Kemuning 2

1378 Words
Dengan langkah berat, Kemuning mengikuti ayahnya menuju ruang tamu. Dua orang yang sejak tadi sudah menunggu di sana, melihat kedatangan mereka. Terutama, pria muda yang berwajah tampan yang duduk di samping pria paruh baya yang merupakan ayahnya. Pria itu tampak ingin menyapa Kemuning, tapi diurungkannya karena gadis itu tidak mengarah pandang kepadanya. “Duduklah disini.” Zainudin menunjuk kursi yang ada tepat di depan pria muda itu. Kemuning agak tercengang ayahnya menunjuk kursi itu mengingat kursi tersebut berada tepat di depan tamu pria yang muda. Tapi mau bagaimana lagi. Dia tidak mungkin menolak perintah ayahnya di depan orang lain. “I-iya, bak.” Dengan terpaksa Kemuning duduk di sana. Dia sempat melirik pria yang ada di depannya. Cukup tampan. Tapi Kemuning tidak habis fikir kenapa pria itu tanpa rasa malunya menatapnya lekat secara terang-terangan dengan bibir yang tersenyum lebar. Kemuning menduga, sepertinya dia tipe pria yang agak agresif. Pembicaraan pun kemudian terjadi, tapi lebih didominasi oleh kedua mereka. Zainudin memperkenalkan dan menceritakan banyak tentang Kemuning pada kedua tamunya, begitu pun dengan tamunya yang memperkenalkan dan menceritakan banyak tentang putranya itu. Ternyata, pria muda yang duduk di depan Kemuning bernama Rindang. Rindang seorang dokter PNS di sebuah rumah sakit umum daerah. Usianya lebih tua tiga tahun dari Kemuning atau berusia 27 tahun. Sementara itu, ketika kedua ayah mereka sedang asyik bercerita, Kemuning memilih untuk menundukkan wajanya. Keadaan ini sangat tidak disukainya. Begitu kaku dan tidak nyaman. Tapi berbeda halnya dengan Kemuning, Rindang merasa menikmati saat-saat ini. Rasanya sangat tidak rugi mengantar ayahnya bersilahturahmi ke rumah mantan guru SDnya ini. Ternyata, ada gadis cantik di sini. Gadis cantik bernama Kemuning. Dan, Rindang mengakui bahwa dia jatuh cinta pada Kemuning pada pandangan pertama. Rindang berharap dia diberi waktu untuk berbicara berdua dengan Kemuning. Dia ingin tahu banyak tentang gadis itu selain profesinya sebagai guru. Mungkin hobi, makanan kesukaan, visi misi, dan lainnya. Tuhan mendengar doa Rindang. Karena beberapa detik kemudian Zainudin meminta Kemuning untuk mengajaknya ke halaman samping. Yaitu duduk bawah naungan rimbunnya pohon jambu air, karena di sana ada sebuah bangku panjang yang terbuat dari bambu. Kemuning ingin protes bahwa hari ini dia tidak ada ‘mood’ untuk mengobrol dengan siapa pun. Apalagi dengan seorang pria yang baru dikenalnya. Ini seperti sebuah jebakan saja. Tapi lagi-lagi karena memikirkan adab, Kemuning hanya bisa mengangguk tak berdaya, mengiyakan perintah ayahnya dengan hati yang dongkol menahan kesal. ~ ~ ~ "Bagaimana kesan pertamamu ketika melihatku?" Tanya Rindang dengan nada penuh percaya diri yang tinggi. Kini mereka berdua telah duduk di bangku bambu di bawah pohon jambu air seperti perintah Zainudin. Pertanyaan itu tentu saja membuat Kemuning terhenyak. ‘Pertanyaan macam apa ini? Bukankah seharusnya dia membuka percakapan perdana ini dengan berbasa-basi dulu? Bukan langsung menanyakan hal seperti ini? Apa yang ada dalam otaknya? Atau karena dia seorang dokter sehingga tidak suka berbasa-basi dan langsung mengungkapkan apa yang ada dalam benaknya? Oh My God.’ Gumam Kemuning dalam hati. Untuk perempuan yang jarang berbicara dengan pria seperti Kemuning, tentu pertanyaan semacam ini adalah sebuah tekanan yang besar. Dulu pun, satu-satunya pria yang leluasa berbicara dengannya hanyalah sahabatnya yang sekarang sedang dinantinya itu. Selain dengan pria itu, dia tidak pernah dekat dengan pria manapun. Jika ada pria yang ingin berbicara dengannya, dia memilih untuk menghindar. Alhasil, Kemuning hanya mampu terdiam dengan memainkan jemari tangannya yang lentik. Rindang tersenyum geli. Dia tahu kalau saat ini Kemuning sedang grogi. Maklumlah, ini pertemuan pertama mereka. Kebanyakan perempuan memang seperti itu. Malu-malu. Mungkin lebih baik obrolan ini tidak dimulai dengan sebuah pertanyaan. “Baiklah. Kalau begitu aku saja yang lebih dulu memberikan penilaian pada kamu ya.” Ucap Rindang kemudian. "Kalau kesan pertamaku melihatmu adalah... kamu cantik, menarik, tapi sayang..." Mendengar ucapan yang digantung, Kemuning tergelitik untuk bertanya, "Sayang kenapa?" Rindang tersenyum. "Tapi sayang kamu sangat irit." Kening Kemuning mengerut karena Bang Rindang kembali menggantung ucapannya. "Irit apa sih?" Rindang kembali tersenyum karena pancingannya ternyata berhasil. "Irit bicara, Muning cantik.” Bless. Seketika wajah Kemuning langsung menyemu merah. Jawaban Rindang barusan membuatnya merasa malu sekaligus salah tingkah dengan kata ‘cantik’ di akhir kata. Kemuning sampai harus membuang muka untuk menutupi rona merah di wajahnya. Dia tidak mau Rindang sampai melihatnya. Karena kalau itu terjadi, sudah bisa dipastikan pria itu akan berkomentar. Namun sayang, Rindang sudah terlanjut melihatnya. Dia pun tertawa kecil. Tapi cukup membuat Kemuning melirik sinis. “Memangnya ada yang lucu sampai harus tertawa?” Rindang mengangguk. “Iya.” “Apa bang Rindang anggap aku lucu?” “Tentu saja bukan kamu yang lucu.” “Terus apa?” “Keadaan, Muning. Keadaan yang lucu. Lagian, ayolah kamu jangan kaku begitu. Santai saja. Kamu itu seperti seorang gadis yang akan dinikahkan dengan pria beristri empat tau tidak?” “Kenapa Bang Rindang berpikir begitu?” “Karena wajah kamu seperti orang yang ketakutan. Tenang saja. Di tempat terbuka seperti ini aku tidak akan apa-apakan kamu kok.” “Bang Rindang salah. Aku tidak sedang seperti apa yang abang katakana.” “Terus?” “Jujur, aku sedang tidak mood berbicara dengan abang.” Mendengar itu, seri di wajah Rindang memudar. Kini wajahnya berubah serius. Rindang menarik nafas panjang. “Sebenarnya aku tau itu. Aku tau kamu itu sedang tidak mood.” Kemuning menyipitkan matanya. “Benarkah?” “Ya. Karena itu aku bercanda. Aku berharap candaan kamu itu bisa merubah mood kamu jadi lebih baik. Kamu…tidak suka ya bicara denganku? Atau…kamu sedang menyimpan sebuah beban?” Kemuning menundukkan wajahnya, lalu memilih diam. Tidak mungkin bukan dia cerita kepada pria yang baru dikenalnya tentang tekanan yang ayahnya buat yang menuntutnya menikah secepatnya? Bahkan bisa jadi pria pilihan ayahnya itu adalah Rindang sendiri. Rindang mendengus pelan. “Ya, tidak apa jika kamu memang tidak mau menjawab. Karena sebenarnya aku terlalu lancing mempertanyakan hal ini. Tapi apa pun itu yang sedang menjadi beban kamu, semoga bukan aku.” Aku menelan salivaku. Kenapa sekarang jadi aku yang merasa bersalah? “Dan ada satu hal lagi.” Rindang menambahkan. Kemuning menoleh pada Rindang kembali. Tapi tanpa kata. Meski begitu, tolehan kepalanya itu mengatakan kalau dirinya ingin mendengar apa yang akan dikatakan Rindang selanjutnya. Rindang menatap Kemuning lekat. “Sepertinya…aku menyukai kamu pada pandangan pertama.” Deg. Kemuning terkesiap. Apa-apaan ini? Baru pertama kali bertemu dan langsung bilang suka? Ini gila. “Bagaimana dengan kamu?” tambah Rindang langsung. Dia memang pria yang to the point. Dia tidak suka sesuatu yang lamban. Tapi setiap apa yang diucapkannya, akan dia pertanggung jawabkan. Itulah Rindang yang dinilai aneh oleh Kemuning. Mendengar pertanyaan itu, Kemuning langsung turun dari bangku bambu yang didudukinya. “Sepertinya kita sudah terlalu lama bicara berdua di sini. Mungkin ayahmu sudah pegal menunggu kita. Lebih baik, kita kembali ke dalam rumah.” Adam menipiskan bibir kecewa. “Oh, baiklah.” ~ ~ ~ “Bagaimana Rin? Apa kamu menyukai Kemuning?” Tanya Hadi pada putranya ketika mereka sedang dalam perjalanan pulang. Rindang yang menyetir mobil. “Jadi ayah sengaja mengajakku bertemu dengan Pak Zainudin itu dengan tujuan untuk memperkenalkan aku dengan Kemuning?” Tanya Rindang balik pada ayahnya tanpa mengalihkan pandangan dari jalanan di depannya. “Bukan untuk memperkenalkan. Tapi kami berniat untuk menjodohkan kalian.” Rindang terhenyak. Dia menoleh sekilas pada Hadi sebelum kemudian fokus dengan jalanan kembali. “Serius, yah?” “Serius dong. Kamu pikir ayah sedang bercanda? Kita itu ‘kan mempunyai sifat yang sama. Sama-sama to the point dan serius dengan yang diucapkan.” Hadi menoleh pada Rindang dengan tatapan menyipit. “Memangnya kenapa kalau kalian dijodohkan? Kamu keberatan?” “Siapa yang keberatan. Aku justru senang ayah. Aku suka dengan Kemuning pada pandangan pertama.” Hadi menyeringai. “Baguslah kalau begitu.” “Tapi masalahnya adalah Kemuning, yah.” “Kenapa dengan Kemuning?” “Mau tidak dia dengan aku?” “Ya, jelas mau. Kamu itu tampan, dokter, dan sudah mapan. Hanya wanita bodoh yang tidak mau dengan kamu. Bukankah selama ini banyak wanita yang mengantri untukmu?” “I-iya sih. Tapi ‘kan yang mengantri itu bukan Kemuning. Tapi semoga saja dia juga mau denganku.” Hadi mengusap punggung Rindang. “Percayalah, dia pasti mau sama kamu. Kalau sekarang ini dia terlihat tidak merespon, wajar saja. Kalian baru bertemu. Dia pasti masih malu. Begitulah wanita.” Wajah Rindang lansung terlihat sumringah. “Iya juga ya.” Bersambung…
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD