nasi goreng spesialnya satu juga,” “Minumnya?” “Hmm ... minumnya jus jeruk aja,” “Baiklah, pesanan akan kami antar.” Setelah mencatat semua pesanan mereka, waitress itu langsung beregas. “Dasar perut karung!” celetuk Sera sambil melirik Hellen sinis. “Biarin sih, selagi makan banyak nggak buat gue gemuk, ya nikmatin aja. Bilang aja lo iri?” Hellen menaikkan salah satu alisnya. Dari awal Sera memang sangat iri dengan Hellen yang bentuk tubuhnya tetap stabil, walau porsi makannya begitu banyak. Sedangkan dia, porsi makannya dilebihkan sedikit saja, berat badannya langsung naik. Jika satu kilo saja berat badannya naik, dia langsung stress yang berlebih. Itulah sebabnya dia sangat amat menjaga pola makannya. 47 menit berikutnya, waitress tadi mengantar pesanan mereka. “Ser makan lo dikit banget?” tanya Kanayna heran. “Iya, gue lagi diet, Nay,” “Ser makanan lo dedaunan gitu? Udah kayak kambing aja. Nggak menggugah selera sama sekali!” Lagi-lagi Hellen lupa menyaring omongannya. “Lo lihat dong, Len, cuma gara-gara makanan lo nih, meja kita udah kayak meja perasmanan gini. Bikin malu aja!” timpal Sera. Mendengar ucapan Sera, Hellen hanya menjulurkan lidahnya ke arah Sera dan terkekeh. *** Dua jam yang lalu Kanayna dapat kabar kalau istri Pak Maman baru saja melahirkan anak keduanya. Jadilah sekarang gadis itu pulang naik bus. Pegal berdiri, gadis itu memilih duduk di sisi halte sambil menyantap es krim mangkuk strawberry kesukaannya. Tidak lama kemudian, bus jurusan ke arah rumahnya tiba. Gadis itu berlari terburu-buru. Tetapi saat selangkah lagi ingin masuk ke dalam bus, langkahnya terhenti. Mengingat sesuatu miliknya masih tergeletak di kursi panjang yang tadi ia duduki. Kontan Kanayna balik lagi untuk mengambil paper bag yang berisi novel-novel barunya. “Pak, tunggu ya. Jangan jalan dulu. Saya mau ambil paper bag saya ketinggalan,” pesan Kanayna pada kondektur bus. Sesegera mungkin Kanayna meraih paper bag biru itu. Ketika pintu bus beberapa detik lagi akan tertutup otomatis, alih-alih seseorang menarik tangannya masuk. “Damar?” ucap Kanayna agak kaget saat mengetahui bahwa yang barusan menariknya itu Damar. “Makasih, ya.” “Iya, sama-sama,” balasnya singkat. Karena semua tempat duduk sudah penuh, Kanayna dan Damar berdiri di dekat pintu. “Huft,” keluh Kanayna dengan napas terengah-engah. Di halte berikutnya, ternyata banyak penumpang yang masuk. Bus terasa semakin sempit dan pengap. Mendadak degup jantung Kanayna tidak beraturan ketika Damar berdiri tepat di hadapannya dengan jarak hanya 2 cm. Bahkan aroma maskulin parfume Damar pun sangat tercium olehnya. d**a Damar yang bidang pas berada di depan matanya. Kanayna mendongak, ternyata tangan Damar―memegang tiang―menahan dirinya dari desakkan orang-orang di belakang punggungnya agar tubuh Kanayna tidak terjepit. Dan walaupun bus tersebut ber-AC, tetapi tetap saja terasa panas oleh hawa manusia. Melihat dahi Damar berkeringat, Kanayna mengeluarkan dua helai tisu dari dalam tasnya. “Nih, elap keringet lo.” Kanayna menyodorkan tisu itu ke Damar. Damar mengambil, “Thanks, ya.” Kemudian mengelap wajahnya yang putih mengkilap itu dengan satu tangan. Sebab tangan satunya lagi masih berpegangan tiang menyangga tubuh Kanayna. Kemacetan panjang menyebabkan hal itu terjadi selama satu jam di dalam perut bus. Sesaat kemudian Kanayna turun lebih dulu, karena Damar turun di halte pemberhentian terakhir. Entah kenapa setelah turun dari bus, Kanayna merasa senang sekali. Tapi kesenangan kali ini berbeda dengan kesenangan-kesenangan yang biasanya dia rasakan. Satu halte lagi, Kanayna bersiap untuk turun. Tapi tiba-tiba saja seorang pria gendut masuk tanpa antri bagaikan preman. Hingga tubuh Kanayna terdorong dan nyaris jatuh. Bagus ada Damar yang berdiri tepat di belakangnya. “Mas, jangan main asal dorong aja dong! Dia kan perempuan!” bentak Damar―tidak terlalu kencang, tapi penuh dengan penekanan―pada orang itu. “Maaf, nggak sengaja,” jawab orang itu tanpa rasa malu. “Makasih ya, Mar.” Kanayna tersenyum sebentar pada Damar, kemudian ia keluar dari dalam bus. “Kenapa tadi gue deg-degan nggak jelas?” tanya Kanayna pada dirinya sendiri. Tetapi dia tidak pernah menemukan jawabannya. Sepanjang perjalanan, pikirannya selalu menanyakan hal yang belakangan ini sering dia rasakan. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD