“Teman bukan hanya sekedar satu frekuensi dalam mencari kesenangan, tetapi teman juga satu frekuensi dalam membangun keimanan.”
➖➖➖➖➖
"Hikmah," ulang Juno memanggil Hikmah yang tampak melamun saat ia bertanya pengalaman pertama Hikmah di kampus.
"Eh, kenapa Ayah?" tanyanya terkejut.
Juno berdecak, "Dek, dek. Kamu ini, loh, Ayah tanyain malah ngelamun. Ngelamunin apa, sih?" Juno berucap heran membuat Hikmah mendadak gelagapan.
"Enggak, kok. Hikmah cuma bingung aja mau cerita dari mana ke Ayah," jawabnya pelan membuat Juno terkekeh.
"Haduh anak Ayah ini ya, lucu banget, sih! Ya udah, kalau bingung mau dari mana ceritanya, nanti aja, deh, ceritanya habis kita sholat maghrib aja, gimana? Mau enggak?" tawar Juno yang diangguki oleh Hikmah.
"Boleh, tuh."
"Sip!"
"Tapi Hikmah ingat, habis ini kamu mandi sekaligus siap-siap buat sholat, kamu jamaah sama Ibu aja, ya, Ayah mau ke masjid!" ingat Juno lagi.
"Iya, Ayah," ucapnya patuh lalu segera memakan makanannya.
Keluarga itu makan dalam diam, karena memang Juno tidak suka bila ada anggota keluarganya yang berbicara saat makan. Namun, apabila itu adalah hal penting maka diperbolehkan, tetapi jika sekedar bergurau maka dilarang.
Dalam diam Nina memperhatikan Hikmah, ada yang aneh dengan anaknya itu. Sejak datang hingga sekarang, Hikmah seperti menyembunyikan sesuatu. Meski Hikmah sama sekali tidak mengatakan apa pun, tetapi ia tahu bahwa ada sesuatu yang mengusik Hikmah. Ia paham karena ia adalah ibu dari Hikmah. Mereka berbagi tubuh selama sembilan bulan lamanya. Nina merasa seakan hal ini pernah dialaminya. Tatapan dan gestur yang Hikmah tampakkan pernah ia lihat sebelumnya, tetapi ia sendiri masih tak yakin bahwa hal ini kembali terulang.
"Ya Allah, ada apa dengan Hikmah? Kenapa dia seperti menyembunyikan sesuatu? Hal ini sudah hamba rasakan sebelumnya Ya Allah, jangan sampai terulang lagi. Hamba tidak sanggup melihat Hikmah kembali tersiksa."
Sementara itu, Hikmah merasa heran karena sejak tadi sang ibu terus melihatnya lekat. Hikmah yang ditatap seperti itu pun merasa tidak nyaman.
"Kenapa Bu? Kok lihatin Hikmah terus." Juno bertanya saat menyadari sejak tadi istrinya itu tidak makan.
Nina hanya mengaduk makanannya saja sambil memperhatikan Hikmah. Sementara itu, Nina justru terkejut mendengarnya. Rupanya sang suami memperhatikannya.
"Enggak, cuma enggak nyangka aja Hikmah udah gede, udah kuliah dan bentar lagi nikah."
"Ish, Ibu! Hikmah mau nanti nikahnya, mau sama Ayah sama Ibu dulu, mau bahagiain kalian, Hikmah masih merasa bodoh, Bu. Hikmah harus gali lebih banyak ilmu, biar nanti anak-anak Hikmah memiliki ibu yang pintar!" Hikmah merancang masa depannya. Meski ia menolak untuk menikah, hatinya tak menampik bahwa ia tak sabar menantikan hal itu tiba. Karena itulah, selagi ia menunggu masa bahagia itu datang, ia memutuskan untuk selalu serius mencari bekal dunia dan akhiratnya.
Juno dan Nina tersenyum. Lalu Juno mengelus kepala Hikmah. "Sholehahnya anak Ayah!"
"Sekarang habiskan makananya dan lekas mandi, waktu maghrib sebentar lagi."
"Siap, Ayah!"
***
Kini keluarga kecil Juno tengah duduk lesehan di ruang TV sekaligus ruang utama. Mereka duduk beralaskan karpet berbulu tebal dengan gambar beruang lucu kesukaan Hikmah. Pada saat kumpul keluarga seperti ini, Hikmah pasti akan bertingkah manja pada ayahnya. Seperti saat ini, ia menumpukkan beban tubuhnya pada Juno.
"Jadi, bagaimana hari pertama kamu di kampus?" buka Juno.
"Terus ada yang memperlakukan kamu buruk enggak?" tanya Nina khawatir, sejak tadi hal inilah yang paling mengusik jiwanya, takut-takut ada yang kembali mengganggu hidup Hikmah.
Hikmah terdiam lalu menjawab dengan semangat, "Enggak, kok! Enggak ada yang gangguin Hikmah, malah Hikmah seneng banget, Hikmah bahkan udah dapet temen dan kayanya Hikmah bakal cocok sama dia, deh,"
Lega, itulah yang dirasakan Juno dan Nina.
"Oh, ya? Siapa namanya?" tanya Juno tak kalah semangat. Ia senang melihat perubahan baik dalam hidup Hikmah.
"Namanya Rani, kita kenalan di angkot pas berangkat tadi."
"Rani? Rani siapa?" Nina juga turut penasaran.
"Waktu kenalan, dia bilang namanya itu cuma 'Rani tok', alias enggak ada nama panjangnya. Jujur ya, awalnya Hikmah takut sama dia, soalnya dia itu agak tomboy gitu dan bedalah perilaku sama perempuan kebanyakan yang lemah gemulai, dia tuh kaya kasar gitu loh, Bu!" jelas Hikmah menceritakan Rani dalam sudut pandangnya.
"Kok bisa, sih, takut sama dia?" tanya Juno heran.
"Bisalah, Ayah. Orang di angkot aja dia perhatiin Hikmah terus dan Hikmah rasa wajar kalau Hikmah takut sama dia. Terus, saat Hikmah turun dari angkot dia minta bareng dan ngajak kenalan duluan,"
"Di sana Hikmah enggak nyangka sih bakal dapet temen secepat itu, tapi Hikmah bersyukur karena Allah kasih Hikmah teman yang baik, kami cocok waktu ngobrol dan dia asik orangnya walau agak bar-bar." Hikmah berujar pelan pada kata 'bar-bar' yang ia sematkan pada Rani.
"Bar-bar? Tahu darimana kamu? Enggak boleh cap orang sembarangan, ah!" perkataan Juno ini membuat Hikmah cemberut.
"Ih, enggak asal cap, kok! Jadi, waktu disuruh baris sama Kakak senatnya, enggak sengaja ada yang tabrak Hikmah sampai jatoh. Karena Hikmah jadi pusat perhatian, Rani marah ke senat itu yang ngeliat ke arah Hikmah sama Rani,"
"Terus?" tanya Nina.
"Ya udah, Hikmah ajak aja Rani baris terus udah, deh. Tapi pas Hikmah selesai dhuha, senat itu nemuin Hikmah dan minta maaf, tiba-tiba dateng Rani mau ngajak gulet senatnya. Hikmah takut dong, ya, jadi Hikmah langsung ajak Rani ke kantin."
"Dan makan bakso enak itu, iya?" tebak Nina membuat Hikmah mengangguk.
"Yap, baksonya enak dan gede banget. Hikmah aja sampe kekenyangan."
"Hahahahha, kamu ini, kalau kekenyangan dibungkus, lah!" saran Juno spontan membuat Hikmah menepuk paha ayahnya.
"Ih ayah ini, malu kalau gitu mah!"
"Hahahhaha ...."
***
Waktu berlalu dengan cepat, tak terasa sudah empat bulan Hikmah menuntut Ilmu di Perguruan Tinggi Dwi Ilmu. Selama ini ia berhasil bebas dari geng maut milik Hans, meski sering bertemu dan berpapasan, mereka sama sekali tak menyadari bahwa itu adalah Hikmah. Selain Hikmah yang menyembunyikan dirinya sendiri dibalik nama 'Anin', Hikmah juga berusaha untuk tidak memiliki banyak teman karena menurut penglihatannya semua orang di sini hampir berteman dengan Hans beserta gengnya, bisa ketahuan persembunyiannya bila mereka mengetahui nama aslinya.
Ia hanya berteman dengan Rani, dan sisanya pun berteman biasa. Hikmah selalu menjaga jaraknya pada Hans dan tidak terlalu menunjukkan dirinya. Satu bulan lalu ia hampir saja menghancurkan segalanya karena ia tak sengaja menumpahkan air miliknya mengenai tas mahal Hans. Awalnya ia sudah was-was sekali, tetapi akhirnya ia lega karena Hans yang hanya marah-marah dan tidak mengetahui siapa dirinya, karena saat ditanya ia akan menjawab namanya 'Anin'. Hans juga berkata bahwa ia sangat tidak suka berada di dekat Hikmah yang selalu memakai cadar dengan pakaian gelapnya. Bukannya tersinggung, Hikmah justru bersyukur. Peluang dirinya selamat jauh lebih besar.
Saat ini, Hikmah sedang menunggu Rani yang mengajak dirinya untuk keluar jalan-jalan dan Rani akan menjemputnya di rumah. Rani bilang ia ingin membeli ikan hias untuk di kamarnya. Hikmah yang merasa senang pun mengiyakan. Ia juga berniat untuk membeli ikan agar ia memiliki teman.
"Rani!" panggil Hikmah pada Rani yang telah tiba di depan rumah. Dengan semangat ia pun langsung membuka pintu dan mempersilahkan Rani untuk masuk.
"Mau masuk dulu enggak?" tawar Hikmah.
"Engga deh, ayo sekarang aja biar bisa lama waktunya," ajak Rani yang diangguki Hikmah. Hikmah kemudian menutup pintu dan langsung naik ke motor.
"Ayo!"
"Loh, enggak izin dulu?"
"Ayah sama Ibu lagi ada urusan, tadi udah izin, kok!" jawabnya membuat Rani mengangguk.
Sepanjang perjalanan hanya diisi keheningan membuat Hikmah heran. Tidak biasanya Rani diam, belum lagi saat menjemputnya tadi Rani tampak tidak bersahabat, rautnya seperti menyimpan kesal membuat Hikmah bingung. Apa ada masalah?
"Rani?" panggil Hikmah berusaha membuka komunikasi dengan Rani.
"Hhmm?" Benar, Rani sedang ada masalah. Buktinya ia menjawab hanya dengan gumaman saja, dari yang biasanya disertai celoteh lucu atau minimal dia berkata 'Ape?' untuk balasan panggilan yang ditujukan kepadanya.
"Ada masalah?" tanya Hikmah pelan, membuat Rani mengangguk dengan mata yang masih fokus pada jalan.
"Ada, banyak banget malah. Soalnya ada yang enggak mau jujur soal masa lalunya, nih!" sindir Rani entah pada siapa membuat Hikmah heran.
Hikmah terdiam, karena ia merasa Rani sedang tidak dalam kondisi hati yang baik, bahkan mungkin sangat buruk sehingga dia sendiri harus berjaga-jaga.
"Ouh, gitu," balasnya.
Tak lamar mereka sampai, namun yang membuat Hikmah heran adalah tempat yang sekarang mereka kunjungi bukanlah toko ikan hias, melainkan warung mie ayam.
"Ran, kok, di sini?" tanya Hikmah heran saat Rani sudah turun dari motor dan melepas helm.
"Makan dulu, laper, nih! Lagian juga ada yang mau aku omongin," jawabnya lalu mengajak Hikmah masuk ke dalam warung. Hikmah dan Rani lalu memesan dua porsi mie ayam spesial dan dua gelas es jeruk.
Sambil menunggu pesanan datang, mereka memilih tempat duduk di dekat jendela.
"Kamu mau ngomong apa?" tanya Hikmah.
"Kamu ini anggap aku teman atau bukan, sih?!" tanya Rani balik dengan tajam membuat Hikmah melotot kaget.
"Kamu, kok, gitu ngomongnya? Jelaslah teman!" jawab Hikmah.
"Kalau teman kenapa enggak pernah cerita kalau kamu adalah korban bully?!"