“Jika Allah mempertemukan dirimu dengan masa lalu, boleh jadi itu adalah isyarat agar kau melepaskan segala beban hatimu, melapangkan hatimu, dan meneguhkan jiwamu.”
➖➖➖➖
Hikmah Anindya adalah seorang gadis yang lugu dan culun. Hobinya adalah membaca buku. Kala itu, ia harus pindah sekolah karena pekerjaan sang ayah dan juga untuk memperbaiki nasib pendidikannya ke depannya.
Di sekolahnya yang dulu, fasilitas dan bahan ajar tidak disampaikan dengan baik membuatnya mau tak mau harus pindah ke kota. Selain karena pekerjaan sang ayah dan sekolah, alasannya pindah adalah karena rumah nenek yang sudah ia tinggali sedari ia lahir itu harus dijual untuk membagi harta dengan paman dan bibinya.
Sebenarnya, Hikmah memiliki rumah di daerah yang sama, hanya saja mereka ingin mencari peluang hidup yang lebih baik dari pada di desa. Jadi, mereka memilih untuk menyewakan rumahnya di kampung dan membeli rumah baru di kota. Hasil bulanan bisa mereka gunakan sebagai tambahan biaya sehari-hari.
Hikmah adalah anak semata wayang. Ayah dan ibunya dulu mengalami kecelakaan hebat saat sang ibu sedang mengandung empat bulan. Karena benturan yang sangat keras ditambah sang ibu yang terlempar jauh, adiknya pun meninggal dan ibunya tak lagi bisa memiliki anak karena fungsi rahimnya sudah tidak normal lagi. Sebenarnya masih ada peluang hamil, tetapi dokter bilang bahwa akan lebih baik jika tidak hamil lagi karena kandungan sang ibu sudah lemah dan tidak stabil. Belum lagi sebelum kecelakaan itu terjadi, sang ibu pernah mengalami keguguran dua kali.
Hikmah sedih tentu saja. Adik yang selalu ia nantikan itu kembali pergi meninggalkannya seperti adiknya yang lain. Sabar adalah hal yang selalu ayahnya ucapkan. Kata ayah, sabar akan membawa kita pada kebahagiaan tiada tara. Seberat apa pun ujiannya kita tidak boleh lelah dalam bersabar karena sabar adalah hal yang sangat Allah senangi dari hambanya. Saat itu usia Hikmah masih sepuluh tahun, tetapi ia berhasil memahaminya sehingga ia dengan ikhlas melepas kepergian adik bayinya.
Keluarganya memang tinggal bersama ibu dari ayahnya karena sang nenek yang sudah renta dan sakit-sakitan membuat Juno—ayah Hikmah— dan Nina—ibu Hikmah— memutuskan untuk menemani dan merawat orang tuanya. Saudara kandung dari ayahnya tak ada yang ingin merawat karena mereka yang tidak terlalu akur dengan sang ibu akibat berebut harta membuat Juno mengurus ibunya sendirian tanpa dibantu saudaranya. Baktinya tak akan luput walau harta tak ia dapat. Karena nyatanya ia tetap memiliki harta terbaik, yaitu Hikmah dan Nina—malaikatnya.
Setelah pindah dari desa, ayahnya mendapat pekerjaan yang cocok. Hikmah yang pada dasarnya berasal dari kampung itu merasa sedikit sulit saat ia harus beradaptasi dengan kehidupan kota yang serba berbeda dengan di desa. Di kota semua barang serba mahal, berbanding jauh dengan di desa yang bahkan harganya bisa seperempat lebih murah dari harga di kota. Lalu transportasi, teman, tetangga dan hal lainnya sungguh berbeda dengan di desa.
Di kota mereka hidup masing-masing, jarang bertegur sapa dan juga jarang kumpul bersama. Sedangkan di desa, itu adalah kegiatan rutin yang selalu mereka lakukan. Hidupnya berubah lebih drastis lagi saat ia harus memasuki salah satu sekolah swasta nomor satu. Pendidikannya bagus, fasilitas lengkap, dan warga sekolahnya pun baik. Namun bukan itu masalahnya, semua terletak pada teman-temannya yang mengucilkannya. Dikucilkan mungkin tidak masalah bagi Hikmah, tetapi tidak ketika ia dibully.
Hikmah dibully habis-habisan oleh sebuah geng yang biasa dijuluki teman-temannya dengan nama 'Geng Maut'. Ia langsung paham saat mendengarnya. Namun, yang tidak bisa ia pahami adalah semua teman bahkan guru yang mengetahui perilaku bully ini pun tidak ingin angkat bicara, mereka bahkan seolah menutupinya.
Selama ini Hikmah selalu tutup mulut saat ditanya nama dari orang yang membullynya. Berbagai ancaman dan kekerasan yang ia dapat dari mereka membuatnya memilih untuk memendam dukanya sendirian. Saat itu, ia diancam jika sampai orang tuanya mengetahui nama mereka maka saat itu juga Hikmah akan kehilangan orang tuanya. Bukan tidak mungkin ini terjadi, sebelumnya pernah terjadi hal serupa. Jadi, mau tidak mau ia telah membohongi orang tuanya dengan memberikan nama yang salah. Sebenarnya tidak salah juga, hanya saja itu adalah panggilan mereka yang diambil dari berbagai kalangan sehingga nama asli mereka tetap aman.
Orang tua Hikmah sudah sering berkunjung ke sekolah, tetapi nihil. Mereka tidak menemukan anak yang telah membuat Hikmah menjadi menderita. Detik-detik menegangkan itu harus Hikmah lewati karena sang ayah yang tidak bisa memindahkannya ke sekolah lain. Selain karena ia baru saja pindah, dia juga sudah berada di kelas tanggung yang akan mengakibatkan proses belajarnya terganggu.
Masih teringat jelas di benaknya, bagaimana geng yang dipimpin oleh seseorang bernama Hans membullynya, mengancam dan memperalatnya. Otak Hikmah itu pintar, sayang ia tidak berani melawan, saat ia melawan maka semakin bertambah pula deritanya.
Flashback On.
BRAK!
"Heh cupu, kerjain, nih, tugas gue. Besok harus udah jadi!" ucap seorang gadis remaja dengan pakaian ketat dan wajah menor itu sengit.
Hikmah yang sejak tadi sedang mencatat materi pelajaran pun seketika ketakutan. Orang ini datang lagi.
"Tapi kenapa aku?" cicitnya bingung. Selama dua bulan bersekolah ia selalu diperlakukan seperti ini.
"Yahh, pake nanya lagi! Ya lo yang harus ngerjain karena gue enggak suka ngerjain tugas begituan!" ucapnya jengkel.
"Tapi aku juga banyak tugas," bela Hikmah.
"Ya gue enggak mau tahulah! Mau banyak tugas kek atau lo kosong sekali pun, intinya lo harus ngerjain tugas gue!"
"Tapi—"
"Heh, cupu! Diem aja lo, bisa enggak?!" sentak seorang pria sambil merangkul pundak gadis berwajah menor itu.
"Aku bener. Harusnya tugas dikerjakan mandiri."
Amarah lelaki itu seketika berkobar, kesal karena gadis cupu dan kampungan di depannya itu terus melawan.
"LO ITU CUMA ANAK PINDAHAN YANG ENGGAK ADA HAK NGATUR KITA!"
Hikmah menunduk takut dan air matanya mulai mengalir. Dia tidak tahu apa yang harus ia lakukan saat ini.
"NGERTI ENGGAK?!" tanya pria itu membuat Hikmah spontan mengangguk.
"Bagus, ayo, sayang kita pergi!"
"Ayo!"
"Hikss ... Hikss ...."
Flashback Off.
"Hikmaaaah ...."
"Ah, iya?" Hikmah menjawab kaget panggilan dari Rani. Ia mendadak gelagapan.
"Kamu kenapa, sih, semenjak pesen bakso jadi diam gitu?" tanya Rani heran. Pasalnya semenjak memesan bakso Hikmah menjadi sering melamun bahkan setelah waktu tiba pun Hikmah tetap diam melamun. Pandangannya kosong dan matanya berkaca-kaca.
"Ada masalah? Kamu aneh soalnya, ya, walau aku ngga tahu kamu sebenernya gimana, sih." Rani berujar dengan khawatir saat melihat kondisi Hikmah yang tampaknya tidak baik-baik saja.
"Eng—enggak, kok! Aku cuma capek aja, aku pulang duluan, ya," elak Hikmah kemudian pamit meninggalkan Rani yang berdiri kaku di depan halte. Arah rumah mereka berbeda karena tadi Rani berangkat dari rumah kakaknya.
"Hati-hati," ucap Rani pelan saat Hikmah telah meninggalkannya.
Di dalam angkot, Hikmah tak urung kembali melamun. Semua permasalahan yang mengganggunya di masa lalu itu kini kembali menghampirinya, dengan orang dan bekas luka yang sama. Lukanya di masa lalu belum sembuh sepenuhnya, bahkan hal itu baru berhenti ia alami saat ia lulus beberapa bulan ke belakang dan sekarang ia kembali bertemu dengan mereka?
Hikmah rasanya ingin menangis saat ini juga. Masa kuliahnya yang ia pikir akan menjadi masa kebebasannya justru hancur dalam sekejap saat mata dan telinganya menangkap sesuatu yang sangat familiar. Ia kemudian menatap dirinya pada kaca bagian depan, sehelai cadar yang ia pakai berkibas indah. Seketika Hikmah menghela napas pelan, ia kemudian menyentuh lembut cadarnya. Dalam hati ia bersyukur untuk ini, cadarnya memang akan melindungi dan menjaganya, baik dari fitnah maupun bahaya lainnya.
Dulu ia memang tidak bercadar, tetapi setelah lulus sekolah ia memantapkan dirinya untuk menutup aurat secara sempurna. Keluarganya memang bisa dibilang taat beragama, walau tak banyak ilmu yang mereka punya bukan berarti mereka abai akan agama. Mereka selalu menanamkan iman dalam diri seorang Hikmah. Mereka selalu berusaha sekuat dan semampu mereka untuk menanamkan iman dalam diri Hikmah dan Hikmah pun berjuang untuk mengokohkan imannya.
"Ya Allah ... Engkaulah yang tahu takdir hambamu, Engkau menentukannya jauh sebelum kami lahir. Ya Allah, jika memang ini ketetapanmu maka tunjukan kebaikan di dalamnya, kuatkan jiwa dan ragaku agar tetap berdzikir atas namamu, lapangkan hatiku akan kemungkinan buruk yang menanti di depanku."
"Aamiin."
Hikmah kemudian mendongakkan kepala, berusaha menahan air matanya yang ingin jatuh saat itu juga.
"Kiri," ucap Hikmah saat gang rumahnya sudah dekat, kode 'kiri' yang diucapkan penumpang adalah tanda untuk berhenti.
Angkot pun berhenti tepat di depan gang rumahnya, Hikmah membayar lalu segera turun dan berjalan menuju rumah. Rumahnya tidak terlalu jauh dari jalan besar, hanya berjarak lima belas meter. Dengan perasaan gugup yang melingkupi Hikmah berjalan pelan, berusaha menetralkan ekspresi dan suaranya.
"Assalamu'alaikum," salam Hikmah saat ia telah sampai tepat di halaman rumah. Nina langsung keluar dan menyambut Hikmah pulang. Hikmah pun langsung mencium tangan Nina khidmat.
"Ya ampunn, anak Ibu udah pulang. Senengnya!" ujar ibunya senang.
Hikmah membalas dengan anggukan kecil lalu berkata, "Hikmah capek, Bu. Hikmah mau langsung tidur, boleh ya?" pinta Hikmah pada Nina yang tampak antusias menyambut kedatangannya. Pasti ibunya itu sudah tidak sabat mendengar cerita pertamanya di kampus.
"Ouhh, anak Ibu udah capek, ya? Ya udah enggak apa-apa, tapi mau makan dulu enggak? Kalau mau Ibu siapkan," tawar Nina yang dijawab gelengan kecil oleh Hikmah.
"Enggak usah, Bu. Hikmah capek banget jadi mau langsung istirahat dan tadi juga udah makan bakso di kampus, enak baksonya, Bu!" ujarnya senang dan ceria. Dibuat-buat lebih tepatnya agar sang Ibu tak khawatir dengannya. Benar saja ibunya itu tersenyum lebar.
"Oalah, enak toh baksonya? Sampe anak Ibu ini seneng banget," ucapnya kagum yang dijawab senyum Hikmah, baksonya memang enak, tetapi itu hanyalah akal-akalan Hikmah.
"Banget! Kalau gitu Hikmah masuk dulu ya, Bu?" izinnya membuat Nina mengelus bahunya pelan.
"Iya, jangan lupa cuci tangan, kaki, dan muka. Sekarang kita harus jauh lebih waspada lagi," ingat Nina pada Hikmah.
"Siap!"
***
"Hikmah bangun, yuk!"
"Sayang, bangun, dong!"
"Hikmah ini Ayah udah pulang!"
Seorang pria paruh baya yang masih gagah dan tampan itu tengah menggoyangkan pelan bahu anaknya yang tertidur lelap. Dia adalah Juno, ayah dari Hikmah yang kini masih tertidur mengarungi alam mimpi.
"Enggak bangun-bangun, Bu!" lapornya pada Nina yang setia berdiri di sampingnya, Nina tertawa kecil lalu berjalan ke kamar mandi dan mengambil sedikit air di gayung.
"Nih, pakai ini. Banjur aja ke mukanya!" sarannya disertai gurauan sambil menyerahkan gayung berisi air itu. Bukannya cepat melakukan saran yang Nina berikan, Juno malah menggeleng pelan, tak tega membangunkan anaknya dengan cara seperti itu. Tidurnya sangat lelap dan sudah pasti anaknya kelelahan.
"Enggak, ah, Bu. Enggak tega aku, aku iki dudu dirimu sing nangiakeun Hikmah wis kaya nanginang wedhus!" dumel Juno pada Nina yang seketika terdiam kesal, suaminya ini memang terlalu soft pada Hikmah. Ya walau ia akui, mereka memang benar-benar menjaga Hikmah dan tetap memperlakukannya layaknya putri kecil mereka yang rapuh, tetapi Juno ini lebih dari dirinya.
["Enggak ah, Bu. Nggak tega aku, aku ini bukan dirimu yang bangunin Hikmah udah kaya bangunin kambing!"]
"Ya sudah, kalau nggak mau ya enggak apa-apa, tapi jangan minta Ibu buat bantu lagi, ya? Kan katanya enggak tega," ucapnya memancing.
Juno bereaksi, "Ya janganlah, Bu. Ayah kesusahan ini bangunin Hikmah, dia kayaknya capek banget, ya?"
"Iya, dia bilang capek banget sampe langsung tidur enggak makan dulu."
"Tidur dari jam berapa sih, Bu?"
"Dari jam duaan, lah, pas pulang ngampus aja. Ibu juga lupa jam berapa."
"Ih, lama ya? Sekarang aja udah jam lima, dia udah sholat belum, Bu?"
Nina seketika menepuk keningnya lupa. Ia bahkan tidak ingat bahwa Hikmah belum sholat ashar karena tadi setelah Hikmah pulang ia langsung membuat pesanan kue. Ia memang membuka bisnis kue guna menambah penghasilan mereka, lumayan.
"Astagfirullah, Ibu lupa, Yah!" pekiknya menyesal. Juno menatapnya datar, ia paling tidak suka jika ada di antara anggota keluarganya yang lupa sholat. Yang ia takutkan, ia akan langsung dimintai pertanggung jawaban dan juga neraka sudah menunggunya karena ia lalai menjaga keluarganya agar tetap mengingat Allah.
"Ibu, kok, bisa, sih?!" tanyanya tajam. Menatap Nina yang seketika menunduk takut.
"Maaf, Yah. Tadi ibu langsung buat kue jadi ibu lupa dia udah sholat ashar atau belum,"
"Maafin Ibu, Yah." Nina menjawab dengan kepala tertunduk. Juno mendengus kesal, lalu dengan cepat Juno mengambil gayung yang tadi sempat disodorkan oleh Nina.
"Ayah emang maafin, tapi Allah maafin enggak?" jawab Juno miris membuat Nina semakin menyesal. Jika sudah begini, ia tidak akan segan lagi membanjur Hikmah agar segera bangun dan melaksanakan sholat.
Tik
Tik
Tik
"Eeeeungghh ...." lenguh Hikmah saat merasakan wajahnya basah. Ia kemudian membuka matanya pelan, penglihatannya masih belum jelas, tetapi ia bisa tahu bahwa yang ada di depannya saat ini adalah ayahnya—Juno.
"Ayah," gumamnya tersenyum. Bukannya balik tersenyum saat Hikmah menyapa, Juno justru menatapnya datar.
"Bangun, Dek. Sholat!" titahnya tajam pada Hikmah yang langsung membelalakkan matanya.
"Astagfirullah ...." Ia kemudian bangkit dengan sempoyongan menuju kamar mandi.
"Jangan diulangi lagi, Bu! Ayah enggak suka!" ingat Juno membuat Nina mengangguk pasrah.
"Iya."
Juno dan Nina menunggu Hikmah menyelesaikan sholatnya, mereka duduk di kasur milik Hikmah dengan mulut yang tetap terkunci satu sama lain.
"Ayah," panggil Hikmah saat ia telah selesai.
"Makan dulu, kamu, kan, belum makan, nanti sakit. Habis itu mandi pakai air hangat biar badannya enggak capek lagi!" titah Juno yang langsung diangguki oleh Hikmah.
Mereka kemudian berjalan ke luar kamar dan langsung menuju dapur yang tersambung dengan ruang makan. Mereka duduk di meja bundar lalu bersiap untuk makan, tak lupa Nina memasak air untuk mandi Hikmah nanti. Hikmah kemudian membantu untuk menata makanan dan mengambilkan makan untuk ayahnya.
"Ayah mau makan sama apa?" tanyanya pelan. Masih takut dengan sang Ayah. Ia menyadari kesalahannya.
"Sayur asem, sambal, sama ayam goreng aja," putusnya saat melihat berbagai menu. Ada lima menu untuk porsi tiga orang dan hampir semua menu itu adalah kesukaan Hikmah. Hikmah kemudian mengambilkan lauk yang ayahnya inginkan dan mengambil mangkuk kecil untuk sayur asem.
"Ini, Yah," ucapnya.
"Makasih, ya!" nada yang Juno gunakan lembut kali ini sehingga membuat Hikmah sedikit lega. Hikmah mengangguk.
"Maafin ayah, ya?" pinta Juno membuat Hikmah terkejut dan semakin merasa bersalah. Ia yang salah, tetapi ayahnya yang meminta maaf.
"Ayah enggak salah, Hikmah yang salah karena lalai sholat. Maafin Hikmah, Yah," pintanya sedih pada Juno yang langsung memeluk putri kecilnya.
"Iya, Ayah maafin. Tapi jangan begitu lagi ya, Ibu juga harus ingatkan Hikmah, jangan lalai begitu!" nasihatnya pada Hikmah dan Nina membuat dua perempuan itu kini memeluknya.
"Iya!" jawab Hikmah dan Nina bersamaan membuat mereka terkekeh.
"Lucu banget, sih, bidadarinya ayah!" Hikmah dan Nina semakin memeluk erat Juno. Seperti inilah mereka, sederhana, tetapi hangat. Juno memang soft namun ia akan tegas jika mengetahui bahwa ada anggota keluarganya terutama Hikmah dan Nina yang lalai menjalankan perintah-Nya. Dia jarang marah dan mengomel, tetapi ia sangat tegas untuk mendidik dan menanamkan takwa dalam hati keluarganya. Walau sesungguhnya Allah yang memberikan takwa dan iman, tetapi Juno adalah perantara-Nya.
"Tadi kuliahnya gimana?" tanya Juno tiba-tiba.
DEG!
➖➖➖➖
Pertemuan ada dua jenis, yang diharapkan dan tidak diharapkan.
Pertemuan bukanlah kuasa kita untuk berkata, tetapi kuasa Allah untuk menunjukkan bahwa Dia adalah Yang Maha Bisa.
Terkadang, pertemuan dengan masa lalu tidak selalu buruk, ada kebaikan yang terkandung di dalamnya dan juga ada air mata yang jatuh karenanya.
Bertemu dengan luka lama adalah duka yang mengaga, kembali menguak kisah penuh tangisan tragis.
Namun, coba kau pikir. Terkadang ada orang yang sangat mendambakan masa lalu, ingin kembali mengukir kisah, dan ingin bertemu orang tersayang.
Bagi mereka, masa lalu adalah indah dan pernak-pernik yang akan menghiasi masa depan.