“Dunia memang tidak adil. Yang menyakiti tak diadili, tetapi yang tersakiti dicaci maki.”
➖➖➖➖
"Hikmah! Cepet kerjain tugas gue, udah numpuk, nih!"
"Tunggu sebentar, Din. Aku juga lagi ngerjain tugasku, jadi nanti ya aku ngerjain tugas kamu."
Brak!
"Lo berani?! Hah?!"
"Lo berani nentang gue?! Punya nyali berapa lo?!"
Hikmah terkejut karena Dinda yang membentaknya.
"Tapi Din, aku juga ada tugas. Kamu kerjain sendiri, ya," jelasnya pelan yang justru membuat Dinda semakin parah.
"Heh! Lo tuh cuma numpang di sekolah ini, yang punya sekolah itu gue! Gue! Sedangkan lo? Halah, sekedar murid doang tapi berani sama gue!" ucapnya pedas pada Hikmah yang kini membelalakkan matanya.
"Justru karena aku murid, aku juga punya hak," bela Hikmah pelan membuat Bella mendekatinya lalu meremas pundaknya kencang.
"Awww ... sakit, sakit Din!" pekik Hikmah saat merasakan kuku-kuku panjang dan berwarna hitam milik Dinda menusuk kulitnya.
"Sakit? Iya? Jawab!!"
"Hikss ... Iya, sakit ...."
"Asal lo tahu, ini enggak sebanding dengan lo yang berani sama gue!"
"Tapi aku ka—"
"Dinda, sayang kok kamu masih di kelas," panggil seorang lelaki yang kini berjalan memasuki kelas dengan mata yang fokus pada jam tangannya. Tadi ia sedang keluar bersama teman-temannya yang lain dan Dinda masih berada di kelas. Ia pikir Dinda akan langsung ke kantin, rupanya tidak.
"Hans! Lihat deh!" teriak Dinda pada Hans yang terkejut saat mendengar suaranya, ia kemudian menunjuk pada Hikmah yang tersudut di tembok sambil menangis sedu.
"Kenapa dia?" tanya Hans dingin sambil berjalan mendekati Hikmah yang kini beringsut takut.
"Biasalah, dia nentang aku, padahal kan sekolah ini punya kita! Tapi dia malah nentang aku, kurang ajar!" lapornya pada Hans yang kini mengepalkan tangannya kuat.
"Ouhh, mainan kita ini berani nentang kamu? Iya?"
"Iya! Harus dikasih pelajaran, ngga kapok dia kayanya!" kompor Dinda membuat Hans seketika bersmirk dan memanggil teman-temannya yang lain.
"Dateng ke kelas sekarang, mainan kita mulai berontak lagi."
Mendengar hal itu Hikmah semakin takut, air matanya mengalir semakin deras. Kelas sudah sepi karena semua murid berada di kantin, dan juga jika ia meminta pertolongan pun belum tentu ada yang membantu. Dengar sendiri bukan bahwa Hans dan Dinda adalah pemilik sekolah ini, orang tuanya lebih tepat.
Orang tua Hans dan Dinda bekerja sama membangun sekolah bergengsi dan mahal ini. Mereka sengaja memasukkan anak-anak mereka di sini dengan harapan bahwa mereka bisa belajar mengolah sekolah dengan baik. Namun, nyatanya justru sebaliknya. Dengan uang mereka melakukan segalanya.
Brak!
"Asikk, main lagi!"
"Udah lama gue enggak seneng-seneng!"
Flashback Off
"Lalu me— hiks ... hikss ...." isak Hikmah di tengah ceritanya membuat Rani spontan mengelus pundaknya berniat menenangkan.
"Hey udah, udah Hikmah enggak usah dilanjutin kalo ini bikin kamu sedih lagi," ucap Rani pelan dan khawatir, ia meringis kecil saat menyadari bahwa ini adalah ulahnya yang memaksa Hikmah menceritakan masa lalunya.
"Tapi kamu kan—"
"Ssshh, udah enggak usah. Maafin aku, yah karena udah maksa kamu dan buat kamu sedih lagi,"
"Kamu enggak apa-apa kan ngga aku ceritakan semua?"
"Enggak kok, enggak papa. Justru aku yang mau nanya sama kamu, kamu ngga marah sama aku, kan?" Rani bertanya hati-hati, rasa bersalah menerpanya.
"Enggak, kenapa aku harus marah padahal kamu enggak salah, justru aku yang minta maaf karena udah nyembunyiin ini semua."
"Aku enggak ada maksud buruk kok, percaya sama aku!" bela Hikmah lagi membuat Rani memeluknya secara tiba-tiba.
"Iya, aku percaya, kok!"
Isakan Hikmah mereda, Rani yang memang masih dalam mode kepo memilih bertanya lagi. Menurutnya kisah Hikmah di masa lalu penuh dengan misteri yang ia sendiri tidak tahu kenapa ini bisa terjadi.
"Ayah sama Ibu tahu pelakunya?" Rani bertanya dengan pelan, menurutnya ini aneh.
Hikmah mengangguk mantap.
"Tahu, tapi aku sembunyiin nama asli mereka, nama asli mereka biar aku aja yang tahu, ibu dan ayah enggak usah,"
"Loh, kok gitu sih?!" pekik Rani histeris.
"Ya gitu, lagian percuma juga kalau tahu, guru aja kalah sama mereka apalagi kami."
"Tapi ini, kan, enggak adil!"
"Iya bener, tapi aku rasa jalan terbaiknya adalah ini. Aku hanya beri tahu nama tengah anak-anak nakal itu aja, udah. Mereka juga tentu enggak akan gampang ditemukan, secara sekolah aja milik mereka."
"Tapi bukannya Ibu sama Ayah pernah datang ke sekolah, ya?"
"Iya pernah, tapi enggak dapat hasil apapun." Hikmah menghela napas, biarlah hanya dia yang tahu masa lalunya, tak perlu membeberkan jauh lebih luas karena masa lalu ia anggap telah berhenti setelah ia lulus sekolah. Tak akan ada Hikmah yang terbully lagi, hanya akan ada Hikmah yang baru saat ini.
Rani menghela napas, sepertinya memang Hikmah tipe orang yang tidak suka masa lalunya tersebar dan terkupas begitu saja, baiklah, ia akan coba memahaminya.
"Ya udah, mending sekarang kita beli ikannya aja gimana?" tawar Rani membuat Hikmah mengangguk antusias.
"Ayo, ayo!"
Rani dan Hikmah pun berjalan kembali ke arah parkiran dan langsung menjalankan motornya menuju toko ikan hias di tengah kota, tak jauh dari tempat mereka singgah tadi.
Di perjalanan hanya diisi celoteh dari Rani yang asik menunjukkan berbagai tempat kekinian pada Hikmah yang terlihat takjub. Hikmah adalah tipe anak rumahan. kesehariannya hanya ia habiskan di dalam rumah dengan kegiatan yang mungkin bagi orang lain sangat membosankan, tetapi tidak bagi Hikmah.
Motor yang dikendarai Rani lalu berbelok ke kiri dan langsung berhenti di toko yang menjual berbagai ikan hias.
"Ikannya banyak, ya," ucap Hikmah sambil menatap kagum toko yang penuh dengan ikan itu, seumur-umur ia baru sekali mengunjungi toko ikan hias.
"Iya banyak, murah lagi harganya, pilih aja mau yang mana, di sini juga ada akuarium dan hiasannya, pokoknya top markotop deh toko ikan ini!" Rani menjelaskan dengan rinci tak lupa memuji toko ikan hias kesayangannya ini. Rani memang pecinta hewan terutama ikan.
"Waahhh! Aku mau beli ikan koki yang gendut itu!" Hikmah berujar antusias, ia benar-benar suka dengan ikan yang memiliki perut buncit dan biasanya berwarna terang itu. Dulu ia sempat punya, tetapi mati saat ia tak sengaja menyemprotkan cairan pembunuh nyamuk. Niatnya menyemprot ruangan, tetapi malah terkena ikan gendut kesayangannya.
Rani terkekeh, ternyata di balik kedewasaan seorang Hikmah dan kelembutan hatinya, Hikmah tetaplah gadis pada umumnya yang punya semangat besar dan tingkat antusias yang tinggi.
"Ayo masuk, kita cari ikan-ikan lucu untuk dibawa pulang!"
Hikmah dan Rani pun memasuki toko, pandangan mereka langsung disambut dengan berbagai jenis ikan hias yang terpajang rapi lengkap beserta akuariumnya, ada beberapa ikan juga yang berada dalam kolam. Hikmah dengan antusias berkeliling meninggalkan Rani yang asik melihat-lihat ikan cupang, ia berniat mencari ikan gendut kesukaannya.
Bibirnya melengkung saat tak berhasil menemukan keberadaan ikan lucu itu, ia kemudian terduduk lesu di salah satu bangku yang tersedia di sana. Pandangannya tanpa sengaja teralih pada sesosok lelaki yang tengah menenteng plastik yang sudah terisi ikan, ikan koki!
Langsung saja Hikmah menghampirinya, barangkali saja lelaki itu tahu bukan dimana tempat ikan gendut itu berada.
"Permisi," ucapnya membuat lelaki itu menengok ke belakang dan pandangan mereka langsung terkejut saat itu. Benar-benar tidak menyangka karena mereka lagi-lagi dipertemukan untuk yang kesekian kalinya.
"Hikmah?!"
"Kak Reno?"
Hikmah dan Reno sama-sama terkejut luar biasa, ternyata selain di kampus mereka juga bisa bertemu di toko ikan hias.
"Kamu lagi apa di sini?" tanya Reno senang. Akhirnya sang pujaan hatinya itu kembali bertemu dengannya. Ah, ia tidak akan melewatkan kesempatan ini.
"Aku mau beli ikan," jawabnya singkat tanpa mempedulikan Reno yang terus memperhatikannya.
"Ouh ya? Ikan apa?" tanya Reno membuat Hikmah secara spontan menunjuk ikan yang tengah Reno tenteng.
"Aku mau ikan gendut itu!" ucap Hikmah pelan, Reno terkesiap saat mendengar suara Hikmah yang berbeda dari biasanya. Hatinya berbunga-bunga karena Hikmah tidak berbicara cuek tadi.
"Ikan koki ini?" tanya Reno memastikan.
"Iya, aku mau itu. Di mana tempatnya?" tanya Hikmah sambil melihat-lihat sekitar.
Reno tersenyum misterius, ini kesempatan baik untuknya dan tidak akan ia lewatkan. "Eeumm, ini ikannya Kakak pesan soalnya beda dari yang lain, lagi pula stok ikan koki di sini lagi habis. Jadi, cuma orang yang mesen aja yang bisa beli karena udah disiapkan,"
"Kamu mau? Kalau mau, ambil punya Kakak aja." tawar Reno sumringah, tak apa ia gagal dapat ikan koki, yang penting ia hoki.
Hikmah tampak tak enak. Jika di toko sedang habis maka ia bisa membeli lain kali. Ia tak ingin mengambil hak Reno. "Enggak usah, Kak Reno. Makasih banget tapi Hikmah beli lain kali aja, permisi."
Setelah mengucapkan itu Hikmah langsung beranjak pergi meninggalkan Reno yang tersenyum masam. Sulit sekali mendekati Hikmah yang sudah berhasil mengambil hatinya sejak awal bertemu. Padahal ia tampan, pintar, dan berprestasi, tetapi Hikmah selalu bersikap cuek padanya.
"Sesusah itu," gumamnya pelan sambil berjalan tak minat menuju kasir.
Hikmah yang sudah pergi meninggalkan Reno kini berada di samping Rani yang masih sibuk memilih ikan cupang. Ia berjalan lesu karena tak berhasil mendapat ikan gendut itu.
"Kenapa?" tanya Rani heran. Tadi Hikmah sangat bersemangat, tetapi sekarang tidak.
Hikmah menggeleng pelan, "Ikannya enggak ada," ucapnya lemas.
Rani terdiam merasa heran, Benarkah apa yang dikatakan Hikmah? Bertahun-tahun ia menjadi pelanggan, ikan koki selalu mempunyai stok di toko. "Masa, sih?" tanyanya tak percaya.
"Iya."
"Kata siapa? Kata bang Endo-nya?" Bang Endo adalah pemilik toko tempat Rani berlangganan.
"Bukan, tapi kata kak Reno."
"Reno?" beo Rani heran.
"Reno siapa?" ulangnya membuat Hikmah mendesah malas. "Kak Reno yang senat ituloh, dia yang bilang sama aku tadi pas aku tanya dimana tempat ikan kokinya. Dia bilang kalau dia itu pesan ikan kokinya udah lama. Jadi, di tempat ini untuk stok ikan kokinya cuma ada yang dipesan aja, lagian punya dia ikan kokinya itu beda dari yang lain. Gitu katanya!"
"Masa, sih? Tunggu deh, aku tanya bang Endo dulu!" Rani pergi meninggalkan Hikmah yang kebingungan, kenapa Rani terlihat sangat aneh?
Tak lama Rani kembali dengan membawa dua ekor ikan koki yang telah siap dibawa pulang, Hikmah terkejut bukan main.
"Nih, ikannya! Ikannya ada kok, stoknya masih banyak. Untuk persoalan kak Reno, dia memang pesan, tapi ikannya ada banyak kok!" jelas Rani membuat Hikmah heran bukan main, mana mungkin?
"Tapi Kak Reno—"
"Udahlah, biarin aja, dia caper sama kamu!" putus Rani membuat Hikmah terdiam, apa benar? Tapi mengapa?
"Aku udah nentuin pilihanku, kamu masih mau cari ikan lagi enggak? Kalau enggak, ayo bayar dan pulang!" Rani menawarkan pilihan pada Hikmah yang menggeleng, ia sudah selesai.
"Oke, kalau gitu sekarang kita bayar."
Dua gadis yang saling bersahabat itu kemudian menuju kasir, membayar semua total ikan yang mereka beli. Setelah selesai mereka memilih langsung pulang dengan Rani yang mengantarkan Hikmah jauh lebih dulu.