9. My Own Way

1305 Words
"Kamu harus keliatan cinta banget sama aku, El," ucap Sascha sambil berdandan di depan kaca. "Kenapa harus?" "Ya kan kamu mau minta izin buat nikahin aku." Elio yang semula duduk di sofa, kini berjalan mendekat ke meja rias. Sambil menunggu Sascha selesai menata rambut, Elio sedikit menyandarkan kaki pada tepian meja. Matanya awas memandang ke arah Sascha, sementara tangannya terlipat rapi di depan dadaa. Sebenarnya, Elio tidak suka berdebat. Jika tidak setuju dengan suatu hal, dia lebih banyak diam dan tetap menjalankan semua sesuai keinginannya. Namun, entah mengapa, dengan Sascha dia selalu ingin melawan. Ada hal yang membuat Elio suka saat membantah setiap kata yang keluar dari mulut Sascha. Sepertinya halnya sekarang. Elio sudah tahu betul kalau Sascha pasti tidak akan suka dengan jawabannya ini. Namun, Elio tetap akan mengatakannya. Dalam hati, Elio sudah membayangkan betapa lucu wajah Sascha ketika marah. "Aku nggak mau," ucap Elio dengan raut yang diatur sedemikian kaku. Sesuai dugaan, Sascha seketika menoleh. Matanya membulat sempurna dengan raut kesal yang langsung terpancing dengan mudahnya. Jujur saja, Elio setengah mati menahan untuk tidak tertawa. Dia juga memilih untuk tetap berwajah datar dan bersikap dingin seperti biasa. "Apa maumu, El? Kamu yang ngajak nikah, harusnya kamu juga konsekuen buat usaha. Jangan sampe keluarga aku curiga, apalagi pernikahan kita ini tiba-tiba. Kalo kamu ngeselin kayak gini, gimana mereka bisa percaya? Yang ada mereka ngira kita mau perang, bukannya mau nikah." Sejak awal, Elio selalu enggan mendengar kalimat protes Sascha yang terlalu panjang. Elio selalu memotong pembicaraan dan memilih mendebat dengan satu kalimat telak yang mematikan. Namun, kali ini Elio memilih diam. Well, ini adalah kalimat terpanjang dari Sascha yang Elio biarkan terlampiaskan. Meski ingin menjeda ucapan Sascha, Elio tetap memilih bersabar dan mendengar. Dia bahkan mempersilakan Sascha kembali mengutarakan kekesalannya. "Nanti ada Rich sama istrinya juga. Rich peka banget. Dia bakalan bisa langsung ngerti kalo ada sesuatu yang janggal. Jadi, mending kamu nurut sama aku kalo mau sandiwara kita berhasil." Elio tetap diam. "Lagian ini buat kebaikan kita berdua. Aku kan udah jelasin dari kemaren kalo keluarga aku tu susah. Kamu nggak usah bikin semua tambah susah. Ok?" lanjut Sascha. Elio menggeleng. Mulutnya tetap bungkam. Dan ... wajahnya tampak menyebalkan. "El!" "Apa? Nggak perlu teriak-teriak. Aku nggak tuli," sahut Elio. "Sekali aja nurutin aku apa susahnya? Kamu nggak boleh kayak gitu bentukannya. Kamu harus jadi cowok baik-baik." Elio mengernyitkan dahi. "Emang aku nggak baik?" "Enggak. Kamu harus banyak senyum, harus ramah, terus kamu harus keliatan manis. Pokoknya kamu harus keliatan cinta banget sama aku," terang Sascha lagi. "Dengan aku nikahin kamu aja udah bisa nunjukin ke orang-orang kalo aku cinta kamu," balas Elio. "Ya tapi kalo sikap kamu ke aku kayak gini, orang bakal tau kalo sebenernya cinta itu nggak pernah ada," ucap Sascha. "Sekarang gini deh, terserah kamu mau kayak gimana di luar sana. Yang jelas di depan keluarga aku, please be kind." "I'll be me. Aku punya caraku sendiri, Sha." Sascha mulai benar-benar marah. Pernikahan mereka adalah kesepakatan bersama. Namun, Elio terlalu sulit untuk diajak membuat kesepakatan berdua. Elio memang setuju bersandiwara untuk terlihat saling cinta, tapi dia tak pernah mau jika Sascha mengatur sikapnya. Elio selalu punya caranya sendiri. "Ya udah, terserah," ucap Sascha pada akhirnya. Lagi-lagi, Sascha harus dibuat heran dengan kemisteriusan diri Elio. Semalam tadi, mereka sudah berhasil memiliki keselarasan. Elio banyak bercerita tentang Emma dan beberapa wanita lainnya, sementara Sascha menyimak layaknya seorang sahabat. Elio menjadi seorang teman baik selama satu malam. Dia bertutur dengan lembut, bercerita hingga semalam suntuk, dan mereka sama-sama tertidur setelah lewat pukul dua. Ketika bangun, Sascha masih sempat tersenyum pada wajah polos Elio yang memilih terbaring di atas sofa. Namun, hanya karena satu permintaan kecil Sascha barusan, keduanya kini kembali berubah seperti musuh bebuyutan. "Kita emang punya kesepakatan. Tapi, bukan berarti kamu bisa ngatur aku, Sha. Aku tau gimana harus bersikap," tegas Elio. "Ya udah. Kalo gitu, aku juga nggak mau nurutin kamu pas nanti kita ketemu keluarga kamu," balas Sascha. Elio terkekeh. "Aku emang nggak ada niatan buat ngatur kamu juga. Terserah kamu mau gimana. Just be yourself." Sascha masih ingin melawan, tapi dia urungkan. Waktu mereka tidak banyak. Ini sudah jam sebelas siang, dan mereka harus sampai di rumah Nick sebelum tiba waktu makan. Tidak boleh terlambat. Alhasil, daripada terus mendebat lelaki satu itu, Sascha memilih untuk lebih baik keluar kamar terlebih dahulu. Sascha melangkah cepat menuruni tangga walau kakinya dibalut stiletto setinggi sepuluh senti. Bahkan, Sascha tampak seperti sedang setengah berlari. Elio mengekor dari belakang. Langkah kakinya yang panjang bisa dengan mudah mengejar Sascha. Elio tahu kalau wanita itu sedang marah, dan segudang pengalaman Elio dalam menghadapi wanita sudah cukup membuatnya paham bagaimana harus bertindak. Setelah berhasil mensejajarkan diri, Elio segera meraih pergelangan tangan Sascha. Ini menggelikan, tapi Elio harus bisa menahan Sascha agar memperlambat langkahnya. "Jangan jalan di depan aku," ucap Elio dengan nada memerintah. Sascha lantas berhenti. Tak ingin menjawab, dia segera melangkah mundur. Detik selanjutnya, tangan Sascha bergerak memberi isyarat untuk mempersilakan Elio agar berjalan terlebih dahulu. "Jangan di belakang aku juga," ucap Elio lagi. Sascha berdecak malas. Semua yang dia lakukan seolah selalu salah. Di hadapan Elio, Sascha harus sering mengalah. Melalui sebuah tepisan kasar, Sascha lantas mengenyahkan genggaman tangan Elio. Wanita itu juga menatap nyalang pertanda adanya sebuah kekesalan. Walau sudah hampir terlambat, tapi kali ini Sascha akan sedikit meluangkan waktu jika Elio mengajaknya berdebat. "Apa maumu?" tanya Sascha. Sempat Sascha mengira kalau Elio akan menanggapi kemarahannya. Atau bisa juga lelaki itu berlaku dingin seperti biasanya. Namun, seperti mendapat mukjizat dari Tuhan, Elio kini justru tersenyum. Manis. Terlalu manis. "Sini," ucap Elio lembut. Tangan kiri Elio lantas meraih pinggang Sascha lalu menuntunnya berjalan beriringan. Bersisian. Bersebelahan. "Marahnya disimpen dulu, buat nanti lagi," lirih Elio seraya terus berjalan tanpa melepaskan uluran tangan dari pinggang. Sascha ingin menepis kasar tangan itu. Menggelikan sekali jika harus berjalan dengan cara seperti ini. Sayangnya, tatapan para maid sudah mulai menguliti pergerakan mereka. Alhasil, Sascha memilih meraih lembut tangan Elio, lalu kemudian menggandengnya di bagian lengan. Ini jauh lebih baik dibandingkan berjalan dengan posisi setengah berpelukan. "Rich sama Kak Feyra udah disana," ucap Sascha begitu mobil mereka melaju. "Terus?" "Cuma mau ngasih tau," balas Sascha. "Oh, ok." Sascha menoleh cepat ke wajah Elio. Bukan respon seperti ini yang Sascha harapkan. Namun, Sascha memang tidak seharusnya berharap banyak. Elio akan selalu menjadi Elio yang sulit ditebak. Sikapnya, terlalu mudah berubah-ubah. Hingga mereka sampai di kediaman Schneider, Elio tetap tidak banyak bicara. Dia juga tetap pada pendiriannya untuk jarang tersenyum, tidak bersikap manis, dan enggan tampak ramah. Elio hanya menyapa ala kadarnya, dan berbicara seperlunya. "Elio De Luca." Hanya itu yang Elio ucapkan ketika berkenalan dengan Jenna dan Feyra. Sascha sempat takut jika saja keluarganya tidak suka dengan perangai Elio yang cenderung terlalu diam. Namun, setelah mereka duduk di meja makan, barulah Sascha sadar kalau diamnya kali ini sedikit berbeda. Elio menarik kursi milik Sascha untuk dia duduki. Tak cukup sampai disitu, Elio juga menggeser kursi miliknya untuk sedikit mendekat ke arah Sascha. Sambil terus menanggapi pembicaraan Nick, kedua tangan Elio tampak sibuk pada makanan di atas piring Sascha. Ada taburan parsley di atas pasta milik Sascha, dan Elio tahu kalau Sascha tidak suka. Juru masak keluarga mereka masih baru, dan Jenna lupa memberi tahu soal ketidak sukaan Sascha itu. Namun, alih-alih menyuruh mengganti dengan hidangan baru, semua orang justru terpaku dengan tindakan Elio. Lelaki itu dengan teliti memisahkan sedikit demi sedikit parsley itu hingga semuanya bersih. Setelah selesai, dia lantas kembali mendekatkan piring itu ke hadapan Sascha. "Udah, yuk dimakan. Keburu dingin," ucap Elio seraya mengacak lembut rambut Sascha lalu meninggalkan sebuah kecupan ringan disana. Sascha mengangguk dengan canggung. Elio memang menolak ketika Sascha memintanya berpura-pura menjadi manis. Namun, tidak pernah Sascha sangka kalau di balik sikap diam dan dingin yang Elio pertahankan, ternyata Elio bisa menunjukkan sisi yang berkali lipat lebih manis dari apa yang Sascha harapkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD