Bab 9: Kembali ke Realita

1309 Words
Jam pulang sekolah akhirnya berbunyi. Karena ada janji mendadak, Mita pulang duluan meninggalkanku yang sedang ada jadwal piket di kelas. Alighy, teman piketku, tiba-tiba menghampiri sembari menyerahkan tumpukan kertas. “Ini klipping acara tujuh belasan. Bisa tolong antarin ke ruang OSIS? Udah ditagih nih, gue lagi sakit perut,” rintih Alighy mencengkeram perutnya. “Tolong ya, Van. Jangan sampai basah.” Aku mengangguk sembari menatap langit yang sedang hujan. “Oke, lagian gue juga ada butuh di ruang OSIS.” Sambil membawa tumpukan kertas itu, aku berjalan keluar kelas pelan-pelan. Bahkan diriku seperti hampir termakan dinding karena air hujannya masuk membasahi lorong. Kedua lenganku mendekap tumpukan kertas itu erat-erat supaya tak basah, akhirnya justru lengan kiriku terkena air hujan. Ah ... mengapa sekolahku banyak tempat terbukanya, sih? Yah, memang segar dan sirkulasi udaranya lancar, tapi kalau hujan kan repot. Kasihan juga petugas kebersihan harus mengeringkan lantai sekolah berjam-jam dan kasus orang terpeleset semakin bertambah. Karena terlalu asik menggerutu, akhirnya aku kehilangan fokus dan langsung terpeleset hingga tubuhku terjerembab jauh beberapa ubin dari tempat awalku berdiri. “A-aw!” Aku memekik pelan bukan karena sakit, melainkan kaget dengan apa yang terjadi. Menoleh ke belakang, aku menemukan klipping yang kubawa jatuh berserakan. “Yah! Yaaah! Basah semua!” Mataku mulai berkaca-kaca dan jantungku berdegup kencang. Aku takut sekali. Ini klipping kelas kami untuk acara tujuh belasan. Mengingat betapa pentingnya klipping ini membuatku panik. Bagaimana jika satu kelas memusuhiku karena kecerobohanku? Gimana caraku bertanggung jawab? Astaga, aku bodoh sekali! Seseorang lalu muncul dan berjongkok memunguti kertas-kertas yang basah itu. “Nangis nggak akan nyelesaiin masalah.” Aku langsung menghapus air mataku cepat-cepat. “Ma-maaf.” Erza berdiri dan mengulurkan tangan kanannya padaku. “Ikut gue ke ruang OSIS.” Aku menarik napas dengan sesekali sesenggukkan, lalu menerima uluran tangan Erza. “Makasih....” Sampai di ruang OSIS, Erza berjalan menuju sebuah lemari di pojok ruangan dan mengambil sebuah handuk kecil di sana. Handuk itu masih baru dan ada nama sekolah kami. Rasanya aku pernah melihat handuk itu. “Pakai ini,” kata Erza sambil melingkarkan handuk itu di leherku. “Ada sisa hadiah untuk acara tahun lalu.” Ah, benar! Ini handuk hadiah acara olahraga sekolah kami tahun lalu. Pantas saja rasanya tak asing di mataku. Erza kemudian melepas jaketnya dan membalutkannya di tubuhku. “Kenapa bisa jatuh?” “Kepeleset,” kataku pelan sambil menunduk. “Makanya jangan melamun,” balas Erza. “Ini klipping lo udah hancur karena basah.” Aku menatap Erza dengan ekspresi khawatir. “Gu-gue harus gimana?” Dia justru menghela napas panjang dan duduk di kursinya membuka laptop. “Gue bantu buat klipping yang baru.” “Se-serius?” Sekilas aku tampak kegirangan, lalu rasa sungkan itu menghampiriku. “Tapi lo nggak papa? Gue ngerepotin lo lagi....” “Ya, maka dari itu lo harus teraktir gue kapan-kapan,” balasnya. “Sini duduk.” Aku menurut dan duduk di sampingnya. “Gu-gue pasti bakal teraktir lo. Lo suka kue?” “Suka.” “Ka-kalau gitu kapan-kapan gue teraktir makan kue, ya?” Erza melirikku sekilas sebelum akhirnya menjawab, “Oke.” Klipping yang harus kami kerjakan lagi cukup banyak, sehingga benar-benar memakan waktu. Hingga senja tiba, kami masih belum selesai. Sedangkan aku rasanya ingin luruh ke lantai lantaran harus terjebak atmosfir penuh kecanggungan bersama Erza selama beberapa saat. Kami sedari tadi hanya berdua saja di ruang OSIS. Terbayang kan bagaimana canggungnya? Sudah beberapa kali aku curi-curi pandang padanya yang terlalu fokus mengerjakan klippingku. Tanpa kesulitan apa pun, dia mampu menyelesaikan setengah dari klipping ini hanya dalam waktu singkat. Ternyata dia memang benar-benar pintar ya. Aku kagum. “Bagian tersulit udah gue kerjain, sisanya lo ya. Tinggal masukkan aja bagian ini dan tambah fotonya,” ucap Erza. “Besok bisa selesai? Gue akan coba ngomong sama Jason untuk ngasih kelas lo sedikit waktu lagi.” “Bisa, bisa! Makasih banyak udah bantuin. Gue nggak tahu gimana jadinya kalo nggak ada lo,” kataku senang. “Oke, sama-sama. Tas lo di mana?” tanyanya sambil merapikan barang-barangnya. “Di kelas.” Erza melongok keluar jendela. “Hujannya belum reda. Lo pulang gimana?” “Gue naik angkutan umum—astaga!” Tiba-tiba aku teringat sesuatu yang amat penting. “Gue lupa belum kasih kabar ke Ibu kalau pulang telat. Ibu pasti khawatir banget. Hapeku tertinggal di tas.” Erza menyodorkan ponselnya padaku. “Pake hape gue.” “Gue janji pasti bakal teraktir lo dobel.” Erza tersenyum tipis. Aku segera menghubungi Ibu menggunakan nomor Erza. Beberapa detik kemudian, Ibu mengangkatnya. “Halo?” “Halo, Ibu. Ini Vania pakai hape teman. Vania hari ini pulangnya agak telat ya, Bu. Terjebak hujan, nih. Vania pulang setelah hujan sedikit reda boleh, Bu?” “Vania nggak papa? Nggak kebasahan, kan? Iya, Nak, tunggu hujan reda saja ya baru pulang,” kata Ibu penuh pengertian. “Sampaikan ke temanmu, terima kasih.” “Iya, Bu.” Telepon terputus. Aku mengembalikkan ponselnya kepada Erza. “Kata Ibu, terima kasih.” “Sama-sama,” balasnya. “Kita tunggu hujan reda di sini aja ya.” Aku mengangguk setuju. Kami akhirnya kembali duduk dan tenggelam dalam pikiran masing-masing. Tak ada yang mengeluarkan suara hingga beberapa saat berlalu. Kemudian ada satu suara yang berhasil memecahkan keheningan di antara kami sekaligus menjadi catatan paling memalukan seumur hidupku. Suara perutku! “Ma-maaf....” Aku menunduk malu dan memalingkan wajah. Erza berdiri dan melongok ke arah lorong sekolah. “Hujannya nggak sederas tadi. Kita coba terobos pelan-pelan?” Kurasa itu ide yang bagus mengingat perutku sudah memberontak butuh asupan makanan. “Oke, kita terobos aja.” Erza mengambil payung dari dalam lemari dan membukanya begitu kami keluar dari ruang OSIS. Pelan-pelan kami berdua berjalan di lorong agar tak ada lagi kejadian terpeleset yang memalukan. Sementara Erza mengarahkan payungnya ke depan agar tubuh kami tak terciprat air hujan, tangan kananku mencengkeram kecil baju seragam Erza agar tak tertinggal jauh. Jangan salah paham! Karena Erza mengerti kecerobohanku, akhirnya ia menawarkanku untuk mencengkeram baju seragamnya supaya jalanku tak tertinggal olehnya. Dan karena payungnya cuma satu, mau tak mau kami harus berdekatan agar tak basah. Ia mengantarku mengambil barang-barang di kelas, lalu kami lanjut ke parkiran sekolah. “Gue anter lo,” katanya membuka pintu mobil untukku. “Ma-makasih.” Hujan reda saat kami dalam perjalanan. Akhirnya. Kurasa aku akan flu kalau hujannya tak kunjung reda. Tak membutuhkan waktu lama, kami sampai juga di rumahku. Aku dapat melihat Ibu sudah menunggu di dalam karena jendela rumah kami cukup besar. Kami membagi rumah sederhana kami menjadi dua bagian. Bagian depan untuk toko kue, dan bagian belakang untuk tempat tinggal. Maka dari itulah kenapa jendela depan rumah kami besar, supaya Ibu bisa memamerkan kue-kue lezat buatannya. “Astaga, Nak, kalian berdua kehujanan ya? Sini-sini masuk dulu, Ibu buatkan teh hangat.” Erza berusaha menolak tawaran Ibu dengan sopan. “Terima kasih banyak tawarannya, Bu, tapi saya langsung pulang saja, karena orangtua saya juga sudah menunggu. Lain kali saya pasti akan mampir, Bu.” Ibu tersenyum lembut mendengar ucapan Erza. “Ya sudah kalau begitu. Tapi janji ya kapan-kapan mampir kemari. Ibu akan buatkan kue yang lezat buat Nak....” “Erza, Bu,” kataku hampir lupa mengenalkan Erza pada Ibu. “Buat Nak Erza,” lanjut Ibu. “Ibu makasih banyak ya Nak Erza sudah antar Vania ke rumah.” Erza tersenyum manis, membuatku benar-benar terpaku di tempat. “Sama-sama, Bu. Kalau begitu saya pamit dulu. Selamat malam. Sampai ketemu besok, Vania.” Ibu melambaikan tangan dan aku tersenyum kecil. “Sampai ketemu besok, Erza.” ***   “Iya, gue inget banget betapa cerobohnya lo dulu,” kata Mita terkekeh pelan. Saat ini kami sedang berada di dalam mobil, tepat di depan kawasan SMA kami waktu itu. Usai kabur dari Gramedia, Mita tak sengaja membanting setirnya ke jalan menuju kawasan SMA kami. Dan akhirnya di sinilah kami berdua, berbincang kecil sambil bernostalgia masa-masa indah saat masih menjadi siswa SMA. “Naik kelas 12, lo langsung berubah. Jadi lebih teliti dan berhati-hati. Lebih tepatnya lo berubah waktu udah jadian sama Erza,” sambung Mita. “Yah ... satu hal yang masih gue syukuri.” Aku setuju dengan perkataan Mita. “Dan dialah yang jadi alasan kenapa kita kabur dari Gramedia beberapa saat yang lalu.” Mita langsung memutar kepalanya padaku dengan ekspresi terkejut. “Erza? Dia ada di Gramedia tadi?” Aku mengangguk. “Dan ada novel gue di tangannya.” Mita semakin melebarkan mulutnya tak percaya. “It’s been forever, Vania. Lo akhirnya ketemu juga sama dia!” “Yah ... satu hal yang masih bikin gue sakit hati.” Perasaan terkutuk itu kembali menghampiriku lagi. Rasanya sesak. Aku berusaha menghindar namun rasanya sia-sia. Beginilah takdir bermain-main pada hidupku. Menyayat luka di hatiku semakin dalam tanpa henti. “Pelan-pelan aja, Van.” Mita mengusap punggungku untuk menenangkanku. “Tapi, menurut lo penampilan Erza tadi gimana? Tambah ganteng ya? Profesinya keren juga. Dokter, coy!” Mendengar itu, muncullah tawa singkat dari mulutku. “Iya, Erza selalu ganteng.” “Erza buat gue aja boleh, Van?” goda Mita. “Silakan.” Kami berdua tertawa dan melanjutkan perjalanan kami menuju kantor, menyudahi sesi nostalgia dan kembali pada realita yang ada.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD