bc

JANJI KEMUNING

book_age18+
1.8K
FOLLOW
13.2K
READ
love-triangle
friends to lovers
doctor
drama
tragedy
sweet
serious
first love
spiritual
teacher
like
intro-logo
Blurb

Kemuning dan Hamid adalah dua sahabat yang terikat dengan satu janji bahwa mereka akan bersama selamanya. Tapi setamat SMA, Hamid merantau ke tanah Jawa untuk mengejar apa yang dia cita-citakannya. Sayangnya, Hamid tak berkabar. Sehingga akhirnya, ubak (ayah) Kemuning menjodohkan Kemuning dengan Rindang, seorang dokter tampan yang agresif dan humoris. Namun, rasa cintanya pada Hamid, membuatnya belum bisa menerima kehadiran Rindang sebagai seorang suami. Akankah di kemudian hari Kemuning bisa menerima Rindang sebagai suaminya?

chap-preview
Free preview
Kemuning 1
"APA lagi yang kau tunggu, Muning? Ubak (ayah) merasa sudah saatnya kau bersanding di pelaminan. Mana bujang yang ubak pinta? Mengapa kamu tak menemukannya juga? Jika kamu tak mencari bujang itu sendiri, maka ubak yang mencarikannya untukmu, seperti apa yang ubak lakukan pada kakak-kakakmu dulu. Bukannya apa muning, ubak dan umakmu (ibumu) ini sudah berumur senja. Hidup seolah tinggal menunggu saat-saat Izrail menjemput saja. Sungguh tak rela rasanya ubak dan umakmu ini meninggalkanmu sebelum kamu betunak (menikah). Sedang kau tau sendiri, kamu si bungsu dan satu-satunya yang belum betunak. Jadi fikirkanlah itu segera, Muning." Zainudin agak terbawa emosi. Sedari tadi menjelaskan tentang keinginannya pada sang putri untuk segera melihat sang putri menikah, selalu dibantah untuk alasan yang tidak masuk akal. ‘Belum siap’, rasanya itu jawaban yang terlalu dibuat-buat. Sementara itu di depannya, seorang gadis berhijab nan cantik, menundukkan wajahnya mendengar omelan sang ayah. Ayahnya berpikir dia menolak keinginan sang ayah untuk segera menikah adalah tanpa alasan. Padahal dia memiliki alasan yang kuat. Tapi dia kesulitan untuk mengungkapkan alasannya tersebut. Mardalena, ibunya yang duduk di sebelahnya mengusap punggung putrinya yang bernama Kemuning tersebut dengan lembut. “Ubak benar, Muning. Apalagi yang kamu tunggu. Kuliah sudah, jadi guru pun sudah, jadi yang belum hanya betunak. Tenang hati ubak dan umak jika melihat kamu sudah betunak.” Kemuning menoleh. Menatap mata ibunya dengan tatapan tak terima. “Tapi mak…” “Jangan membantah. Tapi pikirkan saja dulu keinginan kami ini.” Kemuning membisu. Tidak bias berkata apa-apa lagi. ~ ~ ~ "Buk!" Setengah membanting Kemuning meletakkan buku cetak Bahasa Indonesia ke atas meja. Sepasang mata memperhatikannya. Dia tahu itu. Tapi dia perduli. Batinnya sedang benar-benar kalut saat ini. Tak tahu harus berbuat apa. Ucapan ayahnya dua minggu lalu terus teringang-ngiang di telinganya, menggelitik fikirannya dan membuyarkan konsentrasi mengajarnya. Sebenarnya, bukan dari dua minggu yang lalu ayahnya meminta Kemuning untuk segera betunak. Tapi lebih lama dari pada rentang waktu itu. Yaitu kurang lebih dari satu tahun yang lalu. Nah, yang membuat Kemuning meresa kacau adalah di dua minggu ini. Ancaman ayahnya yang akan mencarikan pria untuknya itu yang membuatnya gelisah. Bagaimana tidak, itu artinya ayahnya akan menjodohkan Kemuning dengan lelaki pilihan orangtuanya tersebut. Aneh memang, zaman Siti Nurbaya masih berlaku di zaman ini. Tapi hukum melawan orangtua, memang tak ada dalam kamus keluarga Kemuning. Keempat kakaknya menurut saja, tak ada bantahan ketika ayahnya mencarikan istri-istri buat mereka. Kemuning menilik usia, 24 tahun. Pantas jika ayahnya mulai uring-uringan menyuruhnya menikah. Kakak-kakaknya menikah tak jauh dari usia ini. Apalagi Kemuning satu-satunya anak perempuan dalam keluarganya yang seharusnya menurut ayahnya harus menikah lebih muda dari usia ini. Ya, Muning menghargai ayahnya seperti juga kakak-kakaknya yang menghargai beliau. Secara mental, Kemuning sendiri insyaAllah sudah merasa siap. Tapi bukan ini masalahnya, ini masalah janji tujuh tahun yang lalu. Janji yang sampai saat ini masih Kemuning pegang teguh. Janji yang Kemuning harapkan dapat menghantarkannya meraih kebahagiaan. Janji yang diharapkan akan terwujud: membawa mereka, -Kemuning dan si dia ke pelaminan dengan segera seperti harapan ayahnya tanpa harus dicarikan pria yang lain. Janji itu seakan-akan mengalir tanpa direncana, janji yang tidak dibuat-dibuat dan mengalir begitu saja. Janji yang terlafadzkan dari dua orang sahabat yang tidak tahu pada saat itu ada benih cinta atau tidak di hati masing-masing. Mereka hanya ingin mengabadikan persahabatan yang sedari kecil terjalin dengan selalu bersama selamanya seperti hari-hari lampau yang mereka lewati berdua. "Ada apa bu, sepertinya akhir-akhir ini ibu kalut? Apa ada masalah?" Orang yang sedari tadi memperhatikannya akhirnya tak tahan untuk memendam keingintahuannya. Bukan tanpa sebab, sudah beberapa hari Kemuning seperti itu. Tampak gelisah dan itu terlihat nyata. Maklum, meja mereka bersebelahan. Jadi, secara sengaja ataupun tidak sengaja, saling memperhatikan satu sama lain. Kemuning memaksakan sebuah senyum meski itu sulit sekali. "Hm, tidak apa-apa kok, bu?" "Ibu Muning yakin tidak ada apa-apa?" Matanya tajam menelisik wajah Kemunig. Tak percaya dengan apa yang diucapkan oleh gadis berhijab itu. Tapi tidak mungkin juga baginya untuk memaksa Kemuning mengakui kalau wanita itu sedang ada masalah. Orang yang bertanya itu pun kemudian memilih untuk menyudahi rasa keingintahuannya. Kemuning mengangguk. “Iya. Aku tidak apa-apa. Hanya sedikit agak kurang mood saja hari ini. Maklum lagi diapet.” Ah, tidak mungkin Kemuning menceritakan masalahnya kepada orang lain. Biarlah masalah ini dia pendam sendiri atau hanya Allah sajalah tempat berbagi. ~ ~ ~ Kedua kornea Kemuning menatap lekat sebuah mobil minibus yang terparkir di halaman rumahnya. Itu bukan mobil dari salah satu kakak-kakaknya. Seingatnya, itu adalah mobil yang baru pertama kali menyambangi rumahnya. Dari kejauhan, Kemuning melirik ruang tamu dan mendapati ayahnya sedang bercengkrama dengan dua orang tamu. Yang satu sepertinya masih muda dan satunya sepertinya telah berumur. Tiba-tiba saja hatinya mendadak gundah. Dia bertanya-tanya pada dirinya sendiri siapa gerangan dua orang tamu itu. Seperti biasa, jika ada tamu, Kemuning akan masuk lewat pintu belakang. Dari ambangnya, Dia melihat umak sedang menyediakan makan siang ke atas meja makan dengan cekatan. "Siapa tamu ubak itu, mak?" Mardalena tersentak. Dia terkejut dengan kedatangan Kemuning yang tiba-tiba. "Astaghfirullah, Muning! Apa kamu sudah lupa dengan salam kalau masuk rumah?" Ucap Mardalena sembari mengelus d**a. "Maaf mak, Muning lupa." Balas Kemuning seraya duduk di kursi makan. Dia lalu menuang air bening dari cerek plastik ke dalam sebuah gelas, kemudian mereguk hingga setengahnya. Rasa dahaga yang menderanya sejak di jalan tadi hilang seketika. "Tamu itu mantan murid ubakmu ketika SD dan sekarang menjabat sebagai kepala departemen agama. Sedang yang satunya adalah putra sulungnya." Deg. Entahlah, hati Kemuning mendadak kembali gundah. Tiba-tiba saja dia mendadak takut. Takut kalau putra sulung mantan murid ayahnya itu akan dijodohkan dengannya. "Muning...." Kemuning terhenyak. "Ya, mak..." "Kenapa kamu melamun saja? Makanlah! Lihatlah apa yang umak masak untuk kamu dan ubak hari ini." Kemuning melirik menu makan siang yang sudah terhidang di atas meja. Ada pindang ikan patin, sambal tempoyak, goreng tempe, dan setoples kerupuk ikan asli Palembang. Ini adalah menu kesukaannya. Tapi entah mengapa rasa lapar dan selera makannya mendadak hilang. Fikirannya terus tertuju pada tamu yang ada di ruang tamu. Bagaimana jika tebakannya benar kalau pria muda putra sulung mantan murid ayahnya adalah pria yang dipilih ayahnya untuk menjadi calon suaminya? Ah, tidakkah harusnya ayahnya bersabar sedikit dan jangan terburu-buru begitu? "Muning!" Kemuning terhenyak untuk kedua kalinya. Dia kemudian menoleh cepat ke sumber suara. Dia mendapati ayahnya sudah berdiri di ambang pintu yang membatasi ruang tengah dan dapur. "Ya, ya, bak." Jawabnya terbata. Hatinya semakin merasa tidak enak. "Sini! Ada yang mau ubak kenalkan denganmu." Deg, Allah, benarkah praduganya? “Ayo, apalagi yang kamu tunggu? Ayo!” Desak ayahnya. “I-iya, bak.” Jawab Kemuning kemudian. Dia tidak mungkin menolak ajakan ubak sementara tamunya sedang menunggu di ruang tamu. Sungguh tidak sopan. Sebimbang-bimbangnya perasaannya saat ini, dia masih memiliki adab. Dia tidak mau mempermalukan orang tua. Bersambung….

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Dear Doctor, I LOVE YOU!

read
1.1M
bc

Nur Cahaya Cinta

read
358.7K
bc

Rujuk

read
909.0K
bc

Noda Masa Lalu

read
183.7K
bc

PEMBANTU RASA BOS

read
15.7K
bc

TERSESAT RINDU

read
333.2K
bc

Long Road

read
118.3K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook