PHP

1124 Words
"Silahkan turun, tuan putri." Altha membukakan pintu mobil untuk Seza. Seza tersenyum manis, rasanya sangat indah diperlakukan seperti ini. "Makasih," ucap Seza. "Kembali kasih untuk yang terkasih," timpal Altha langsung. "Kita kenapa ke sini?" tanya Seza bingung. Matanya memandang luas, melihat keramaian yang saat ini sedang terpancar nyata di hadapannya. "Kenapa? lo gak suka kalau gue ajak main ke sini?" tanya Altha sigap. "Kalau gak suka kita bisa pindah tempat kok," lanjutnya. "Suka gue, cuma ini first gue ke sini tau," ungkap Seza jujur. Altha mengerutkan dahinya tak percaya. "Seriusan ini pertama kalinya lo ke sini?" tanya Altha tak menyangka. Seza mengangguk cepat. "Iya, ini pertama kalinya gue ke tempat beginian. Biasanya kalau mau main beginian gue selalu ke mall atau ke tempat lainnya kek Ancol gitu. Kalau ke pasar malam belum pernah sama sekali." Seza menjelaskan pada Altha. Altha terkekeh kecil. "Kampungan dong berarti," celetuknya. Seza langsung menatap tajam ke arah Altha. "Apa lo bilang? kampungan?" tanyanya tak suka. "Jangan sampe gue pulang sekarang juga ya," ancam Seza dengan wajah angkernya. "Ehh jangan-jangan. Jangan dong, jangan pulang, jangan ngambek. Gue minta maaf. Cuma bercanda doang, jangan dibawa ke hati kali." Altha meminta maaf pada Seza. "Dari pada marah-marah, mendingan kita langsung masuk aja ke dalam. Yuk," ajak Altha mengalihkan topik. Seza diam, dia masih kesal dengan Altha. "Ayo, kita masuk ke dalam." Altha menarik tangan Seza. "Ngapai lo pegang-pegang gue! lepas!" bentak Seza yang sedang bad mood. "Itung-itung latian kalau diterima jadi pacar lo," jawab Altha asal. "Uda ayo ahh, gak seru kalau ngambek-ngambek. Gak kenyang juga kalau ngambek. Padahal di dalam banyak stand makanan yang enak-enak loh. Kita harus coba tuh satu-satu. Uda ahh ayo," Altha kembali menarik Seza untuk masuk ke dalam area pasar malam. Saat ini mereka sedang berjalan bergandengan tangan. "Serasa pacaran ya. Padahal dekat tanpa status," sindir Altha pelan. Seza mengerutkan dahinya bingung. "Apa yang lo bilang? gue gak denger," tanya Seza penasaran. "Gue bilang, lo mau naik wahana apa?" tanya Altha bohong. "Ooh itu ... gue mau naik bianglala. Kayaknya seru tuh kalau berhenti di paling atas sana. Bianglalanya gede banget lagi, gila. Pengen naik itu gue." Seza memandang takjub ke arah bianglala yang besar dan tinggi di hadapannya itu. "Jangankan ke bianglala. Ke pelaminan pun gue jabanin." Altha langsung membawa Seza mendekati bianglala. Dan kebetulan sekali saat mereka mendekat, saat itu pula bianglala berhenti untuk mengangkut penumpang baru. Seza dan Altha pun langsung naik. "Ayo langsung naik." Altha membantu Seza untuk masuk ke dalam bianglala. Sedikit susah dan ribet. "Huftt ... untung lo make baju gini. Kalau lo make dress, kebayangkan gimana ribetnya." Altha menghela nafas saat baru mendudukkan dirinya di dalam bianglala. Seza tertawa geli. "Emang gue suka make baju yang begini-begini. Enak aja gitu, simpel dan gak ribet." "Iya, tambah cute, tambah imut, tambah cantik, tambah cinta," puji Altha dengan kedipan mata di akhir ucapannya. "Iiihh ... bisa gak sih, lo jangan baperin gue tiap waktu? emang dasar buaya sihh," kesal Seza. Pasalnya Seza selalu deg-degan saat dibaperin Altha. "Gue siap tanggung jawan kalau lo baper. Emang tujuan gue baperan lo buat itukan?" Altha malah bertanya balik. "Ahh sudahlah, payah bicara sama playboy cap gayung. Semua-semua diciduk." Seza melipat kedua tangannya di d**a. Dia mencoba rileks dan mengalihkan pandangannya dari Altha.. "Rame banget ya di sini," ujar Seza mengamati para pengunjung pasar malam yang benar-benar banyak. "Iya lah, kalau sunyi ya kuburan," sambung Altha kemudian. Seza mendengus kesal. Altha memang benar-benar hanya bisa merusak momen saja taunya. Mesin bianglala mulai dihidupkan. Perlahan tapi pasti bianglala mulai naik ke atas. "Eh-eh ... jalan, ini dia jalan, naik ke atas." seza sedikit shock. Dia berpegangan kuat-kuat pada besi bianglala itu. Altha yang sedang ada di depannya langsung terkekeh kecil. "Biasa aja dong, gak bakalan jatuh juga." "Ya tapi ini goyang-goyang tau," gerutu Seza ketakutan. "Ya emang goyang, namanya gerak. Kalau diem aja yaudah duduk di bangku biasa aja. Gak usah naik bianglala," balas Altha. Seza sangat kesal dengan Altha. Benar-benar, aneh. Biasanya di drama romantis, jika wanitanya ketakutan, maka lelakinya akan sigap menolong. Tapi Altha? boro-boro menolong, dia malah membuat Seza kesal dengan jawaban-jawaban kampretnya. Seza mencoba menetralkan rasa takutnya. "Liat ke bawah, banyak lampu dan orang-orang yang sedang tertawa. Lihat ke sana, pemandangan indah di tengah kota." Altha memegang tangan Seza, mengelusnya perlahan dan lembut. Untuk menetralisir rasa takut Seza. Seza mengikuti apa yang Altha ucapkan. Dia melihat ke bawah, dia juga melihat ke arah kota. Dan benar saja, semuanya indah bercahaya. Mata Seza berbinar bahagia. "Wahhh ... cantik banget kalau dari atas. Banyak lampu-lampu." Altha tersenyum singkat. Hatinya ikut bahagia saat melihat Seza bahagia. "Tapi ada yang lebih cantik lagi," timpal Altha. Altha memandang wajah Seza tanpa kedip, dia terpesona akan kecantikannya. Seza menaikkan sebelah alisnya. "Mana?" tanya Seza penasaran. "Tepat di depan kata gue," jawab Altha tanpa berkedip. Matanya masih fokus memandang wajah cantik Seza malam ini. Seza kurang ngeh, dia masih celingukan mencari-cari apa yang dimaksud oleh Altha. "Semua itu kalah dengan kecantikan wanita yang ada di hadapan gue saat ini." Ucap Altha serius. Seza langsung diam mematung. Dadanya mulai deg-degan tak karuan. Suhu tubuhnya jadi panas dingin, campur aduk jadi satu. "Lo tau? ... satu-satunya cewek yang buat gue jatuh cinta itu ya cuma elo," ungkap Altha jujur, tanpa mengalihkan pandangan. "Sekian banyak cewek yang ngaku suka sama gue, semuanya gue tolak karena gue ngerasa biasa aja. Tapi sama lo? gue selalu merasa bahagia sekaligus deg-degan kalau dekat lo," lanjutnya. "Jadi lo tau kan apa maksud gue?" tanya Altha pada Seza yang masih diam mematung. "Gue beneran cinta sama lo, sejak pandangan pertama." Seza menelan ludah. Jantungnya sudah berdegup kencang. Perutnya mual, seakan-akan banyak kupu-kupu yang terbang di dalamnya. "Apa ini artinya Fandra nembak gue?" tanya Seza dalam hati. "Sumpah, gue benar-benar kayak patung banget. Gak bakalan gue sia-siakan nih momen, lagi pula gue uda mulai ada rasa sama Fandra. Gue bakalan nerima dia kali ini, gue gak mau kehilangan kesempatan lagi," ujar Seza dalam hati. "Ahhh udah ah, lupain aja. Gue gak mau maksa kalau lo belum ada rasa sama gue. Lupain aja, gue gak mau ngerusak momen." Altha mengubah posisi duduknya. Seza langsung terpelongo. "Whatt? dia gak jadi nembak gue?" tanya Seza dalam hati. "Kampret banget sih!!! uda kepedean gue, uda ancang-ancang juga, ehh malah gak jadi ditembak. Njirr ...," Seza mengumpat dalam hati. "Ehh liat tuh, ada kembang api. Kayaknya ada yang lagi buat acara deh." Altha menunjuk langit arah kota. Seza memutar bola matanya malas. "Ck, liat aja sendiri. Ngapain harus ngajak-ngajak," balasnya pelan. "Apa? lo ngomong apa? gue gak denger?" Altha memang tidak mendengar apa yang tadi Seza ucapkan. "Enggak, itu kembang apinya cantik banget," jawab Seza berbohong. Seza menghela nafasnya kasar. Moodnya menurun karena tak jadi ditembak Altha. "PHP lo," ucap Seza kesal dalam hati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD