bc

Rahasia Jodoh

book_age16+
1.3K
FOLLOW
8.0K
READ
fated
arranged marriage
badboy
goodgirl
self-improved
bxg
campus
spiritual
wife
priest
like
intro-logo
Blurb

Menikah secara mendadak karena dituduh berzina membuat Hikmah semakin sadar bahwa maut, jodoh, dan rezeki memang Rahasia-Nya. Kedatangannya tak terduga hingga terkadang membuat kita bertanya-tanya.

'Kembali bertemu untuk bersatu selamanya' adalah kalimat yang cocok untuk mendefinisikan mereka. Pertemuan setelah perpisahan menyakitkan di masa lalu justru menyatukan mereka untuk selamanya. Terlebih, sosok lelaki yang kini menjadi suami Hikmah adalah orang yang membullynya di masa SMA.

Hans adalah lelaki kasar, urakan, dan hobi membangkang. Sedangkan Hikmah adalah gadis bercadar yang sholehah, lembut, dan penuh cinta. Dua sisi yang saling berlawanan itu dipersatukan oleh takdir dalam waktu singkat, tetapi untuk jangka yang panjang.

Pernikahan yang tak diinginkan itu terpaksa mereka jalani dengan penuh tanda tanya. Inikah yang dinamakan Rahasia Jodoh? Bersatu tanpa diduga dan bertemu tanpa diminta.

Mampukah mereka menjalani bahtera rumah tangga?

Akankah Hans kembali menyakiti Hikmah?

Cover (edit) by Rliaaan

Bahan cover (foto) by Pixabay

Font: Font: Italianno & Jannah Thin

chap-preview
Free preview
1. Awal Yang Baru
"Untuk awal yang baru, bukalah lembaran baru. Hapus segala dukamu, lunakkanlah hatimu, dan mulailah melangkah dengan Allah yang setia terisi di hatimu." *** "Bu, Hikmah berangkat dulu, ya?" izin seorang gadis yang tengah berdiri di luar rumahnya sambil berkaca di jendela kamar, ia sedang merapihkan kerudung yang ia pakai dan menambahkan hiasan bros di bagian d**a sebelah kirinya. Sosok yang dipanggil ibu itu pun lekas keluar saat mendengar suara putri kesayangannya. Senyumnya mengembang saat memperhatikan bahwa putri kecilnya itu akan segera mengikuti kegiatan pembukaan calon MABA (Mahasiswa Baru). "Adek, kok buru-buru sih, Nak? Kan baru juga jam tujuh, acaranya mulai jam setengah sembilan." ucapnya heran, karena dari surat yang ia dapat mengatakan bahwa acara akan dimulai pukul 8.30 pagi. Sosok yang dipanggil 'Adek' itu menengok dengan semangat, ia kemudian mendekat pada ibunya dan membisikkan sebuah kalimat, "Hikmah mau cari teman dulu, Bu." kekehnya kecil. Ia terlalu semangat hari ini, ini adalah awal baru dalam hidupnya yang baru, membuka lembaran baru di tempat dan waktu yang baru adalah impiannya sejak dulu, benar-benar menjadi keinginannya. Hikmah terus mengembangkan senyumnya tanpa memperhatikan wajah sang Ibu yang nampak redup, Nina -ibu dari Hikmah- itu terduduk merenung di teras rumahnya, ia memperhatikan Hikmah dalam diam. Kepalanya seakan memutar memori lama yang menyakitkan, membuat ia dan keluarganya sedih berkepanjangan karena masa lalu sang anak yang begitu memilukan. Hikmah selesai membereskan jilbabnya, ia kemudian berbalik menghadap sang Ibu yang tengah menatapnya dalam diam. Dengan pelan Hikmah mendekat, duduk merendah dari sang Ibu yang kini berkaca-kaca. "Ibu, kenapa?" tanyanya lembut sambil mengusap pipi sang Ibu. Nina menengok dan mengelus kepala Hikmah yang terbalut hijab, dalam hati ia sedih dan khawatir akan keadaan sang anak nanti. "Ibu ngga papa, hanya saja Ibu khawatir kejadian itu akan terulang lagi, Ibu takut kamu kenapa-kenapa." ungkapnya gusar, hatinya sungguh tak tenang dan tak karuan. Hikmah tersenyum di balik cadarnya, ia kemudian menggenggam tangan sang Ibu guna menenangkannya. "Bu, Hikmah akan baik-baik saja, Kok. Percaya sama Hikmah, sekarang Hikmah telah lepas dan bebas jadi Ibu ngga usah khawatir, ya?" Nina tersenyum paksa, ia kemudian mengangguk kaku walau rasa itu masih mengganjal, ia hanya perlu percaya pada sang anak yang kini telah meraih kebebasannya. "Iya, Ibu harap juga begitu. Kamu hati-hati ya." ucapnya berpesan. "Iya, Bu." "Ouh ya, Bu! Ayah mana? Kok Hikmah ngga liat dari tadi?" tanyanya heran sebab sejak ia bangun pagi tadi sang Ayah sama sekali tidak terlihat. "Hari ini ayah ngga bisa antar karena ada pekerjaan mendadak, jadi kamu mau naik motor atau umum?" jawabnya sambil memberi pilihan pada Hikmah yang kini nampak lesu karena tak bisa berangkat bersama ayahnya. "Yahhh, padahal Hikmah pengen dianter Ayah, tapi Ayah ternyata ada kerjaan." ucapnya lesu, Hikmah memang sangat dekat dengan sang ayah. "Ya mau gimana lagi, Ayah lagi sibuk-sibuknya sekarang, biasanya juga kan Ayah siap antar Hikmah kemana pun." jelas Nina saat menyadari nada bicara sang anak yang nampak kecewa. "Iya sih, yaudah deh, Hikmah naik umum aja." putusnya. "Loh, ngga mau pakai motor aja?" tanya Nina heran, anaknya ini memang jarang menggunakan motor dan lebih memilih diantar sang ayah atau menaiki kendaraan umum. "Ngga deh, hari pertama mau Hikmah nikmati banget. Kalau pakai motor itu risih, takut ngga aman kan parkirannya atau apalah gitu." jelasnya malas, ia memang sangat malas membawa motor dengan alasan takut parkiran tidak aman, padahal itu hanya alibinya saja. Karena nyatanya ia malas menyetir motor. "Alah, alasan kamu ini. Bilang aja malas, kan?" tebak Nina membuat Hikmah menyengir. "Heheh..." Nina berdecak kesal. "Jangan malas lagi, dong. Kan sekarang udah kuliah, biar enak kemana-mana, ngga susah lagi. Nanti dicoba ya, In Syaa Allah aman kok," "Lagian masa parkiran kampus ngga aman, nanti Mahasiswanya ngga ada yang berangkat." canda Nina pada Hikmah yang nampak salah tingkah karena ketahuan ia hanya mencari alasan saja. "Hehehehe, iya deh, Bu. Tapi, kapan-kapan, ya?" pintanya memelas membuat Nina terkekeh kecil. "Iya deh." Hikmah kemudian menepuk jidadnya saat melihat jam di pergelangan tangannya. "Aduh." ringisnya karena ternyata sekarang sudah pukul tujuh tiga puluh padahal ia berencana berangkat pukul tujuh tepat. "Kenapa?" tanya Nina khawatir mendekati sang anak yang kini berdiri tak jauh darinya. "Ssshhh, karena asik ngobrol sama Ibu, Hikmah jadi telat kan, padahal rencananya berangkat jam tujuh!" rajuknya memajukan bibirnya di balik cadar. Nina terkekeh, putri kecilnya masih belum berubah ternyata, "Maaf deh kalau ternyata Ibu buat kamu terlambat. Sekarang ayo berangkat!" balas Nina membuat Hikmah kembali semangat. "Hehehe ngga papa, kok. Ya udah, sekarang Hikmah berangkat dulu, ya?" "Iya. Ibu antar sampai depan gang." ucapnya kemudian bersiap dan langsung mengantar Hikmah hingga di depan gang. "Ibu, Hikmah berangkat, ya?" ucapnya pada Nina sambil menyalimi tangannya. "Iya, hati-hati dan kabari kalau ada sesuatu, ya." Hikmah mengangguk lalu masuk ke dalam angkot yang telah ia berhentikan tadi. Angkot kemudian melaju meninggalkan Nina yang masih diliputi khawatir dan sedih secara bersamaan, masa lalu itu sangat sulit rasanya ia lupakan begitu saja sehingga membuat trauma kini menghampirinya. "Ibu harap kamu baik-baik saja, Nak." gumamnya kecil kemudian berjalan kembali ke rumah. *** Hikmah terus mengusung  senyum di balik cadar hitamnya, ia sangat bersemangat dan sangat mendambakan hari ini tiba. Hari dimana semuanya akan ia mulai dengan hal yang baru, menggoreskan kenangan yang akan ia rajut penuh kebahagiaan. Akhirnya ia bebas. Meski rasa khawatir menghinggapi hatinya namun segera ia tepis, tak ingin merusak suasana hatinya yang sedang ditumbuhi bunga kebahagiaan. Awal yang baru ada di depan mata dan ia akan segera menggapainya hanya dengan satu langkah lagi. Benar-benar dekat. Angkot itu kemudian berhenti karena ada seorang gadis dengan penampilan yang hampir sama seperti Hikmah menaiki angkot. Gadis itu kemudian duduk di sebelah Hikmah yang terdiam melihatnya. "Mau kemana, Neng?" tanya supir angkot itu entah untuk siapa, karena hanya ada dua penumpang gadis di mobilnya, sisanya adalah ibu-ibu. "Kampus Dwi Ilmu, Pak!" jawab Hikmah bersamaan dengan gadis yang duduk di sebelahnya membuatnya menengok heran, begitu pula dengan gadis di sebelahnya dan supir angkot itu sendiri. "Eh, maksudnya gimana?" tanya supir itu bingung. "Saya mau ke Kampus Dwi Ilmu." ucap Hikmah dan gadis itu bersamaan lagi membuat para Ibu dan supir angkot tertawa mendengarnya. "Ya Allah... Ternyata tujuannya sama toh, bilang atuh Neng biar Bapak teh teu pusing keneh!" ucap supir masih diselingi tawa membuat Hikmah dan gadis disebelahnya bertingkah kikuk. Keadaan kembali sepi meninggalkan Hikmah yang masih terdiam kikuk, tidak menyangka karena gadis di sampingnya justru satu tujuan dengannya dan jika dilihat-lihat lagi, gadis itu masih Mahasiswa Baru seperti dirinya. Hikmah sedikit takut karena gadis itu selalu memperhatikannya lekat, seakan sesuatu yang menarik objek penglihatannya berada pada Hikmah. Merasa tak nyaman dan khawatir, akhirnya Hikmah kembali menatap jendela, menikmati angin sepoi-sepoi yang menerpa wajahnya. Memejamkan matanya sambil terdiam, ingatannya memutar pada kejadian menyakitkan yang harus dialaminya. Citt... Angkot itu kemudian mendadak berhenti. "Aduh!" ringis supir angkot terkejut, membuat para penumpang termasuk Hikmah juga ikut terkejut. "Kenapa, Pak?" tanya Hikmah panik, ia khawatir terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Supir angkot itu menggeleng dan berkata, "Ngga papa, Neng, cuma itu di depan ngga bisa lewat, jalannya ketutup mobil banyak pisan, jadi gimana ini teh? Sedikit lagi nyampe ke kampus padahal." jelasnya lemas, padahal sebentar lagi ia bisa mengantarkan dua gadis di belakangnya untuk segera sampai di kampus, namun nyatanya jalan itu dipenuhi dengan berbagai mobil mewah dengan warna mencolok yang terparkir acak. Hikmah kemudian sedikit melongok melalui kaca tengah dan benar saja, banyak mobil mewah yang terparkir sembarangan tanpa ada yang mencegah. Bahkan ada tanda bahwa jalan itu tidak boleh dilewati, padahal ini kan jalan umum. "Heeuhh, ini nih pasti ulah anak-anak nakal, badeg!" "Mentang-mentang orang tuanya kaya jadi seenak jidat, ini kan jalan umum bukan jalan nenek moyangnya!" "Iya, Bu. Mentang-mentang ibu bapaknya kerja dan kaya!" Ibu-ibu itu menyemprot marah para pemilik mobil yang kini mobilnya menghadang jalan sehingga mengganggu fasilitas umum. Hikmah yang mendengarnya terdiam kemudian memutuskan untuk turun, "Ngga papa, Pak. Saya turun aja di sini, daripada kenapa-kenapa nanti," "Ini uangnya." ia kemudian menyodorkan uang lima ribu dan dua ribuan kepada supir. Supir angkot itu menerima dengan senang, namun mengernyit heran seketika. "Eh, Neng, ini teh banyak pisan. Lima ribu aja, ngga nyampe depan kampus juga." ucap supir angkot itu sambil menyodorkan uang dua ribu kepada Hikmah yang langsung ditolak halus. "Ngga papa, Pak. Ambil aja, hitung-hitung bonus, heheheh." Supir angkot itu tersenyum lalu menerima uang itu dengan senang, ia akan memberikannya pada anak dan istrinya, lumayan bisa anaknya pakai jajan. Bagi kita mungkin uang dua ribu tak berharga sehingga terkadang tanpa sadar kita justru membuangnya untuk hal yang tidak berfaedah. Tapi, coba lihat, dua ribu bagi orang lain bisa sangat berguna dan bermanfaat, mereka bisa membeli makan atau minimal mereka bisa membeli minum guna menghilangkan dahaganya. Hikmah pun kemudian beranjak keluar namun seketika dicegah oleh gadis di sampingnya, "Eh, tunggu! Aku juga mau turun, bareng, ya?" pintanya penuh harap membuat Hikmah mengangguk kaku. "Iya." jawabnya singkat. Ia kemudian menunggu di luar angkot sambil menunduk melihat jalan hingga gadis itu selesai membayar dan keluar dari angkot. "Aku udah," ucapnya pada Hikmah yang kini tersenyum kecil menatapnya. "Ayo!" gadis itu pun tanpa malu langsung mengajak Hikmah untuk berjalan. Mereka pun mulai berjalan, kampus tak terlalu jauh, mungkin hanya tinggal lima belas meter dari tempat mereka berada sekarang, hanya saja mengingat bahwa terdapat banyak mobil, mungkin mereka akan sedikit kesusahan saat lewat nanti, karena trotoar itu sekarang diisi dengan barisan motor besar nan gagah. "Namaku Rani." ucapnya sambil menyodorkan tangan pada Hikmah yang terkejut dengan tindakannya yang tiba-tiba. "Kaget, ya?" tanyanya pada Hikmah yang masih terdiam. Hikmah menunduk lalu kembali mendongak, menyambut uluran tangan sambil menggelengkan kepalanya kecil, "Enggak, hanya gugup," "Aku Hikmah, Hikmah Anindya." jelas Hikmah menyebutkan nama panjangnya seraya tersenyum walau ia tahu bahwa tidak akan ada yang melihatnya namun ia tetap akan mengusung senyum. "Ouhh, Hikmah. Bagus, kalau aku namannya cuma Rani tok, ngga ada panjangannya." celotehnya lucu membuat Hikmah terkekeh kecil. "Hahahha, syukuri aja ya, rezeki." balas Hikmah sambil kembali berjalan. "Kamu jurusan apa?" tanya Rani sambil berjalan beriringan dengan Hikmah. "Jurusan Management. Kamu?" "Waaahhh, kita sama lah! Bisa lah ya kita jadi teman?" soraknya senang membuat Hikmah tertawa. "Bisa kok, bisa." jawab Hikmah menggunakan nada anak-anak sehingga Rani tertawa dibuatnya. "Hahahha, lucu." kekehnya senang. "Eh eh, boleh ngga sih aku nanya? Maaf nih ya, aku ini emang ceplas-ceplos orangnya dan yaa, aku kepo-an sih. Hihihi." celotehnya bebas tanpa perduli apakah lawan bicaranya risih atau bersikap senang. Hikmah tak masalah, ia justru senang karena sekarang ia mendapat teman baru di hari pertamanya masuk kuliah, "Nanya apa?" tanya Hikmah balik. "Jadi gini, deh. Aku tahu kita itu baru kenal, bahkan baru beberapa menit yang lalu, cuman deh, aku ini udah penasaran sejak masuk angkot. Jadi, boleh ya aku tanya tentang cadar kamu?" pintanya memohon. Hikmah seketika terdiam dan menatap lekat gadis di depannya, rupanya ini alasan gadis itu selalu memperhatikannya. "Boleh kok." "Jadi gini, kamu takut ngga sih pakai cadar? Apalagi ini di kampus dan lagi ya, pasti orang kaya kamu ini jarang, ya walau ngga ada larangan bercadar sih." tanyanya pelan namun Hikmah masih dapat mendengarnya. Mereka kemudian berhenti sejenak dan duduk di salah satu bangku warung yang masih tutup. "Kenapa takut? Justru cadar ini yang ngelindungi aku, selagi aku ngga buat pelanggaran maka ngga masalah," "Lagian juga, aku ngga ngerepotin siapapun tuh, jadi ya ngga masalah." lanjut Hikmah membuat Rani terdiam sambil mengangguk kecil, benar juga. "Iya sih, kamu bener. Kamu ngga gangguin siapapun, tapi kamu tahu bukan kalau kampus itu mayoritas diisi sama anak badung plus kaya?" tukas Rani, bukan tanpa alasan ia berkata seperti itu, tapi berita tentang Kampus Dwi Ilmu yang diisi oleh anak-anak orang kaya plus nakal sudah menyebar ke segala penjuru kota Cirebon. Hikmah mengangguk kecil, membenarkan. "Iya sih, tahu banget. Tapi, serahkan sama Allah aja aku mah." pasrahnya, karena hanya Allah-lah yang mampu menjaganya. Mereka kemudian terdiam, tak ada lagi obrolan. "Aku seneng deh ngobrol sama kamu!" Rani berucap tiba-tiba membuat Hikmah menengok dengan wajah cengo. "Hah?" "Ish, maksudku kamu itu enak diajak ngobrol. Emang sih aku itu tipe orang yang gampang akrab, tapi jarang banget nemu temen ngobrol yang bener-bener enak diajak ngobrol." jelas Rani membuat Hikmah tersenyum kecil. "Aku enggak, aku susah untuk berteman." "Loh, ken—" "Udah jam segini, ayo kita ke kampus, takut terlambat nih!" ajak Hikmah tiba-tiba karena jam di tanganya sudah menujukkan pukul delapan kurang. "Eh? Ayo!" Mereka kemudian jalan dengan diam hingga tiba di depan kampus. "Ke pohon itu, yuk, ngadem sebelum Kakak tingkat dateng!" ajak Rani sambil menunjuk pohon rindang yang di sekelilingnya dibangun tempat duduk. "Ayo!" ***  Hai, hari yang baru!  Aku datang dengan segala kenangan yang berusaha aku lupakan. Aku datang dengan harapan kebahagiaan akan selalu datang dan aku datang dengan membawa impian masa depan.  Aku mendatangimu bukan tanpa alasan, tetapi aku membutuhkanmu untuk mengukir kisahku yang baru. Menggoreskan kenangan baru guna menghapus memori lama. Aku akan memulai awal yang baru dengan diriku yang baru.  Terimakasih telah mendengarkanku. 

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Dinikahi Karena Dendam

read
205.8K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

My Secret Little Wife

read
97.9K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.2K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.3K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook