Goodbye

1057 Words
Hari ini, hari kesedihan untuk Ana. Karena, karena satu-satunya keluarga yang tersisa, yaitu pamannya, telah pergi selama-lamanya. Menyisakan Pilu, kesedihan yang mendalam. “Paman, Maafkan An, An jahat,” “Semua karena An,” Isak Ana dihadapan jasad Pamannya. “Karenamu, Dad-ku pergi selama-lamanya, puas? Sekarang kau puas kan!” “Pembunuh!” Teriak Laura histeris tepat dihadapan wajah Ana. Tidak bisa dideskripsikan lagi bagaimana kacaunya wajah sepupunya itu. Isakan Ana semakin menjadi-jadi. “Pembunuh! Kau pembunuh An, pembunuh dalam diam!” “An..” “Bangun, kau kenapa?” Nafas Ana tersengal-sengal, ia baru saja mendapatkan mimpi buruk. Mimpi yang membawanya menjadi manusia yang penuh dengan kesalahan. “Paman Cath, Paman...” Panik Ana, nafasnya masih terdengar kasar. “Pamanmu? Ia masih dirumah sakit.” “Ia masih ada didunia inikan?" Jawab aku Cath” Ana benar-benar panik. Mimpinya tadi seperti kenyataan. Apa memang kenyataan? Yang jelas Ana masih membayangkannya. Cathy tersenyum lalu mengangguk “Ia baik-baik saja An,” Ana menggeleng tak percaya, dari mana ia tau Pamannya itu sudah lebih baik? Pasti sahabatnya itu sedang berbohong kepadanya, berbohong agar Ana tidak khawatir. Cathy yang melihat Ana panik, memegangi kedua bahu Ana. “Aku tidak sengaja mengangkat telepon yang bernamakan Bibi di ponselmu.” Kepanikan diwajah Ana mulai mengendur “Kau sengaja Cath.” “Ya-ya, Pamanmu tidak apa-apa, justru sekarang ia sudah siuman dari komanya.” Ana menegakan tubuhnya, senyuman dibibirnya mengembang sangat manis. Ana sangat bersyukur kematian Pamannya itu hanyalah Mimpi. “Pa-paman?” “Ya,” Jawab Cathy semangat Entah apa yang membuat Ana mendadak melemaskan tubuhnya kembali. “Ada apa?” Ana menggeleng pelan “Pasti sekarang Paman membenciku.” “Tidak Ana, Pamanmu sangat menyayangimu,“ “Bahkan saat Pamanmu tersadar dari komanya, namamu yang pertama kali disebut olehnya.” Cathy bercerita sedikit, apa yang diberitahu Maria kepadanya. Ana bangkit dan segera menuju kedalam toilet. ----------- “Ana dimana?” Suara Parau itu milik Paman Ana, Marx. Ia terus saja menanyakan keberadaan Ana. Marx sangatlah menyayangi Keponakan-nya itu. Menyayangi layaknya anaknya sendiri, pantas saja Laura sedikit menaruh kebencian pada Ana. Karena menurut Laura, Ana sudah mencuri perhatian Dadnya. “Ana disini Paman.” Ana bersuara, ia berada diambang pintu bersama Cathy. Tak butuh waktu lama, Ana segera menghampiri Marx, air matanya mengalir saat Pamannya mengembangkan senyuman kepadanya. “Paman, Maafkan Ana,” “Ana jahat pada Paman, seharusnya Paman tidak mengikuti kemauan Ana” Sesal Ana sangat mendalam. “Ini bukan salah Ana, Paman saja yang tidak menepati janji kepada Rentenir itu.” “Tetap saja Paman, penyebab awal permasalahan ini adalah Ana, Ana Paman” Isak Ana yang semakin kencang. Pamannya menggeleng, ia tetap bersikeras menyangkal pernyataan Ana “Tidak Ana, Ini Salah Paman.” Ana menghapus air matanya “Paman Tenang saja, Ana akan tanggung jawab atas hutang-hutang paman.” “Tidak An,” Tolak Marx. Ana menghampiri Cathy, dan menggenggam pergelangan tangannya. “Aku mohon Cathy.” Cathy mengernyitkan Dahinya, ia tidak paham apa yang dimaksud Ana. Ana sama sekali tidak melakukan kesalahan padanya, sampai-sampai Ana memasang wajahnya seperti itu. “Ada apa?” Ana menutun Cathy untuk keluar sejenak dari ruangan Marx, agar pembicaraannya itu tidak didengar oleh Marx & Bibinya, Maria. “Aku mohon Cath, aku sangat membutuhkan pekerjaan itu.” Cathy baru mengerti apa yang Ana mau. “Tenang saja” Cathy memeluk tubuh Ana dengan Erat. Ada sedikit perasaan lega saat Cathy mengatakan hal itu. ---------- 5 Hari berada dirumah sakit, akhirnya Marx sudah diperbolehkan pulang. Ana mendapati kabar bahagia saat rumah sederhana milik Paman-nya itu sudah dihuni kembali oleh sang pemilik. Ya, Ana sangat bahagia Paman-nya itu sudah diperbolehkan pulang. Tapi? Darimanakah biaya rumah sakit yang Bibinya dapatkan? “Paman sudah pulang?” Kata Ana dengan mata yang berbinar-binar. “Kenapa memangnya? Kau tidak suka Dad-ku kembali kerumah” “Atau kau mengharapkan Dad-ku tiada?” Laura muncul dengan sindirannya yang super pedas. Beberapa hari ini entah Laura pergi kemana, yang jelas saat Ana kembali kerumah Paman-nya, rumah ini kosong, dan sekarang tiba-tiba saja Laura datang dengan perkataannya yang pedas. “Apa? Kau kaget?" “Asal kau tau, beberapa hari ini aku tidak dirumah untuk mencari biaya rumah sakit Dad-ku.” “Tidak sepertimu, makhluk hidup yang sama sekali tidak berguna.” Perkataan Laura benar-benar menusuk hati terdalam Ana. “Laura!” Bentak Marx. Laura menatap Daddy-nya “Lau berbicara sesuai dengan fakta Dad.” “Tapi Dad tidak mengajarkan kamu untuk berbicara kasar seperti itu!” Ana menundukkan kepalanya, perkataan Laura memang benar. Dirinya memang tidak berguna! Dan kalaupun dirinya itu memang berguna, pasti dirinya sudah diterima oleh perusahaan-perusahaan, lalu memiliki uang. Ana melangkahkan kakinya untuk meninggalkan ruangan tengah, kembali menuju kamarnya. Fikiran Ana masih tertuju kepada ucapan Sepupunya itu. “Tidak Ana, kau tidak boleh menyulitkan Paman Lagi.” “Tidak, tidak boleh.” Ana meraih kopernya yang berada diatas lemari, kemudian mulai memindahkan baju-baju kedalam koper miliknya. Setelah semua bajunya telah pindah kedalam koper miliknya, Ana segera membawa kopernya keluar bersama pula dirinya. Langkahnya terhenti saat berada diruang tengah, saat mendapati Paman, Bibi dan Sepupunya menatap tanpa menoleh sedikitpun kearah lain, melainkan kearahnya. “Kenapa tidak dari dulu saja, kau sadar diri!” Kata Laura diiringi seringaian. Paman-nya dengan langkah yang belum stabil, menghampiri Keponakannya itu. Menghampiri dengan tatapan tidak percaya. “Kau mau kemana?” Ana melemparkan senyumannya kepada pamannya. “Paman tidak usah khawatir” “Ana akan baik-baik saja.” “Baik-baik saja?” “Dengan pergi dari rumah ini?” Ucap Marx. Ana menatap Laura sejenak, wajah Sepupunya itu menatap wajah Ana dengan jijik. Setelah menatap sepupunya, Ana mengambil kopernya dan bersiap untuk pergi. Kini bibinya ikut melangkah maju, dan berdiri tepat disamping kiri Ana. “Kau tidak boleh pergi.” “Ya An, apa kau tidak sayang pada Paman, Bibi dan Sepupu-mu?” Balas Marx, melanjutkan perkataan istrinya. Jujur, rasanya Ana ingin menangis dan berteriak sekeras mungkin. Tapi ia tidak bisa melakukannya, ia tidak boleh lemah dihadapan mereka. Keputusan ini memang seharusnya sudah dari awal Ana lakukan, bukan setelah mendapat cacian dari Sepupunya. “Terimakasih, selama ini Paman & Bibi sudah mau menampung Ana dirumah ini dan sudah mau repot-repot membiayai sekolah Ana,” “Tapi Ana janji, setelah semua ini terlewati, Ana akan membalas jasa kalian.” Marx menggeleng tak terima. “Tidak An, kau tidak boleh pergi” “Paman tidak akan membiarkanmu sendirian diluar sana, akan banyak bahaya.” Ana hanya melemparkan sebuah senyuman tipis di bibirnya. “Bahaya?” “Tuhan bersama Ana, jadi Ana tidak perlu takut dengan bahaya apapun. Karena Ana percaya, Tuhan akan menjaga Ana.” “An, Kau tidak tau bahaya diluar sana.” Jelas Marx. Ana menggeleng dan diiringi senyuman. Ia mulai melangkahkan kakinya, perlahan-lahan meninggalkan ruangan tengah ini, meninggalkan Paman, Bibi dan Sepupunya. Tapi tidak dengan kenangan didalam rumah ini, kenangan dimana seorang anak Piatu dapat merasakan kebahagiaan lagi. Semua akan Ana ingat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD