“Masa lalu tidak selalu salah, air mata yang menetes karenanya pun telah Allah tetapkan. Karenanya, masa lalu menjadi pijakan di masa depan.”
➖➖➖➖➖
"Kalau teman kenapa enggak pernah cerita kalau kamu adalah korban bully?!" skak Rani membuat Hikmah terdiam. Hikmah kebingungan menjawab, karena memang selama ini Rani tidak mengetahui bahwa dirinya adalah korban bully. Menurutnya itu tidak perlu karena ia sudah tidak ingin membuka luka lamanya. Walau keadaannya masih terancam, tetapi setidaknya ia bisa sedikit tenang.
"Jawab!" desak Rani membuat Hikmah menunduk.
"Aku cuma enggak mau kamu tahu, enggak penting juga!" jelas Hikmah yang malah semakin membuat Rani emosi.
"Enggak penting?! Kamu pikir ini cuma sebuah permainan anak-anak yang enggak ngefek, gitu?"
"Ini tentang hidup kamu, Hikmah."
"Tapi itu, kan, udah lewat!" kekeh Hikmah.
"Masa lalu mungkin udah lewat, tapi kisahnya pasti akan selalu teringat. Kamu enggak bisa ngelak, Hikmah. Kamu sekarang masih berada dalam ketakutan, aku tahu itu."
Hikmah terdiam, tanpa ia sadari air matanya menetes kecil. "Maaf," cicitnya.
Rani yang menyadari suara Hikmah berbeda pun segera melihat wajahnya dan ternyata benar, Hikmah menangis.
"Jangan nangis!"
"Aku merasa gagal jadi teman, enggak guna sama sekali. Kalau ibumu ngga bilang kamu adalah korban bully semasa SMA, enggak akan aku tahu hal ini, kamu pasti bakal sembunyiin ini dari aku terus, kan?" tebak Rani membuat Hikmah mengangguk.
"Iya, karena aku pikir ini enggak penting."
"Tapi akhirnya jadi membebanimu, kan?" tebak Rani lagi dan Hikmah mengangguk.
"Berarti kamu mengalami ini sejak pindah sekolah?"
"Iya."
"Loh k—"
"Permisi, Neng. Ini mie ayam spesialnya," ucapan Rani terpotong oleh ibu penjual mie ayam.
"Ah, iya Bu. Terimakasih ya," ucap Hikmah yang diangguki olehnya. Setelah penjual itu pergi, mereka lalu mulai memakan makanannya.
"Hikmah, kamu bisa cerita sekarang?" tanya Rani.
"Jangan disini deh, Ran. Tempat lain aja, enggak enak kalau disini."
Rani mengangguk paham, "Okey, kita ke pusat kota aja, gimana?" tawar Rani yang diangguki oleh Hikmah.
Mereka kemudian lekas menyelesaikan makan lalu bergegas menuju ke pusat kota.
Di pusat kota terdapat sebuah masjid besar. Masjid itu benar-benar luas dan mewah. Arsitekturnya lebih banyak menggunakan warna emas dan coklat sehingga kesan mewahnya begitu terasa. Belum lagi pilar-pilar besar yang mengelilinginya semakin membuat bangunan itu tampak kokoh. Selain itu, masjid ini memiliki lapangan yang luas. Terkadang dijadikan tempat upacara dan latihan para abdi negara.
"Duduk di taman aja, yuk!" ajak Rani yang langsung diikuti Hikmah.
Mereka kemudian melepas sepatu di pinggir sebelum menginjak rumput dan membiarkan kaus kakinya tetap terpasang. Setelah itu, mereka baru beranjak dan memilih bagian pojok untuk mereka duduk.
"Ayo cerita!" titah Rani membuat Hikmah menarik napas panjang.
"Enggak semua tapi, ya?"
"Ya udah enggak papa. Asal cerita!"
"Iya, deh iya."
"Aku ceritain awalnya, ya?"
"Hhmm .... Buruan!"
Flashback On
Kelas yang tampak penuh dengan fasilitas mahal itu berhasil membius pandangan seorang gadis lugu yang memakai kacamata. Dengan tas yang digendong di punggung, rok dan baju panjang, tak lupa kerudung menutup dadanya, ia berdiri mematung di depan kelas yang tampak penuh. Pandangannya berganti arah, menyapu pada para siswa yang tampak sibuk dengan obrolannya masing-masing.
"Selamat siang anak-anak!" sapa guru yang tadi berjalan bersamanya.
Tak ada reaksi, para murid itu sama sekali tak peduli dengan sapaan guru mereka membuat guru itu sedikit kesal.
"Anak-anak berhenti berbicara! Ada yang ingin ibu sampaikan sekarang!" teriaknya membuat anak-anak itu kalang kabut. Hanya sebagian saja, karena sebagian yang lain justru menatap santai guru itu.
"Ibu ingin berhenti digaji sehingga menitah kami?" tanya seorang murid lelaki yang tampan nan gagah dengan datar. Lelaki itu kemudian menatap ke arah gadis yang berada di samping guru itu.
"Siapa tuh?" tanyanya dengan lancang.
"Dia teman baru kalian, akan ibu jelaskan," jawabnya gugup membuat lelaki itu beserta gengnya tersenyum sinis.
"Yeeuhh, sok-sokan ngelawan, kicep juga kan lo!"
"Biasalah, kurang duit itu!"
Dua gadis dengan pakaian ketat itu tak segan menghina sang guru yang kini tampak semakin emosi.
"Diam dulu, ya," ucapnya menenangkan. Berusaha tenang lebih tepatnya.
Mereka berdecih jijik, muka dua!
"Carmuk!"
Hinaan itu tentu tak luput dari pendengaran gadis berpakaian tertutup itu, dia sedikit heran karena murid di sini bisa dibilang bar-bar, jauh sekali dengan murid di desanya yang akan patuh dan hormat pada gurunya.
"Baik anak-anak, hari ini kalian mendapat teman baru, namanya adalah Hikmah,"
"Hikmah, ayo memperkenalkan diri!" ucapnya langsung diangguki oleh Hikmah.
"Assalamu'alaikum semuanya, perkenalkan nama saya Hikmah Anindya. Sebelumnya saya bersekolah di desa Mulya."
"Salam ke—"
"Bendungan, dimana, tuh?!" sinis seorang lelaki dengan rambut acak-acakannya.
"Lo dari kampung, ya?"
Hikmah pun menjawab. "Iya, saya dari kampung."
"Ouh, dah duduk lo! Cepet!"
"Heh, duduk sekarang juga!"
"Dan anda Bu Vivi, tolong segera keluar dari kelas!"
Seorang lelaki yang sempat mengancam guru itu kini kembali menitah gurunya membuat Hikmah semakin heran.
"Iya, Ibu akan segera keluar. Tapi ingat, kalian harus jaga sikap!" ingatnya membuat gadis dengan pakaian ketat itu membalas.
"Iyein aja, tapi ingat, Ibu digaji oleh kita!"
Bu Vivi mengepalkan tangannya dengan raut kesal, tetapi seketika ia rubah saat berhadapan dengan Hikmah.
"Hikmah, kamu duduk di depan, ya? Hanya itu tempat yang kosong dan jaga diri kamu baik-baik. Ibu pergi dulu."
Setelah itu Bu Vivi benar-benar meninggalkan Hikmah, Hikmah langsung menuju tempat duduknya.
"Psssttt, lo mau jadi temen kita-kita e enggak?" tawar seorang gadis centil yang duduk tepat di belakangnya. Ia menoel pundak Hikmah hingga Hikmah menengok.
"Eh, kamu ngomong sama aku?" tanya Hikmah kaget. Malas, itulah satu kata yang terlintas di atas kepala gadis centil itu. Hikmah terlalu polos dan lugu.
"Iyalah sama lo, terus sama siapa lagi emang?"
"Ehhehhe, enggak."
Hikmah itu polos, bahkan terlalu polos sehingga ia merespon ajakan gadis itu dengan ceria membuat teman se-gengnya tersenyum senang, mangsa baru.
"Jadi mau enggak?"
"Memang boleh?" tanya Hikmah pelan.
"Boleh, tapi ada syaratnya. Gue Hans! Pacar dari Dinda, orang yang ngobrol sama lo!" lelaki tampan yang sedari tadi mendesak guru itu ternyata bernama Hans dan merupakan kekasih dari Dinda.
"Ouh, hai Hans!" sapa Hikmah takut-takut membuat Hans tersenyum sinis.
"Hai,"
"Kalau lo berniat jadi temen kita, lo harus menjalani beberapa persyaratan dulu!"
"Apa itu?" tanya Hikmah polos.
"Lo harus ngelayanin kita!"
➖➖➖➖➖
Masa lalu ada sebagai pelajaran, dia ada karena akan ada masa depan yang datang. Masa lalu itu menghantarkan kita menuju kebahagiaan di masa depan. Meski ia sendiri memberikan luka, tetapi masa lalu tidak pernah salah.
Setiap waktu memiliki artinya sendiri, memiliki makna dan kenangan tersendiri. Bila masa lalumu penuh tangis, maka ubahlah masa depanmu penuh canda dan tawa.