3

2278 Words
Entah kenapa hari ini Kanayna tidak terlihat seperti biasanya. Dari tadi dia hanya menelungkupkan wajahnya ke dalam lipatan kedua tangannya di atas meja. “Nay, lo kenapa? Kok pucet?” tanya Sera menundukkan kepalanya tepat di samping kepala Kanayna. Kanayna mengangkat kepalanya perlahan. “Ya? nggak kenapa-napa kok.” jawabnya. Hari ini badan gadis itu terasa lemas, kepalanya agak pusing, mungkin karena sekarang hari pertama haid. Biasanya dia memang selalu merasa tidak enak badan pada hari pertama sampai kedua haid. Tapi tidak pernah separah ini. Tadinya Kanayna juga tidak ingin masuk sekolah, tapi karena hari ini ada ulangan biologi, jadi mau tidak mau dia harus paksakan sendi-sendi tubuhnya untuk berangkat ke sekolah. Saat bel pulang berbunyi, semua murid langsung gesit menggendong tas masing-masing. Sera dan Hellen sedang berganti pakaian untuk latihan cheers. Sementara Kanayna? Oh dia masih sibuk dengan novelnya, sambil menunggu dua sahabatnya latihan sampai selesai. Sebab, mereka memang telah berencana ingin belajar kelompok di rumah Hellen. Sudah sekitar setengah jam Kanayna menunggu, tapi mereka belum juga selesai latihan. Padahal dia sudah merasa sangat lemas, bahkan untuk beranjak dari kursi pun berat rasanya. Dilihatnya Damar sedang sibuk mengerjakan tugas tambahan dari Bu Tania, dan beberapa murid lain yang habis piket sedang bersiap untuk pulang. “Lo belum pulang?” tanya Jessie. “Belum, masih nunggu anak cheers selesai latihan,” jawab Kanayna dengan suara yang terdengar agak parau. “Nih, gue titip kunci kelas sama lo, ya? Gue buru-buru soalnya, jadi nggak bisa nungguin sampe kelas kosong,” ujar Jessie seraya menyerahkan sebuah kunci pada Kanayna. Biasanya yang piket memang selalu menunggu kelas sampai kosong baru boleh pulang, agar bisa langsung dikunci. Karena merasa ada yang aneh, Kanayna berdiri untuk mengecek. Jantungnya berdetak hebat, keringat membasahi keningnya, ketika mengetahui ternyata darah haidnya menembus sampai ke rok abu-abu yang dia pakai. Kontan gadis itu langsung kembali duduk, agar tidak ada yang tahu hal ini. Satu jam berlalu Kanayna menunggu Sera dan Hellen, tapi mereka belum juga kelihatan. Dia bingung, noda merah di bagian belakang roknya semakin melebar. Damar sedang memasukkan semua alat tulisnya ke dalam tasnya. Hingga di atas mejanya sudah tidak ada apa-apa lagi. Dia menyangkutkan ransel hitam itu di pundak kanannya. Kanayna bernapas lega, setidaknya hanya ada dirinya di dalam kelas, tidak mungkin ada yang tahu kejadian memalukan ini, selain dia sendiri beserta benda-benda mati di dalam kelas. “Lo belum pulang?” Damar berjalan mendekati Kanayna yang duduk membeku di kursinya. “Jangan bilang kalau sekarang jadwalnya lo piket. Karena sekarang baru hari Rabu,” Kanayna menggeleng gugup. Seperti biasa, jantungnya tidak pernah normal jika berada dekat dengan Damar. “Muka lo pucet banget, ayok gue anter pulang,” “Nggak usah, makasih. Masih nunggu Hellen sama Sera.” Kanayna gugup. Seketika tubuhnya keringat dingin. “Yaudah gue anter lo ke UKS aja, ya?” Damar menanggapi pelan. Ada kekhawatiran yang tersirat dari nada bicaranya. “Lo kan emang lagi sakit dari tadi pagi,” Alih-alih tangannya menggandeng Kanayna tanpa kompromi, untuk mengajak ke UKS. Cepat-cepat Kanayna menarik tangannya sampai tangan Damar terhempas kasar. Alis tebal Damar menaut erat. Raut wajahnya seakan menuntut sebuah alasan dari gadis itu. Aduh, gue mesti gimana, nih. Kanayna membatin. “G ... gu ... gue nggak bisa.” Setelah menarik napas panjang, akhirnya dia mampu menjawab walau terbata-bata. “Kenapa?” tanya Damar heran. “Darah haid gue tembus!” Gadis kutu buku itu berseru cepat bak mobil tanpa rem. Terpaksa, mau tidak mau, dia bilang yang sejujurnya ke Damar. Bodo amat, deh, malu juga. Pikirnya tidak ada pilihan lain. Awalnya Damar menunjukkan ekspresi agak kaget. “Kalau gitu, sekarang lo cuci aja dulu rok lo di toilet, nanti gue beliin pembalut. Gimana?” Mata gadis itu membulat sempurnya saat mendengar ucapan Damar yang jauh di luar perkiraannya. Kanayna pikir Damar bakal jijik, dengan dirinya karena noda darah yang berlumur di roknya. “Nggak usah, gue nggak mau ngerepotin lo lagi. Biar nanti gue suruh Hellen atau Sera aja yang beli,” sergah Kanayna karena merasa tidak enak. “Nunggu sampe kapan? Anak cheers kalau latihan bisa 3 sampe 4 jam, sekarang aja darah lo udah banyak gitu, Nay. Ntar yang ada lo keburu pingsan ngeluarin darah segitu banyaknya.” Damar menunjuk rok abu-abu Kanayna. “Tapi gue malu jalan ke toiletnya, masih banyak orang di koridor,” sungutnya pelan. Tahu-tahu cowok itu menyodorkan sebuah jaket berwarna biru dongker. “Nih, tutupin pake jaket gue.” “Nggak ah, nanti jaket lo kena darah gue.” Lagi-lagi gadis itu menolak niatan baik dari Damar. “Nggak apa-apa, lo bawa pulang aja dulu jaketnya,” “Hm, yaudah deh,” Kanayna menjawab, seraya mengambil jaket dari tangan Damar, lalu dia ikatkan bagian kedua lengan jaket itu di pinggangnya, agar menutupi noda merah pada bagian belakang roknya.  “Masih kelihatan nggak darahnya?” tanya Kanayna pada Damar memastikan. Kening Damar berkerut. “Masih, sih.” Damar jongkok, berusaha melebarkan jaketnya agar bisa menutupi noda merah itu. Berdecak berkali-kali. Putar kanan-putar kiri jaket yang terikat di pinggang Kanayna. Sayangnya, noda darah pada roknya Kanayna sudah sangat melebar. Jadi, jaket damar tidak berhasil menutupi seluruhnya. Sampai akhirnya dia menghembuskan napas menyerah. “Nggak bisa. Masih tetep kelihatan.” Kanayna menunduk putus asa. Setelah sekian detik berpikir, Damar menjentikkan jari. “Gue jalan di belakang lo, deh. Biar badan gue nutupin rok lo.” “Eh? Maksudnya?” Kanayna bengong ternganga. “Gue anter lo sampe depan pintu toilet. Ayuk!” Damar memekik yakin. Mulut Kanayna bungkam untuk menolak. Di perjalanan menuju toilet yang agak jauh dari kelas, Kanayna berjalan menunduk. “Jangan nunduk terus, nanti pada curiga.” Damar berbisik dari belakang yang berjalan sekitar beberapa senti di belakang Kanayna. “Heh cewek! Darah lo tembus?!” teriak salah satu cewek yang sedang duduk di koridor sekolah. Kontan seluruh pasang mata manusia yang berada di sana tertuju pada Kanayna. Kanayna tidak berani membuka matanya. Saat itu juga mulai terdengar desisan-desisan yang tidak enak didengar. “Ish, jorok banget, sih,” “Emang nggak pake pembalut apa, tuh, cewek?” “Anjir, pendarahan itu, mah,” Dan desisan yang paling nyelekit itu, “Nggak tahu malu amat, ya.” Dia hanya menunduk, berharap bumi bisa menelan dirinya sekarang juga. Tapi tidak mungkin. Ini kali pertama Kanayna tembus di sekolah, dan langsung fatal begini. Sebelum air mata Kanayna terjatuh dan disaksikan oleh puluhan manusia di sana, buru-buru Damar menyembunyikan wajah Kanayna di dadanya. Kanayna menangis sesenggukan tanpa suara. Air matanya sukses membasahi kemeja putih Damar. “Santai aja. Lo nggak sendiri. Ada gue, jadi kita malunya berdua,” bisik Damar yang kedua kalinya. “Berisik banget ya, lo semua!” gertak Damar pada semuanya. Lalu dia menggiring Kanayna menuju toilet. Tangan Kanayna bergantian mengelapi ujung-ujung matanya. Sehabis memastikan Kanayna sampai di toilet tanpa gangguan, Damar mengangkat dagu Kanayna. Lalu berkata, “Gue ke warung depan dulu, ya. Soalnya kantin sekolah jam segini udah pada tutup, Kalau takut buat balik ke kelas sendirian, nanti gue tungguin sampe lo selesai di depan toilet.” “Iya, btw maaf yaa, dalam satu hari ini gue udah ngerepotin lo.” Kanayna berkata pelan. “Santai aja, kali,” Sepuluh menit kemudian, Damar kembali ke toilet wanita membawa sebungkus pembalut tanpa malu. Dia menitipkan pembalut itu pada cewek yang ingin masuk ke toilet. “Eh, tolong kasihin ini ke bilik yang nomor 2, ya.” Sebenarnya Damar tidak punya alasan yang jelas dan pasti kenapa dia bisa melakukan itu semua. Menurut Damar, hal tersebut wajar. Karena siapapun yang berada di posisinya sekarang pasti akan melakukan hal yang sama seperti apa yang dia lakukan sekarang. “Udah selesai?” tanya Damar yang menunggu di depan toilet, ketika melihat Kanayna membuka pintu toilet. Kanayna mengangguk. Saat kembali ke kelas, Kanayna masih menutup bagian belakang roknya yang basah dengan jaket Damar. Hampir semua murid yang sedang duduk di pinggir koridor sekolah, melihat Kanayna aneh. Seperti menatap koruptor yang tertangkap KPK dan di serang para wartawan. Namun rangkulan tangan Damar di bahu Kanayna cukup untuk menguatkannya saat ini. “Serius nggak mau gue anter balik?” Damar mengulangi pertanyaannya tadi ketika tiba di depan pintu kelas mereka. Nada bicaranya masih tetap cuek, namun berhasil memporakporandakan perasaan gadis itu. Kanayna menggeleng, “Makasih, ya. Lo pulang aja. Sera sama Hellen udah di dalem. Maaf udah bikin lo malu.” “Gue nggak malu, biasa aja. Yaudah, gue balik, ya,” *** Malamnya, Fina, Dedi, dan Kevin―putra sulungnya―sedang asyik dengan kegiatan mereka masing-masing di ruang teve yang letaknya berada di lantai satu. Sedangkan Kanayna, di kamarnya, Kanayna hanya diam. Gadis itu masih belum bisa move on dengan kejadian tadi. Ketika Damar meminjamkan jaketnya. Ketika Damar berjalan di belakangnya tanpa ragu. Ketika Damar tiba-tiba menarik kepalanya dan menempelkan di atas d**a bidang cowok itu. Ketika Damar membelikannya pembalut. Ketika Damar mengantarnya sampai depan kelas. Damar Damar Damar Damar. Orang itu tidak bisa lepas dari pikiran Kanayna. Perasaan senang campur malu berkecamuk dalam dirinya hari ini. Tapi lebih banyak senangnya. Siapa sangka, kehadiran Damar yang baru beberapa minggu itu mampu menjungkir balikan perasaan Kanayna. Mungkin kalau seandainya bukan Damar yang membantunya tadi, gadis itu tidak akan sebaper ini. Bahkan Kanayna sempat berpikir kalau Damar itu mungkin malaikat penolong yang diutus khusus untuknya. Pada awalnya, Kanayna tidak paham soal cinta. Dia tidak tahu persis gimana rasanya jatuh cinta. Karena hidupnya selalu dipenuhi dengan logika. Bukan perasaan. Sampai Damar datang dan membuat perasaannya berfungsi sebagaimana mestinya. Untuk pertama kalinya Kanayna merasa jenuh berada di kamar. Lebih tepatnya, jenuh akan pikirannya yang selalu dihantui oleh Damar jika dia masih terus menyendiri di dalam kamar. Akhirnya dia memutuskan untuk turun, bergabung dengan keluarganya. Tanpa basa basi lagi, tiba-tiba saja Kanayna duduk di samping Kevin dan seenak jidat merebut remote dari tangan Kevin untuk mengganti channel-nya. “Apa-apaan, nih? Kok diganti?” protes Kevin yang langsung merampas kembali remote dari tangan Kanayna. Lalu memindahkan ke channel sport lagi. Kanayna mencebikkan mulutnya karena bete dengan tingkah abangnya. “Gak seru, Bang! Apaan tuh, bola atu aja diperebutin,” ketus Kanayna. “Kalau pemainnya punya bola sendiri-sendiri mah nggak gereget Dek nontonnya,” timpal Kevin cengengesan sambil mengacak rambut adiknya. Dia suka sekali melihat raut wajah Kanayna kalau lagi jengkel seperti sekarang. Akhirnya Kanayna diam, ikut menyaksikan siaran bola itu sambil menikmati cemilan-cemilan milik abangnya. Tunggu. Sepertinya siaran bola ini tidak asing bagi Kanayna. Dilihatnya dua club sepak bola yang tertera di sudut atas layar TV. “MU sama Chelsea ya, Bang?” tanyanya memastikan. “Lah, lo nonton daritadi nggak tahu siapa yang tanding, Dek?” Kanayna menggeleng. Tak lama menggerutu, “Ganti ah, Bang! Mending nonton yang lain.” “Nggak ah, lagi seru,” ucap Kevin. Matanya masih fokus dengan sebuah layar 32 inch di depannya sambil mengunyah kepingan chiki piatos. Melihat abangnya sedang fokus, diam-diam Kanayna mengambil remote yang tergeletak di atas meja. Lalu mengganti channel-nya. “Dek, balikin nggak remote-nya! Atau,” ucap Kevin yang sengaja menggantungkan omongannya. “Atau apa? Lagi bukannya nonton di kamar sendiri sana!” timpal Kanayna yang berusaha menggenggam erat remote itu. “TV di kamar gue lagi rusak! Ada juga elo yang nonton di kamar sendiri sana! Atau,” Lagi-lagi Kevin sengaja menggantungkan ucapannya. “Nggak mau ah, bete sendirian. Enak nonton di sini bareng Ayah sama Bunda,” ucap Kanayna manja. “Halah! Biasanya juga di kamar terus lo, kayak ayam lagi nelor! Atau,” untuk ketiga kalinya Kevin menggantungkan kata 'atau' sambil tersenyum jail ke adiknya. Kanayna melirik Kevin bingung. “Atau atau atau apa, sih? Kalau ngomong yang jelas kek!” “Atau ... gue aja yang nonton di kamar lo? Oke kalau gitu.” Mendengar kata-kata Kevin barusan, Kanayna menghentikan aktivitas mengunyahnya. Baru saja Kevin ingin beranjak dari sofa, kontan tangan Kanayna menahan pergelangan abangnya. “Jangaann!!!!” Gadis itu membentangkan kedua tangannya lebar-lebar. Menghalau jalan abangnya. “Sejak kapan lo diizinin masuk kamar gue?” tanyanya sinis. “Siapa suruh gue lagi nonton digangguin?” Kevin membalas tidak kalah sinis. “Ahelah! Lagian juga ulangan, kan? Gue ikut nonton bareng Ayah waktu itu. Iya kan, Yah?” tanya Kanayna pada Dedi yang duduk di sofa kecil. “Hm, iya,” Dedi menjawab singkat karena sedang fokus dengan layar iPad-nya. “Iya tahu! Tapi waktu itu gue nggak sempet nonton, gara-gara sibuk bimbingan skripsi!” tanggap Kevin jengkel. “Ih, itu tuh awalnya aja Chelsea menang. Nanti pasti terakhirnya MU yang menang. Emang sih sempet seri juga 2-2. Tapi di akhir ada pinalti gitu, jadinya MU bisa ngejar score-nya Chelsea, Bang!” jelas Kanayna tanpa jeda. “Yaelah nih bocah! Nyebelin banget pake cerita se-detail itu,” ujar Kevin seraya menoyor kepala adik bungsunya itu. “Ih emang kenapa, sih? Harusnya bagus dong kalau gue ceritain, jadi abang udah tahu hasil akhirnya berapa,” jawab Kanayna sebelum memasukan sekeping chiki piatos ke dalam mulutnya. “Rese lo! Kalau gini gue jadi nggak seru lagi nontonnya!” Tanpa ragu Kevin melayangkan bantalan sofa ke arah Kanayna. “Aduh―” Kanayna melemparkan kembali bantalan sofa tersebut ke asalnya. “Emang kan gue bilang juga nggak seru Bang,” balas Kanayna sambil cengengesan tanpa merasa bersalah sedikitpun. “Udah udah, kalian itu ya, kerjaannya ribuuuuut terus. Bunda jadi pusing!” seru Fina melerai. “Ini nih, Bun, si Kanayna rusuh banget dari tadi.” tukas Kevin kesal. “Kok gue? Ada juga elo harusnya ngalah sama yang lebih kecil!” timpal Kanayna tidak mau kalah. Setelah menarik napas panjang, akhirnya Kevin mengalah. Dia beranjak dari sofa, kemudian pergi bermain PS. Karena dia juga sudah kehilangan mood-nya untuk melanjutkan tontonannya. Toh, dia juga sudah tahu hasil akhirnya. Secara, tadi Kanayna menceritakan dengan sangat detail bagaimana berjalannya pertandingan itu. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD