7 jam sudah berlalu, tapi Ana masih belum tau kemana langkahnya ini akan berhenti.
Ingin rasanya Ana mengeluh, tapi untuk apa ia mengeluh atas apa yang telah Tuhan berikan? Mungkin Tuhan sudah membuat rencana atas semua cobaan yang tengah dihadapi Ana.
“Ana?” Panggilan itu membuat Ana menoleh cepat kebelakang.
Bak malaikat, Cathy datang disaat Ana sedang dirundung masalah. Ia kemudian menghampiri Ana yang tengah mematung dipinggir trotoar.
Matanya menatap Ana tidak percaya, terutama pada koper besar yang berada didekatnya.
“Kau sedang apa?” , “Koper ini?” Tanyanya dengan memandang koper besar disamping Ana.
Ana mengulas senyum dibibirnya “Tidak sedang apa-apa..”
Cathy memincingkan matanya dan mulai membaca apa yang sebenarnya telah terjadi kepada Sahabat lamanya ini.
“Kau diusir?”
Ana menggeleng dengan seyum yang masih terukir.
“Lalu apa?”
“Mereka tidak mengusirku, tapi aku yang mengusirkan diri.”
Cathy mengernyitkan dahinya “Kenapa?”
Ana hanya terdiam dan tidak mau menjawab pertanyaan Cathy.
Sedangkan Cathy ia mengangguk-angguk paham, “Pasti karena Sepupu-mu yang bermulut pedas itu?”
Ana langsung berlalu begitu saja dari hadapan Cathy dengan membawa koper besarnya.
Cathy yang tidak terima ditinggal begitu saja oleh Ana, langsung mengejarnya.
“Kau mau kemana?” Tanya Cathy, yang berjalan tepat disamping kanan Ana.
“Melanjutkan hidup.”
“Tapi kemana?” Tanya Cathy yang diliputi rasa penasaran.
“Kemanapun, sampai kakiku ini mendapatkan tempat tujuan.”
“Baru ia akan berhenti, dan aku akan mengetahuinya.” Jawab Ana diakhiri senyuman tipis.
“Jadi, kau tidak ada arah dan tujuan sama sekali?”
“Ada, kakiku yang akan menentukan dimana ia akan menepi.”
Cathy menepuk keningnya sendiri “Sama saja kau tidak tau tujuan.” , “Hanya bergantung pada langkah kakimu.”
Ana menghentikan langkahnya mendadak, membuat Cathy ikut menghentikan langkahnya.
“Sekarang kompasku, kakiku. Kemanapun ia langkahkan langkahnya, pasti tubuku ini ikut terbawa.”
“Kalau begitu, Bertepi di apartemen milikku saja.” Tawar Cathy.
Tidak. Kalau Ana tinggal di apartemen milik Cathy, otomatis ia akan merepotkan hidup sahabatnya itu. Ana tidak menginginkan hal itu.
“Tapi, kakiku tidak mau menepi disana.”
“Oke,” Cathy berjongkok, wajahnya menghadap kaki Ana, “Kaki, aku minta izin padamu, agar kau mau menepi di apartemen milikku.”
Ana ingin membuka suaranya lagi, tapi dengan cepat Cathy mendahuluinya, “Tidak menerima, penolakan.”
Mau tidak mau, Ana menerima tawaran Cathy untuk tinggal bersama di apartemen milik Cathy. Setidaknya, sampai ia memiliki pekerjaan.
---------
Pagi baru, suasana baru, Ana siap membuka lembaran Baru, lembaran yang akan ia isi dengan sesuatu yang berguna untuk dirinya dan berguna untuk orang disekitarnya.
Setelah berbincang semalaman dengan Cathy, ternyata di perusahaan milik tempat dimana Cathy bekerja sedang membuka lowongan pekerjaan.
Betapa bahagianya Ana saat mengetahui berita itu, bahkan semalam Cathy mengatakan, kalau hari ini Ana bisa ikut dengannya.
Kini mereka ber-2 telah sampai dimana tempat Cathy bekerja. Perkantoran yang cukup besar, Cathy mengatakan kalau Perusahaan dimiliki oleh seseorang yang tercatat sebagai orang terkaya ke-3 didunia. Bisa dibayangkan, pasti orang itu hidupnya sangatlah mewah.
“An, Kau tunggu disini. Aku akan berbicara terlebih dahulu pada bagian personalia.” Ana mengangguk setuju.
Sembari menunggu Cathy, Ana bersandar pada dinding, melipat kedua tangannya layaknya seorang Boss besar. Pasti orang-orang disini menganggap Ana adalah Klien Bossnya. Dapat dilihat dari pakaian yang Ana kenakan, sebuah baju brokat berwarna biru dan dipadu Rok hitam diatas lutut. Rambut coklatnya tergerai tak lupa lipstick berwarna merah dibibirnya membuatnya semakin terlihat seksi.
“Boss Datang, Boss datang..” Kalimat itu terdengar disetiap penjuru kantor ini. Mereka semua berdiri tegak dengan kepala yang tertunduk, ada ketegangan di wajah mereka. Apa bossnya itu sebegitu ganasnya, sampai-sampai mereka memasang wajah ketegangan?
Ana yang tidak tau menau tetap pada posisinya. Berkali-berkali desisan peringatan untuk Ana, tapi ia tetap tak mendengarnya.
Sampai akhirnya langkah demi langkah terdengar, suara yang berasal dari sepatu. Ruangan seketika sunyi.
Ana yang merasakan ruangan ini terasa sunyi, menoleh kesamping kanannya, dimana disana terletak meja-meja pekerja. Ana menatap mereka dengan tatapan Aneh.
Ada apa dengan mereka? Jangan-jangan mereka semua terkena Virus Zombie. Batin Ana ngeri.
Ana sudah merubah posisinya menjadi tegak, dengan mata yang masih menelusuri setiap penjuru kantor ini.
Ana langkahkan kakinya untuk mendekati salah satu diantara mereka. Mendekati mereka dengan setengah rasa ketakutan akan Virus Zombie itu.
“Hei, Kau kenapa?”
“Kau tidak terkena Virus Zombie menyeramkan itukan?” Kata Ana, sedikit mengguncangkan bahu wanita gemuk yang berada dihadapannya.
“Jawab Aku,” Kata Ana sedikit memaksa.
Diamlah! Bisiknya Pelan. Walaupun pelan Ana masih dapat mendengarnya.
Ana menghela nafasnya Lega. Ia bersyukur karna wanita gemuk ini tidak terkena Virus Zombie yang ada dibayangannya.
“Aku terselamatkan.”
“Setidaknya, Diantara orang-orang ini aku memiliki seseorang yang bisa aku ajak untuk berlari.”
Ana baru teringat sesuatu. Astaga! Dimana keberadaan sahabatnya itu? Atau dia juga terkontaminasi Virus Zombie ini.