2. MABA

2543 Words
"Saat ada seseorang yang menerima perubahan baikmu, janganlah kau lepas genggaman tangannya. Saat ada seseorang yang bersedia menerima kekuranganmu, janganlah kau sia-siakan dirinya. Dan saat ada orang yang bersedia berjalan bersamamu, menemanimu, dan menjadi peringan bebanmu maka itu ada keberuntunganmu. Karena orang seperti itulah yang kau butuhkan dalam hidupmu." *** Rani dan Hikmah duduk terdiam di bawah pohon Beringin yang rindang, memperhatikan orang-orang yang tengah berlalu lalang, bergosip bahkan bermake up ria membuat Rani risih dibuatnya. Rani ini bisa dibilang agak tomboy, dia tidak terlalu suka hal-hal yang berbau feminim. Dia suka hal-hal berbau laki-laki, karena menurutnya hal itu unik. "Ih, kamu tuh lihat ngga si? Cewe yang di pojok pos itu," tanya Rani sambil menunjukkan dagunya pada pos satpam yang berada tak jauh dari tempat mereka duduk. Hikmah menengok dan berusaha mencari objek yang ditunjuk oleh Rani, namun ia sama sekali tidak bisa menemukannya membuat ia menggeleng. "Engga, aku ngga lihat apapun tuh!" ujarnya memberi tahu, karena memang sedari tadi yang ia lihat hanyalah orang yang sedang berlalu-lalang. "Masa sih?" tanya Rani heran. "Iya, di sini itu banyak orang, Ran. Dan aku ngga bisa lihat apapun," Rani mengerang kesal, "Ish, kalau ngga lihat apapun berarti kamu buta lah!" ujarnya kesal sambil memanyunkan bibirnya. "Hehehe, ya ngga gitu juga, Ran. Maksudku ngga ada objek penting di sana, gituloh..." jelas Hikmah membuat Rani menengok padanya lalu mendekatkan bibirnya ke telinga Hikmah dan membisikkan sesuatu, "Itu loh, cewe itu yang pake baju kurang bahan plus lagi make up, yang di pojok itu." Rani kemudian menunjuk pada segerombol orang yang nampak sedang duduk mengelilingi meja yang terbuat dari batu itu. Hikmah kemudian kembali mengikuti petunjuk dari Rani, matanya dengan perlahan dan jeli mencari objek yang dimaksud oleh Rani, lalu matanya menangkap sesosok wanita dengan baju abu-abu namun melorot di bagian bahu dan d**a itu sedang menggunakan make up. "Hoooh, yang itu?" tanya Hikmah memastikan membuat Rani langsung mengangguk bersemangat, "Iya, yang itu. Ngeselin ngga si?! Kayanya dia kakak tingkat kita, deh. Tapi ngga cocok banget jadi contoh!!" sungutnya kesal, entah kenapa pagi ini moodnya sangat buruk saat ia memasuki kampus, pemandangan yang menurutnya jelek itu ada di mana-mana, namun tidak saat bersama Hikmah, ia memiliki teman diskusi yang baik. Hikmah tersenyum maklum, lalu dengan santai ia berucap, "Ngeselin si, tapi lebih ngeselin lagi yang jadi kita." Hikmah berucap santai mengabaikan Rani yang kini menganga tak paham. "Maksudnya?" tanyanya bingung. Hikmah tersenyum sambil menatap Rani lekat, ia lalu memangku dagunya dengan tangan yang bertumpu pada lutut. "Iya, yang jadi pihak paling mengesalkan adalah kita dan bukan dia." Rani semakin gagal paham, ia sama sekali tak mengerti dengan jalan pikiran Hikmah yang menurutnya sangat tinggi hingga ia sendiri tak dapat menjangkaunya lagi. "Kok gitu?!" tanyanya protes, ia bersungut heran pada Hikmah yang justru tetap santai walau ia tahu Rani sedang emosi saat ini. "Ya gitu," "Begini, dia mungkin memang buruk dan ngga layak dijadikan contoh. Tapi, coba deh kita lihat diri kita sendiri? Dari cover tentu kita menang, tampang alimnya dapat. Tapi, apa dari hati kita berhasil menang? Apa hati kita itu suci, bersih? Enggak, aku yakin itu. Bahkan untuk mengetahui isi hati kita yang tersembunyi saja sulit, apalagi kita mengetahui isi hati orang lain, kan?" "Ta--" Rani ingin menyela ucapan Hikmah, namun Hikmah segera menunjukkan simbol diam dengan jari telunjuknya. "Orang itu bisa buruk cover dan bisa buruk isinya. Kalau saat ini yang kita lihat adalah cover, lalu mau kita apakan hatinya yang mungkin saja bersih? Mau kita abaikan saja hanya karena covernya yang buruk dan jauh dari kata baik? Kalau begitu, ngga adil, dong." "Ck, tapi Hikmah kan dia itu ngga pakai jilbab, pasti karena ngikutin trend!!" sungutnya kesal, merasa tak terima pendapatnya ditolak. Hikmah hanya tersenyum, dalam hatinya sama sekali tak luput mengucap istighfar. Melihat kesalah pahaman yang terjadi di depannya ini membuatnya sedikit kalut. "Aku tahu, namun orang yang tidak berjilbab tidak bisa kita cap buruk begitu saja. Mereka tanpa sadar telah menjual harga dirinya, mereka tak mematuhi perintah Allah dan tidak membedakan diri mereka dengan orang jahiliyah. Dalam kasus ini, biarkan saja karena urusannya adalah antara Allah dan dia. Antara syariat dan trend masa kini. Tugas kita sebagai hamba-Nya hanyalah menuntun, mengajak dan menunjukkan jalan yang benar, kita itu hanya perantara Allah untuk mengajak hamba-Nya yang ingkar agar kembali padanya." "Mengingatkan boleh, berkomentar juga boleh, yang perlu diperhatikan adalah caranya. Cara kita menyampaikan berbagai nasihat dan saran yang akan diterima olehnya, Rasulullah itu lembut loh, sangat lembut, dilempar batu beliau justru berdoa agar kelak terlahir manusia yang penuh iman. Dan kita justru menghina sesama Ummat?" "Na'udzubillah..." ucap Hikmah sebagai penutup ungkapannya, ia kemudian menengok pada Rani yang masih terdiam kaku mendengar ucapannya barusan. "Ran, kamu ngga pa--" "AYO SEMUANYA KUMPUL DI TENGAH LAPANGAN!!!" Teriakan melengking itu mengagetkan semua orang, tak terkecuali Hikmah dan Rani yang kini berlari tergopoh-gopoh menuju tengah lapangan untuk acara penyambutan MABA. "Ayo, Ran, cepet!" "Iya-iya, tunggu ih!" Dua gadis itu berlari dengan cepat, berusaha menerobos gumpalan manusia yang kini memenuhi lapangan. "Aduh, gede amat sih lapangannya!" keluh Rani sesaat setelah mereka sampai di tengah lapangan. Lapangan ini sangat luas, belum lagi area depan yang dikhususkan untuk bersantai juga luas, membuat mereka harus berlari seperti orang kesetanan. "Hikmah, ayo kita baris di sana!" Rani mengajak Hikmah untuk baris di bagian tengah, agar tidak terlalu panas. Karena bagian belakang pasti akan diisi oleh kakak tingkat mereka sehingga mereka tidak akan leluasa. "Ayo!" balas Hikmah mengikuti Rani dengan napas yang ngos-ngosan. Hikmah kemudian berjalan di belakang Rani dengan lemas, saking lemasnya ia sampai tak menyadari bahwa ada seorang senat yang sedang berjalan dengan terburu-buru ke arahnya. Bruk! "Aaawww!" ringis Hikmah saat tak sengaja tubuhnya terdorong dengan keras oleh seseorang. Karena tak bisa menjaga keseimbangan, Hikmah pun jatuh tersungkur membuatnya ditertawakan secara mendadak. "Hikmah!" jerit Rani kaget, ia pun bergegas membantu Hikmah untuk bangkit dan matanya menatap tajam pada sosok yang diam terpaku melihat kejadian itu. Sosok yang menyebabkan Hikmah jatuh. "Kamu!" tunjuknya pada lelaki dengan jas berwarna coklat muda di depannya, ia kemudian maju meninggalkan Hikmah yang masih diam menunduk karena ditertawakan. "Eh, jangan, Ran!" cegah Hikmah yang memahami bahwa situasi sudah tak se-stabil tadi. Ia pun berjalan tertatih mendekati Rani, lututnya terasa sakit. "Tapi dia yang buat kamu jatuh!" marah Rani. "Jangan ribut, ah. Ayo kita cepet baris, aku malu ini!" desak Hikmah lalu menggandeng Rani secara paksa. Bisa bahaya jika mereka memperpanjang masalah ini. "Ish!" "Ngga papa udah." ucap Hikmah, ia kemudian mengambil tempat di samping Rani. Suara tawa yang penuh dengan ejekan itu masih terdengar jelas. Bahkan orang di belakang Hikmah mengejeknya terang-terangan. Hikmah menunduk, kilasan masa lalu mendadak kembali menghinggapinya. Mencegat langkah untuknya berubah dan melupakan. "Hufffttt..." helaan napas Hikmah terdengar lirih, berusaha menahan sesak karena sekali lagi dan untuk pertama kalinya di kuliah ia dipermalukan. Awal yang ia rangkai dengan indah justru berujung ejekan. "Kenapa?" tanya Rani yang sadar sedari tadi Hikmah hanya menunduk. "Ngga papa." jawab Hikmah pelan. Rani mencibir, bibirnya ia buat senyinyir mungkin. "Cewek itu kalau bilang ngga papa, aslinya ada apa-apa. Beeuhh, rumus lama!" cibir Rani membuat Hikmah menatapnya lucu. "Kenapa?" tanya Rani heran. "Kamu itu aneh," tukas Hikmah membuat Rani mengernyit. "Aneh kenapa?" "Kamu itu kan perempuan, tapi kamu mencibir sesama perempuan. Berarti jiwa ceweable kamu ngga ada!" simpul Hikmah sambil menatap Rani lekat. Rani yang tadinya sudah menahan napas mendadak menghembuskan napasnya gusar, apa tadi 'jiwa ceweable' nya tidak ada? Benarkah yang mengatakan ini adalah Hikmah? Meski baru kenal, Rani sudah bisa menangkap karakter Hikmah. Ia tak percaya Hikmah mengatakan ini padanya. "Kamu ngatain aku?" tanya Rani tak percaya, Hikmah menjawab dengan gelengan polosnya. "Enggak, aku cuma ngomong kenyataan. Kamu ini menurutku kurang ceweable, atau memang aku belum tahu, ya? Aku bingung juga sih." ucap Hikmah bingung. Rani menepuk jidat, ternyata Hikmah itu sungguh polos, persis seperti dugaan awalnya. "Ya ampun, Mah! Kamu tuh ya---" "PERHATIAN SEMUANYA... HARAP TERTIB AGAR ACARA BERJALAN KONDUSIF!!" Hikmah dan Rani terkejut secara bersamaan, mereka lalu menengok ke arah depan. "Mulai lagi!" desah Rani kesal, daritadi pengumuman ini selalu mengagetkannya. Rani yang memang matanya jeli pun menangkap sesosok lelaki yang sedang berdiri sambil memegang mic. "Ouh, itu senat yang ngomong." Rani berucap santai, namun sedetik kemudian ia sadar. "Itu cowo yang tadi bukan, si?!" pekiknya. Hikmah bereaksi, ia pun mengikuti arah pandang Rani. "Kenapa?" tanyanya polos. "Ituloh, orang yang berdiri di depan lapangan ternyata orang yang nabrak kamu tadi!" ujar Rani. "Masa, sih?" "Ish, beneran! Dia senat, deh, kayanya." "Senat tapi ngga tahu aturan dan tata krama!" dengusnya membuat Hikmah mengerjap beberapa kali, "Ngga boleh ngejek orang, loh!" ingatnya membuat Rani kembali mendengus. *** Jam istirahat telah tiba, kini waktunya mereka untuk mencari makanan dan mengistirahatkan tubuhnya yang sudah lelah mengikuti berbagai kegiatan untuk MABA. Saat istirahat, Hikmah menyempatkan diri untuk pergi ke masjid. Jam Dhuha telah tiba dan ia tak ingin menyia-nyiakannya, meski penat dan lelah melanda tubuhnya, namun ia tak ingin lupa dan abai bahwa Allah-lah satu-satunya penyegar raga dan penyembuh jiwa. Ia meninggalkan Rani yang mendadak hilang entah kemana. Awalnya Rani bilang ingin ke kamar mandi, tetapi lama ia menunggu Rani tak kunjung datang, jadilah ia meninggalkan Rani yang mungkin saja sekarang sedang mencarinya. Bukannya ia tak perduli, hanya saja waktu istirahat tidak lama dan ia harus segera melaksanakan Dhuha. Kampus ini sangat besar membuat kakinya pegal, tetapi karena keinginannya untuk bertemu Sang Khaliq, maka ia abaikan segala sakit dan penat yang mendera tubuhnya. "Alhamdulillah, ketemu juga!" pekiknya senang saat melihat Masjid telah berada di depannya, tak ingin buang waktu Hikmah pun mempercepat langkahnya. Ia melepas sepatu lalu masuk masih dengan kaus kaki yang dipakai, ia langsung menuju tempat wudhu. Saat air wudhu mengenai wajahnya, tak terelakkan rasa dingin dan sejuk menerpanya, memuaskan dahaganya yang sejak tadi ditahan-tahan karena senat yang masih memberi arahan. Ia melakukan setiap tahapnya dengan baik, memastikan tidak ada bagian tubuhnya yang terlewat. Wudhu bukan sekedar bersuci sebelum sholat, wudhu juga dapat meringankan beban dosa yang kita buat. Dosa yang kita perbuat mengalir melalui tetesan air wudhu kita. Ia menutup wudhunya dengan doa lalu berjalan menuju lemari kaca yang terdapat beberapa pasang mukenah. Sebenarnya bisa saja ia menggunakan bajunya sekarang, karena toh bajunya menutup aurat dengan baik dan tidak tembus pandang atau ketat, namun karena tadi ia habis melakukan berbagai kegiatan yang bisa dibilang 'ngglesor' sehingga ia tidak bisa menggunakan pakaiannya dan memilih mukenah untuk melapisinya. Setelah siap, ia pun mengucapkan niat diikuti takbir yang ia ucapkan lirih. Lantunan doa dengan suara yang lirih nan merdu terdengar menenangkan, meski hanya Hikmah yang bisa mendengarnya namun bisa dipastikan siapapun yang turut mendengarnya akan jatuh cinta. Dhuha bukan hanya sekedar pelancar rezeki, sholat ini juga mampu membuka peluang kita untuk menggapai syurga dengan lebih mudah. Menyempatkan waktu di kala sibuk hanya untuk beradu kasih dengan Allah tidaklah mudah, hanya beberapa orang saja yang bisa melakukannya. Saat sujud terakhir, Hikmah sengaja memperlama durasinya. Ia masih ingin berdua bersama Allah, meminta kebaikan untuk dirinya dan berkah yang Allah alirkan tanpa tersendat. Berduaan bersama Allah itu terlampau menyenangkan sehingga ia rasanya ingin lagi dan lagi melakukannya. Namun, karena waktu yang semakin tipis ia pun akhirnya mengakhiri sholat dan ditutup dengan doa yang ia lantunkan. Setelah selesai Hikmah langsung menaruh kembali mukenah itu di lemari dan bergegas keluar masjid lalu memakai sepatunya. Saat sedang memakai sepatu ia tak menyadari bahwa ada seorang lelaki yang sedang memperhatikannya dari jauh. "Dah selesai!" soraknya senang, ia kemudian langsung berjalan cepat ingin mencari Rani, teman barunya. "Rani mana, ya?" gumamnya bingung. "Aku harus cari dimana? Gede banget lagi kampusnya!" Hikmah yang kebingungan pun alhasil hanya berdiri dengan diam, ia sedang menentukan kemana dulu ia akan mencari Rani. "Hei," sapa seseorang mengagetkan Hikmah. Hikmah terdiam lalu menatap sosok di depannya, dia adalah orang yang menabrak Hikmah pagi tadi. "Iya?" tanyanya pelan. "Maaf untuk yang tadi, karena saya kamu jadi ditertawakan," ucapnya pelan, ia benar-benar tidak sengaja melakukan itu tadi, ia sedang terburu-buru sehingga ia tidak memperhatikan jalan dengan baik. Hikmah mengangguk canggung, "Ngga apa-apa." "Nama ka—" "Hikmaahhhh!" Ucapan lelaki itu sontak saja terpotong karena teriakan super dari seorang gadis yang ternyata dia adalah Rani. Rani datang dengan wajah lelah dan napasnya yang berat. Kepalanya mendadak pening karena Hikmah yang menghilang dari pandangannya. "Kamu kemana aja, sih?! Aku cariin daritadi tahu." Rani berujar marah pada Hikmah yang tersenyum kecil, ia kedua mendekat Rani dan mengelus pundaknya. "Aku habis sholat, mumpung ada waktu." Adem. Satu kata yang bisa mendefinisikan hati dua orang berlainan jenis yang tengah mendengarkan Hikmah, di zaman ini sangat jarang hal ini terjadi, terlebih saat sedang sibuk dengan berbagai kegiatan menguras emosi dan tenaga ini. "Ouhh sholat toh! Ngga bilang sih!" "Ya udah, yuk per--" ajak Hikmah yang mendadak terpotong oleh Rani. "Tunggu, dia itu laki yang tadi dorong kamu bukan, sih?!" marahnya. Lelaki itu terkejut, hey dia tidak sengaja. "Saya ngga dorong dia dan saya ngga sengaja." bela lelaki itu membuat Rani kesal. "Halah, ngaku!" "Rani, dia itu senat. Udah ah, ayo kita pergi, aku mau makan dulu." lerai Hikmah lalu segera menarik Rani meninggalkan lelaki yang menabrak Hikmah tadi sendirian. *** "Ish Hikmah! Lepasin deh! Lelaki itu kurang ajar tauk!" marah Rani memberontak agar Hikmah melepaskannya. Hikmah menurut, ia melepaskan Rani yang masih berapi-api. "Dia udah minta maaf tadi, udah ya? ngga usah dibahas lagi." pinta Hikmah memohon membuat Rani mengangguk kesal. "Kamu udah makan? Kalau belum ayo pesen bareng!" tawar Hikmah membuat Rani menggeleng. "Belum." "Ya udah, ayo pesen. Biar aku yang bayar, kamu mau bakso atau mie ayam atau mau yang lain?" tawar Hikmah membuat Rani menggeleng tidak enak. "Ngga usah, aku bayar sendiri aja." "Nurut aja, Rani. Biar aku yang bayar, jadi kamu mau apa?" "Bakso aja deh, minumnya es teh." "Okey, aku juga." Hikmah kemudian berjalan menuju kedai bakso bersama dengan Rani yang mengikutinya. Saat sedang fokus menungg pesanannya siap, telinganya tanpa sengaja mendengar suara yang sangat ia kenali. Bahkan benar-benar ia hafal. "Kok gue bosen, ya?" tanya seorang lelaki tampan dengan wajah bingungnya membuat teman-temannya mengernyit heran. "Kok bisa sih, Sayang? Kenapa bosen?" sahut seorang gadis cantik bertubuh langsing yang wajahnya dipoles dengan make up tebal. "Iya, kok lo aneh si Hans. Kan biasanya lo paling suka kalau kita bolos gini!" Lelaki tampan yang diketahui bernama Hans itu menghela napas, ia sendiri bingung, biasanya bolos adalah hal yang sangat disukainya. Namun belakangan ini ia merasa bosan bukan kepalang. Apa karena ia sudah biasa kerja sehingga tak betah hanya bolos di kelas? Atau karena... "Ah, lo udah biasa kerja kali, jadinya ngga nyaman bolos lagi!" Hans mengangguk, bisa jadi. Tapi, ia masih suka berpesta dan hura-hura. "Tapi gue kerja ngga kaya orang kerja, kerjaan gue nyantai!" "Sayang, kamu itu terlalu sibuk kerja sampai lupa bahwa kamu itu harusnya masih bebas, jangan kerja lagi, ah, kamu jadinya berubah ngga asik kaya dulu!" gadis cantik itu berkata kesal pada kekasihnya yang sekarang sulit sekali diajak bersenang-senang, padahal kan dulu mereka sering sekali melakukannya. Hans mengernyit, loh kenapa memangnya? "Loh, aku kan masih suka pesta dan ngumpul, kok kamu bilang beda?" tanyanya heran membuat gadis cantik itu berdecak kesal. "Ck! Iya kumpul, tapi udah ngga kaya dulu! Kamu pokoknya udah beda, bukan Hans kesayangan aku lagi!" gadis cantik itu cemberut membuat Hans mengernyit. Hening seketika, teman-teman mereka tak berniat menanggapi, karena memang temannya yang satu ini mereka rasa telah berubah. "Ah, lo rindu mainan lo lagi kali!" celetuk seseorang membuat Hans mengernyit. "Siapa?" "Hikmah!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD