Kemuning 3

1240 Words
Malam kian beranjak larut. Tapi Kemuning masih belum tertidur. Malam ini dia merasa gelisah. Bukan karena tamu tadi siang yang bernama Rindang, namun karena memikirkan pria di masa lalunya dan desakan ayahnya yang menginginkannya cepat-cepat menikah. Bisa jadi Rindang adalah pria pilihan ayahnya meskipun sang ayah belum mengatakannya secara gamblang. Tapi sekali lagi, dia bukan gelisah karena Rindang. Jika saja dia tahu keberadaan pria di masa lalunya itu, pria itu masih mengingat janji di antara mereka, maka dengan berani dia berkata kepada ayahnya agar tidak perlu berlelah-lelah mencarikannya calon suami karena sebenarnya dia sudah mempunyai pria pilihan sendiri. Sayangnya dia tidak tahu, itulah yang menjadi masalahnya. Dan dia tidak bisa mengingkari sebuah janji begitu saja hanya karena tidak tahu dimana keberadaannya sekarang. Lagian dia dan pria itu bukan hanya terikat janji, tapi juga terikat hati. ~ ~ ~ “Menurutmu, Rindang itu bagaimana?” Kemuning yang hendak menyuapkan nasi goreng ke mulutnya, langsung terdiam. Ini adalah hal yang ditakutinya. Ayahnya menanyakan tentang pandangannya terhadap Rindang. “Eee, ya begitulah.” Kening Zainudin mengerut dan kemudian menatap Kemuning tajam. “Begitulah bagaimana, Muning? Ubak itu butuh jawaban yang jelas. Bukan jawaban yang seperti itu.” Kemuning menelan salivanya. Selera makannya mendadak hilang. Bahkan dia sudah lupa Rindang itu orangnya seperti apa. Yang dia ingat adalah wajahnya yang tampan. “Dia tampan,” jawab Arina kemudian. “Selain itu?” “Dia seorang dokter bukan?” Zainudin menghela nafas prihatin. Kemuning terkesan tidak sedang menyimak pertanyaannya. “Bukan itu yang ubak maksud. Ubak bertanya tanggapan kamu ketika kalian berbicara berdua. Ya…mungkin kamu merasa nyaman dengannya. Orangnya baik. Atau apalah.” Kemuning membisu. Dengan terpaksa, dia mencoba mengingat-ingat momen saat dia dan Rindang sedang mengobrol. “Dia… orangnya humoris. Sepertinya seperti itu.” “Lalu apakah kamu mau menikah dengannya?” Deg. Meski sudah menduga sebelumnya bahwa ayahnya berniat menjodohkannya kepada Rindang, tapi tetap hatinya bersentak mendengar itu. Sekarang apa yang harus dia jawab. “Aku belum berpikir sampai ke sana, bak.” “Kamu meragukannya, Muning?” “Ya…adalah rasa seperti itu.” "Apa yang membuatmu meragukannya, Muning? Dia berbudi baik, berwajah rupawan, dokter PNS, dan ubaknya orang terpandang pula. Rasanya, pasangan yang serasilah dengan kau yang seorang guru, Muning." Kemuning kembali terdiam. Tapi kali ini untuk mengumpulkan keberanian menyampaikan keberatannya. Kemuning sudah merasa kesal dengan pertanyaan-pertanyaan ini. Meskipun kedua orangtuanya memang sudah berusia senja dan khawatir akan meninggalkan dunia saat dirinya masih sendiri, apa caranya harus seperti ini? Maksudnya dengan perjodohan. "Apa seorang Dokter PNS dan putra kepala DEPAG begitu penting buat ubak?" Tanya Kemuning akhirnya. Ubak menyipitkan matanya pada Kemuning. "Muning, ubak tak buta dengan jabatan. Ubak hanya ingin mencarikan calon yang baik untukmu." "Tapi Bang Rindang belum tentu baik untukku, bak. Lagipula Muning tak mencintainya." "Pernikahan tak harus diawali dengan cinta, Muning. Lihat kakak-kakakmu, berbahagia dengan istri-istri pilihan ubak. Lagipula ubak sudah menyuruhmu mencari sendiri, hanya kau tak dapat-dapat. Pantas jika ubak mengkhawatirkanmu dan mencarikan bujang untukmu. Sekarang sudah ada seorang yang terpandang untuk sipersunting putranya, tapi kau tak mau. Ubak jadi tidak mengerti apa maumu, Muning." "Muning ingin ubak tidak begitu memaksa seperti ini? Meskipun apa yang ubak katakan itu benar, tapi Muning juga harus diberi hak waktu untuk menimang-nimang kemauan ubak ini.” Ubak terdiam dalam sorot mata kesal. Sebenarnya Zainudin ingin marah pada Kemuning yang tidak juga mengerti maksudnya. "Ayolah, bak. Ini bukan masalah sepele. Ini masalah hidup Muning..." iba Kemuning. Dia sangat memahami ubak adalah sosok yang keras kepada anak-anaknya. Zainudin masih terdiam untuk beberapa saat. Dia merenungkan dengan matang permintaan Kemuning dan meredam egonya. Dia sedang tidak mau terlibat dengan perdebatan dengan putrinya tersebut. Ini masih terlalu pagi untuk rebut. "Baiklah, jika itu maumu.” Akhirnya Zainudin benar-benar mengalah. “Ubak akan memberimu waktu tiga hari untuk menimang-nimang. Bilapun kau menolak bujang pilihan ubak, berilah ubak alasan yang bisa ubak terima dan bukan alasan yang mengada-ada." ‘Apa? Tiga hari?’ Teriak Kemuning dalam hati. ~ ~ ~ Tetes-tetes bening berjatuhan membasahi tanah lembab tempat Kemuning duduk saat ini. Pembicaraan dengan Zainudin tadi pagi telah memenjarakannya dalam lamunan yang panjang. Sebenarnya Kemuning sadar, ayahnya tersebut telah berbaik hati memberinya kelonggaran dalam mengambil keputusan. Namun, jika alasannya menolak bujang pilihan ayahnya karena sebuah janji, apakah ayahnya akan mengerti dan menerima? Sedangkan sampai saat ini Kemuning tidak tahu dimana rimbanya dia. Mata Kemuning menyisir hamparan alam Watervang yang tersaput senja. Di tempat inilah, dia dan pria di masa lalunya banyak melukis kenangan indah. Dulu, di atas jembatan jantung yang melintasi sungai Watervang itu, mereka sering berlari-larian atau bermain kejar-kejaran. Atau di atas bebatuan yang ada di pinggiran sungai itu mereka sering duduk-duduk sembari bercerita tentang hidup dan cita-cita. Lalu di bawah naungan pohon Mahoni itu, Kemuning sering membantu pria itu dan ibunya berjualan makanan. Karena jika hari libur, tempat wisata ini banyak dikunjungi orang. Tapi ketika duduk di kelas XII SMA, ibu pria itu meninggal. Selepas SMA, pria itu memutuskan untuk merantau dengan berbekal tanah dan rumah mungil peninggalan ayahnya yang dia jual. Dan sebelum pria itu pergi, mereka bertemu di sini. Di tempat Kemuning duduk saat ini dan berikrar janji. Tapi sampai sejak pergi, pria itu tidak pernah kembali. Kabar tentangnya pun tidak ada sampai ke telinga Kemuning. Atau jangan-jangan pria memang tidak pernah mau berkabar lagi dengannya. Kemuning sangat menyayangkan hal itu. Namun biarpun begitu, hati kecil Kemuning mengatakan kalau pria itu akan kembali membawa janjinya dulu. ~ ~ ~ "Bagaimana, Muning?" Ini adalah sidang pertama Kemuning setelah waktu tiga hari yang Zainudin beri itu berlalu. Di ruang ini, di ruang tengah, Kemuning harus mengatakan keputusannya. Menerima atau menolak. Jika ingin menolak, ayahnya meminta alasan yang bisa diterima. Dan, jika Kemuning menerima sudah pasti senang hati ayahnya "Mengapa kau diam, Muning?" Tanya Zainudin lagi. Kemuning tertunduk, tak berani menatap wajah Zainudin. "Hm, maaf bak sebelumnya. Muning, Muning menolak bujang pilihan ubak." Ubak terhenyak. Wajah tuanya menatapku tajam. "Maksudmu kamu menolak Rindang? Pria sesempurna itu? Alasannya?" "Hm, ubak sudah pasti kenal dengan Hamid, sahabat Muning waktu kanak-kanak." “Iya, ubak kenal.” Tapi langsung menghempaskan nafas. Dia sudah membaca sesuatu. "Oh, jadi dia yang membuatmu tak jua menikah? Apa gerangan yang sudah dia perbuat hingga kau terus menunggunya?" Kemuning kian tertunduk. "Kami..., kami sudah sudah terikat janji, bak." Zainudin menyipitkan matanya yang kelopak matanya sudah bergelayut. “Janji? Janji macam apa, Muning? Kamu berjanji dengan orang yang tidak kita ketahui ada dimana? Deg. Aku tertohok. Jawaban Zainudin cukup masuk akal. Memegang teguh janji dengan orang yang tidak tahu ada dimana adalah sebuah kebodohan. Tapi Kemuning tetap yakin kalau Hamid akan kembali ke kota kecil ini. "Dengar kata-kata, bak." Zainudin menambahkan, kini wajahnya yang tua tampak sangat serius. "Jangan kamu tertipu dengan sesuatu yang semu. Hamid itu tak diketahui rimbanya, tak diketahui pula diketahui kabarnya. Bagaimana jika dia tidak kembali? Atau bagaimana jika dia sudah menikah dengan gadis lain di perantauan? Apa kau mau jadi perawan tua lantaran janji tu?" Kemuning kian tersudutkan. Kali ini aku kehilangan kata-kata untuk mempertahankan keputusannya di depan Zainudin. "Begini saja, karena ubak tak enak menelantarkan mantan murid ubak untuk menunggu lama, ubak akan memberikan waktu satu mingu untuk berfikir lagi atau setidaknya menemukan Hamid. Tapi besar harapan ubak dan umakmu, kau menerima laki-laki pilihan ubak. Ubak akan sangat kecewa jika kau menolaknya hanya karena bujang yang tak jelas dimana rimbanya itu. Ingat, ridho Allah adalah ridho orangtua juga. Dan satu hal lagi, teruslah beristikharah agar kau diberi keputusan yang terbaik untukmu." Kemuning mengangguk lesu. Bersambung…
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD