3. Perkenalan yang Mengalir Begitu Saja

840 Words
Aku terbangun dengan kepala sedikit berat. Kamar mewah ini terasa asing. Lampu-lampu kristal di langit-langit menyilaukan, dan dinding-dinding kamar yang dipenuhi lukisan serta furnitur antik membuatku sadar bahwa ini bukan kamar biasa. Aku mengedarkan pandangan, mencoba mengingat apa yang terjadi semalam. Kemudian, semuanya kembali. Gading. Aku melompat dari tempat tidur, napasku memburu, dan tanpa sadar berteriak, 'Ya Tuhan! Aku harus segera kembali!' Panik.0 “Ada apa?” suaranya rendah, nyaris berbisik, namun aku bisa merasakan kegugupan di balik sorot matanya. Gading, pria yang dikenal sebagai salah satu bos mafia paling ditakuti, terlihat gelisah di hadapanku. Aku pun semakin takut ketika menatap mata elang itu. Tatapan Gading seolah menghunus hingga jantung. Astaga! Mengerikan sekali tatapan tajam itu. “Aku harus kembali ke rumah sakit. Aku berusaha menjawab cepat, berusaha tetap tenang meski detak jantung ini terasa kencang di d**a. “Aku ada jadwal dengan dekan, kalau terlambat, aku bisa kena masalah besar," lanjutku setelahnya menunduk menatap ke arah lantai. Ia mendekat, langkahnya tertatih meski berusaha menutupinya. Aku bisa melihat jejak sakit di wajahnya, tetapi ia tetap mempertahankan sikap tenangnya. Saat jaraknya hanya beberapa langkah dariku, Gading berhenti. “Tenang saja, aku bisa mengantarmu. Tapi ....” Suaranya menggantung, tatapannya tak terlepas dari wajahku. “Kau baik-baik saja?” tanya Gading dengan raut wajah penuh rasa khawatir yang luar biasa. Aku menelan ludah, tiba-tiba merasa aneh dengan caranya menatapku. Wajah itu penuh kekhawatiran, seolah-olah bukan aku yang harus mengkhawatirkan dirinya. Luka Gading-lah yang seharusnya menjadi bahan kekhawatiran. Aku bukan masalah, karena tidak terjadi apa pun. “Aku baik-baik saja, hanya ...." Aku memandang ke arahnya, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Lukamu bagaimana? Aku harus memeriksanya," lanjutku tanpa menunggu persetujuan dari Gading. “Aku baik. Semuanya berkatmu.” Ia mengusap dadanya di mana aku tahu ada luka besar yang sudah dijahit rapi. “Aku mungkin sudah mati sekarang kalau bukan karena kau.” Aku tersipu. Ada yang aneh dalam cara ia mengucapkan kalimat itu, seolah ada lebih dari sekadar rasa terima kasih. Aku mencoba mengalihkan pikiran, kembali ke profesionalitasku sebagai dokter. Aku tidak mau terlalu percaya diri saat ini. “Duduklah, biar aku periksa.” Entah keberanian dari mana, aku melangkah dan mendekati Gading. Gading menurut, meski terlihat sedikit kaku. Aku duduk di sampingnya. Membuka sedikit perban untuk memeriksa jahitannya. Syukurlah, luka itu tampak sudah mulai mengering. Aku menarik napas lega, senyum kecil terbit di wajah ini. “Lukamu sudah mulai sembuh. Kau hanya perlu banyak istirahat.” Aku mengatakan sambil tersenyum karena saking bahagianya. “Apa semua dokter sepertimu?” Gading tiba-tiba bertanya, nada suaranya terdengar aneh. “Yang meminta imbalan hanya makanan dan tempat tidur?” lanjutnya sambil menatap dalam pada mataku. Aku terdiam sejenak, mencoba memahami maksud pertanyaannya. Ada rasa takut dalam hati ketika salah menjawab. Pertanyaan itu sangatlah ambigu. Aku takut menjadi sasaran amarah Gading jika sampai salah bicara. “Aku hanya melakukan pekerjaanku.” Aku menjawab dengan sedikit tersipu. “Aku tidak butuh imbalan yang macam-macam. Lagi pula, nyawa manusia lebih penting daripada uang," lanjutku yang sudah terbiasa menolong orang dengan imbalan seadanya saja saat di desa kelahiranku. “Kau aneh. Gading berujar padaku. “Biasanya, dokter yang datang ke sini selalu menuntut imbalan yang besar. Kau berbeda," lanjutnya yang entah memuji atau sengaja menjatuhkanku saat ini, membuatku tak nyaman. "Aku hanya ingin membantu. Aku menjawab pendek, lalu segera berdiri dan membereskan perban serta alat-alat medis seadanya yang kutemukan semalam. “Aku harus pergi sekarang," pamitku pada Gading. Saat aku berbalik hendak keluar kamar, tangan Gading tiba-tiba mencengkeram pergelangan tanganku. Sentuhan itu tak keras, tetapi cukup untuk membuatku terhenti. Jantung ini berpacu, seolah nyawa ini hendak melayang. Sungguh aku merasa takut jika Gading berbuat kasar pasaku. "Tunggu.” Ucapan Gading menghentikan langkahku. Aku berbalik, jantungku berdebar. “Apa?” “Aku ... terima kasih, Aya. Kau telah menyelamatkanku.” Gading sangat tulus saat mengatakannya padaku. “Sama-sama. Tapi tolong, jangan lukai dirimu lagi, oke?” Aku berusaha tenang saat ini. Apakah ini caranya berterima kasih, atau ada hal lain yang ia pikirkan? Haruskah aku mencari tahu? Apakah itu penting? Akan tetapi, aku mendadak merasa sangat penasaran. “Kau terlambat, Aya?" tanya salah satu senior PPDS tanpa basa-basi saat aku baru saja sampai di rumah sakit. Aku menelan ludah, mencoba memberikan alasan yang masuk akal. Akan tetapi, sebelum aku sempat berkata apa-apa, Lusiandra muncul. Wajahnya dingin dan tak ada senyuman sedikit pun di bibirnya. Mata tajamnya menyapu ruangan, membuat suasana langsung mencekam. Aku bisa merasakan tatapannya berhenti sejenak di wajah ini, sebelum akhirnya ia melanjutkan langkah menuju ke bangsal pasien tanpa sepatah kata pun. Setiap kali aku mencoba fokus, wajah Gading muncul di benak ini. Tatapannya yang dalam, senyum kecil yang menghantui pikiran ini, dan rasa syukur yang tak pernah kutemui sebelumnya. Ada sesuatu yang tak bisa kupahami tentangnya, sesuatu yang membuatku ingin tahu lebih banyak. Ah, ya, aku merasa seperti telah mengenalnya lama. Aku menggelengkan kepala, mencoba kembali fokus. Tapi di dalam hatiku, aku tahu bahwa pertemuanku dengan Gading baru saja dimulai. Rasanya aneh jika memikirkan terlalu jauh. Lagi pula, pertemuan dengan Gading juga karena tidak sengaja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD