bc

He's My Husband series 2

book_age18+
408
FOLLOW
5.1K
READ
others
possessive
family
love after marriage
dominant
goodgirl
sweet
brilliant
first love
husband
like
intro-logo
Blurb

Semua orang ingin kehidupan pernikaham yang sempurna, begitupun dengan Dea dan Dava. Mereka adalah pasangan muda yang dikenalkan karena perjodohan. Dea yang sudah mencintai Dava dan Dava yang berbendang terbalik. Perjuangan Cinta Dea tidak sia-sia, dan saat kehidupan pernikahan normal telah Dea dapatkan. Saat ini harus Dava yang berjuan, jauh dari Dea dan juga anggota baru dalam rumahnya. Puteri pertama mereka, Davandra Navela Abigael. Jalan sudah ditempuh Dava, perjuangannya tidak boleh sia-sia begitu saja ketika keputusannya itu malah menjadi sebuah bola api dimana Ia harus bertanggung jawab pada keluarganya dan juga pada kuliahnya yang harus Ia jalani di Berlin. Siapa yang ingin jauh dari orang yang paling dicintai? termasuk Dava didalamnya, namun keputusan sudah Ia ambil dan Ia harus menjalaninya walau sungguh berat, rasa lelah, pikiran yang berkecamuk dan segala hal yang harus Ia lalui sendiri demi seseorang yang kini Ia perjuangkan kebahagiaannya. Isteri dan juga anak, dan masalah memang tidak mudah Ia lalui. Seperti saat dulu, Dia yang begitu populer malah menjadi boomerang, banyak yang menyukainya terlepas dari wajah rupawan dan juga kepandaian yang Ia miliki. Begitupun juga dengan Dea, wanita itu mendadak begitu populer ketika masuk ke Universitas, banyak hal kecil yang menghalangi kebahagian mereka. Namun mereka akankah mampu melaluinya?

chap-preview
Free preview
Perpisahan kedua
Dea memeluk tubuh Dava saat Dava mematut dirinya di cermin, Dea ingin rasanya menangis saat ingat hari ini adalah hari perpisahaannya dengan sang suami. Suami tampan dan juga penuh cinta itu hari ini akan kembali ke Berlin untuk melanjutkan pendidikannya yang tertunda karena kelahiran puteri kecil mereka, yang mereka beri nama Davandra Navela Abigael. "Kenapa? Jangan membuat Aku ingin tetap tinggal disini bersama kalian, Yang." Dea langsung melepaskan pelukannya saat Dava berkata demikian. Ternyata bukan hanya Dea yang berat saat Dava akan pergi, bahkan pria itu berniat tetap tinggal. Dava membalikkan badannya lalu meremas bahu Dea dengan sayang. Mata Dava tampak lesu dan terasa ogah-ogahan akan pergi ke Berlin, itu sangat terbaca oleh Dea. Dea harusnya menyemangati Dava, bukan malah membuat Dava seperti sekarang ini. Dea menampilkan senyumnya. "Enggak Yang, jangan seperti ini. Lagian setiap hari Kita bisa video call kan? Anggap saja Kita tidak terpisah oleh tempat." Dava membuang nafas saat Dea mengatakan itu seolah mudah. "Kamu yakin begitu? Kamu enggak berat Aku tinggalkan?" Dea semakin ingin menangis. "Yang, jangan godain Aku di saat seperti ini." Dava terkekeh, wajah kesal Dea bercampur rasa tidak rela membuatnya segera memeluk Dea erat. "Dengar, ini detak jantung Aku. Di sini bukan rasa bahagia seperti selama sebulan ini, detak kuat ini berasal dari rasa sakit Aku karena lagi Aku harus jauh darimu. Dan sekarang di tambah harus jauh dari Baby Vandra." Dea mencengkram kemeja Dava saat pria itu berkata jujur mengenai beratnya Ia meninggalkan keluarga kecilnya. "Aku mendengarnya, Yang. Tapi Kamu di Berlin untuk menempuh pendidikan, bukan untuk mencari isteri baru." Dava berdecak saat Dea malah mengeluarkan candaannya. "Ck, lihat mata Aku." Dava merenggangkan pelukannya lalu menatap Dea yang kini juga menatapnya. "Di mata Aku cuma ada Kamu, sampai ke hati Aku cuma ada Kamu. Kamu tahu itukan?" Dea mengangguk. "Aku tahu, maka dari itu. Seharusnya Aku bangga pada suamiku ini, bukan malah merasa takut karena suamiku akan ke Berlin." Dava tersenyum. "Kamu bisa pantau Aku lewat Kak Alisia." Dea menggeleng. "Tidak, Aku percaya pada suamiku. Lagi pula Vandra pasti akan marah jika Ayah nya melakukan hal aneh-aneh disana." Dea terkekeh saat Dava mengapit hidungnya. "Vandra jadi alasan ya sekarang, bilang saja kalau Ibu nya yang takut." Dea mencebik. "Iya Aku takut, tapi Aku juga tahu bahwa suami Dea ini begitu mencintai Deandra." Dava mengangguk. "Kamu benar, sulit rasanya jika tidak melihatmu sedetik saja." ucap Dava dengan kerlingan sebelah matanya. Dea memeluk Dava lagi dan lagi. "Yuk, keburu Mama panggil Kita." Dava mengangguk, tahu akan bagaimana Mama nya itu jika sudah heboh. Dava dan Dea menuruni tangga rumah keluarga Abigael, seluruh keluarga sudah menunggu, tidak terkecuali para sahabat ke duanya. "Yaelah yang pengantin lawas mah anget banget di dalam kamar, ngapain aja sih Lo pada?" baru saja Dava dan Dea menginjakkan kaki di anak tangga terakhir suara Zack sudah mengacau. "Suka-suka Gue dong ya, ngiri mulu Lo jones." suara tawa Dea menyembur saat Dava sudah banyak bicara dan suka meladeni candaan sahabatnya. "Memang ciri Lo banget Dav, sekalinya ngomong bikin nyeri d**a Gue." keluh Zack dengan memegang dadanya, seolah Ia memang sangat terluka. "Lebay Lo ogeb." Bintang menoyor kepala Zack, Zack berdecak. "Lo ngapa sih suka banget toyor kepala Gue, Gue emang lemah. Tapi jangan begini dong." Zack mendrama, membuat semua orang memutar mata malas, sedangkan para orang tua hanya tersenyum melihat tingkah para pria yang menjelang dewasa itu. "Loh, Sinta mana Ra?" kini Dea bertanya saat tidak melihat batang hidung sahabat berisiknya itu. "Tahu tuh, katanya Dia di jemput sama Yayang Beb. Kecantol di jalan tol kali mereka." wajah Rara terlihat kesal, Dea tersenyum lalu mengedipkan sebelah matanya pada Zack. Zack terkekeh lalu memulai aksinya lagi. "Ya ampun, jangan sedih dong Ra. Disinikan ada Babang ganteng Zacky." Rara mengekspresikan wajahnya seolah muntah dan jijik. "Lo? Mending Gue jomblo." Zack mengelus dadanya. "Ya Alloh, kenapa Gue selalu ternista ya Alloh." ucapnya, Dea terkekeh. "Mending Gue sama Bang Sean." ucap Rara saat melihat Sean yang menuruni tangga, saat nama Sean di sebut, pria yang berprofesi sebagai Dokter itu menaikkan satu alisnya. "Mata Gue rasanya berkedut, ada yang bicarain Gue ya?" tanya Sean setelah ikut berkumpul bersama semua orang. "Noh si Rara kasih kode ke Elo Bang." Rara mendelik pada Bintang, Sean terkekeh saat melihat wajah Rara yang memerah karena malu. "Mama udah siap dapat menantu lagi?" kini pertanyaan Sean ajukan pada Sabrina, Sabrina tersenyum. "Kamu sendiri gimana Sean, Mama dan Papa sih ok. Iyakan Pa?" Sabrina ikut menggoda Rara, Rara semakin menunduk dengan wajah semakin memerah. "Apaan sih Bang?" ucap Rara malu-malu. "Kal-". " Pagi semua!" suara khas Sinta membuat suara Sean tertahan dan juga atensi semua orang beralih pada gadis berisik itu. "Mulut ya Ta!" itu suara Bintang, di belakang Sinta ada Dewa yang tersenyum pada semua orang. "Apa Lo kutil?" jika Bintang dan Sinta bertemu selalu begitu, entah kenapa dan itu selalu menjadi kebiasaan ke duanya. Bintang berdecak dengan pertanyaan Sinta. "Udah ya." Bintang akan kembali bersuara, namun suara Dewa dan tepukan ringan di kepala Sinta membuat ke duanya diam. "Ih ponakanku." Sinta yang sempat menghembuskan nafas untuk menetralkan amarahnya saat bertemu Bintang kemudian menyapa baby Vandra yang ada di gendongan Tamara. "Kita berangkat sekarang?" tanya Papa Ferdy. Semua orang mengangguk, Dava mendekati Tamara. "Ma, biar Dava yang gendong baby Vandra." Tamara mengangguk lalu menyerahkan Vandra pada Dava yang sudah tidak kaku dalam menggendong anaknya itu. Dava terdenyum. "Makasih Ma." Tamara menepuk bahu Dava dengan senyum ke Ibuan nya, Dea sendiri ada di samping Dava. Ikut mengusap pelan kepala Vandra yang selalu tertidur lelap jika sudah kenyang. "Yuk berangkat. Dav, Lo sama siapa?" Dava mendongak dari menatap Vandra ke Bintang. "Gue sama Kak Sean dan Rara aja." Dava meminta persetujuan pada Dea, Dea mengangguk saat Dava menatapnya. Sean mengangguk, Rara sudah merasa pipinya memanas hingga sampai ke telinga. Mereka meninggalkan area rumah menuju ke bandara Soetta. Mereka menatap sekeliling, bandara hari ini terlihat sangat ramai seperti biasanya. Namun atensi Dava sama sekali tidak beralih pada baby gembulnya, Dava ingin rasanya menangis saat Ia mengingat bahwa Ia tidak akan bertemu babynya dalam waktu yang cukup lama. Mengingat Ia akan sibuk dengan ujian dan juga kegiatan kampus lainnya. "Yang." Dava menatap Dea yang memanggilnya, wanita itu sama sekali tidak melepaskan pelukannya dari tubuh Dava. Dea juga menumpukan dagunya di bahu Dava guna ikut menatap Vandra yang sedang tertidur. "Tuh udah panggilan." Dava membuang nafas, dengan ogah-ogahan Dia berdiri lalu menciumi wajah Vandra yang merah karena kulit bayinya yang begitu lembut dan putih. "Jagain Ibu ya Sayang, selama Ayah enggak ada di samping kalian." bisik Dava di samping telinga Vandra, Dea tersenyum. "Ayah juga jaga diri." jawab Dea menirukan suara anak kecil saat Dea mendengar ucapan suaminya itu. Dava tersenyum, lalu menyerahkan Vandra pada Dea dengan hati-hati. "Aku akan pulang saat liburan." Dea mengangguk, Dava benar-benar berat pergi. Padahal Ia belum berangkat dan sudah ingin kembali. "Aku menunggumu Yang, jaga kesehatan ya. Jangan lupa juga buka koper terdepanmu." ucap Dea dengan senyum misterius, Dava memicingkan mata. Saat hendak bertanya, suara operator kembali mengingatkan jadwal penerbangan dengan tujuan Dava yang beberapa menit lagi. "Ok, jaga diri juga. Kalau ada apa-apa langsung hubungi Kak Sean, selama Aku enggak ada pokoknya Kamu enggak boleh lelah. Minta bantuan Mama sama Papa." Dea mengangguk saja, menuruti ucapan suaminya yang mode protective itu. Dava memeluk Dea yang menggendong Vandra, mencium puncak kepala, ke dua pipi dan juga terakhir bibir manis milik isterinya yang berhasil membuat semua sahabatnya yang masih jomblo menjerit dengan mengelus d**a. "Gila! Tempat umum Dav. Istigfar." ucap Sean, Sean rasa Dava benar-benar gila setelah jatuh cinta pada Dea. Dava menatap Sean dengan senyumannya. "Tuh halalin yang udah ada." ledek Dava, Sean melotot pada Dava kemudian menatap Rara yang menunduk. Sean tidak membalas, melainkan memeluk adik satu-satunya itu ala laki-laki. Semua orang sama, memeluk Dava untuk yang terakhir sebelum Dava kembali memeluk Dea. Selalu, perpisahan mereka membuat semua orang menggelengkan kepala. Setelah mengucapkan kata cinta, mereka akan segera membalikkan badan bersamaan namun berlawanan arah. Melangkahkan kaki menjauhi bandara yang di lakukan Dea dan Dava melangkahkan kaki untuk check in tiket pesawatnya. Tidak ada, benar-benar tidak ada lambaian tangan alay ketika dua pasangan saling berpisah. Dalam mimpi kalian jika membayangkan hal seperti itu untuk pasangan Dea dan Dava. Karena perpisahan bagi ke duanya begitu berat untuk di lakukan dan di jalani. ★★★ (Loves, Like and Comment)

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Dinikahi Karena Dendam

read
205.2K
bc

Siap, Mas Bos!

read
12.9K
bc

My Secret Little Wife

read
97.0K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
189.8K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.5K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.3K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook