Menagih Janji

1013 Words
Svarga berhasil membujuk Alena untuk ikut ke apartemen, Svarga membuat Alena mengikuti keinginan Svarga. Jujur saja, Svarga ingin memiliki waktu yang lebih lama bersama Alena. Svarga menghentikan langkahnya, raut wajah Svarga berubah seketika. Kehadiran Nawasena di apartement Svarga membuat Svarga tersenyum kikuk, "Ne-nenek, ada apa ke apartement aku?" "Kamu tidak senang dengan kedatangan nenek?" tanya Nawasena yang kini menatap cucunya penuh selidik, "Bukan tidak senang, hanya saja Svarga sedikit kaget," jawab Svarga yang berusaha menahan Alena untuk masuk ke dalam unit apartmentnya. Svarga memutuskan untuk mengundang Alena datang ke apartementnya, sayangnya kehadiran Nawasena tidak ada di dalam rencannya. "Kenapa kamu tidak masuk ke dalam?" tanya Alena yang fokus pada ponselnya, membuat Alena tidak menyadari isyrat yang diberikan Svarga. Alena membeku beberapa saat, ketika dia melihat sosok yang pernah lihat di dalam sebuah pigura besar yang berada di ruang pertemuan, benar, sosok wanita tua yang memiliki kecantikan yang tidak pernah pudar itu, Nawasena Mahasura. "Siapa, wanita itu Svarga?" tanya Nawasena sembari berdiri dari tempat duduknya, Alena menelan ludah. Gugup, panik dan takut. Itu yang dirasakan Alena saat ini. Svarga yang menyadari perubahan sikap Alena segera menggandeng tangan Alena dan membawa Alena ke hadapan sang nenek, "Seharusnya, nenek tidak bertemu dengan Alena sekarang. Nenek mencuri start untuk bertemu dengan Alena," jawab Svarga yang membuat raut wajah Nawasena berubah seketika. Nawasena merebut tangan Alena yang digenggam oleh Svarga. Nawasena menatap Alena dengan binar bahagia. Bagi Nawasena, Alena angin segar untuk keluarga Mahasura. "Benarkah? Kamu kekasih Svarga? Dia tidak mengancam kamu, anak cantik?" tanya Nawasena yang memperhatikan Alena tanpa berkedip, "Be-benar, saya kekasih Svarga," "Kenapa kamu gugup, anak cantik?" tanya Nawasena yang menggiring calon cucu menantunya untuk duduk bersama, Svarga mengekori dua wanita yang memiliki generasi berbeda. Svarga tidak memiliki alasan lain, dia tidak ingin Alena mengacaukan segalanya. "Saya takut anda tidak menyukai kehadiran saya di sini," "Kenapa kamu bisa berkata seperti itu?" "Karena saya bukan dari kalangan berada seperti Svarga, saya hanya seorang anak yatim piatu. Saya tidak ingin, hubungan saya membebani Svarga." jawab Alena membuat Svarga menatap Alena penuh tanya. Ntah mengapa Svarga merasa jawaban Alena merupakan isi hati Alena. Nawasena tertawa, dia tidak pernah berpikir akan ada seseorang yang yang seberani ini. Nawasena tidak ingin membuat Alena terus hidup dalam prasangka. Nawasena menggenggam tangan Alena dengan etat, "Anak cantik," panggil Alena,"aku tidak akan melakukan hal itu, aku hanya ingin kamu mencintai Svarga dengan segenap hati kamu, jaga Svarga sebaik mungkin. Latar belakang keluarg yang kamu miliki tidak akan menjadi penghalang bagi kalian berdua, aku berjanji semua akan baik-baik saja. tiak akan ada yang berani mengusik hubungan kalian berdua, karena aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi, sungguh." Tanpa terasa, air mata Alena jatuh begitu saja. Alena merasa dirinya dihargai sebagai manusia oleh seseorang yang memiliki kekayaan. Jika saja, keluarga Brian tidak memperlakukannya seperti itu, mungkin semua akan baik-baik saja. Sayangnya, itu hanya sebuah angan yang tidak akan menjadi kenyataan. Nawasena panik, dia menyeka air mata Alena. Svarga yang melihat itu menghampiri sang nenek, "Lihat Nek, baru bebrapa jam bertemu, nenek sudah membuat kekasihku menangis. Bagaimana jika dia bersamaku, nantinya. Nenek membuat aku akan kehilangan kekasihku," rajuk Svarga yang membuat Alena mengerutkan dahi, "Jangan bicara sembarangan!" protes Alena, "aku menangis karena aku terharu dengan apa yang dikatakan oleh nenek kamu, jadi jangan terlalu berlebihan" imbuh Alena yang saat ini menatap Svarga dengan kesal.Svarga tersenyum, dia tidak menyangka rencananya akan berjalan dengan mudah. Sepertinya dewi fortuna sedang berpihak kepada Svarga kali ini. * Svarga memberikan segelas air mineral kepada Alena, "Terima kasih," sahut Alena yang kini bisa bernafas legah karena Svarga memberikan air mineral yang bisa menenangkan dirinya. "Seharusnya, aku yang mengucapkan terima kasih, kamu membantu aku menghadapi nenek," "Jadi, sekarang bos yang arogan menjadi baik hati?" tanya Alena yang membuat Svarga menatap Alena tak percaya, "Kamu sedang meledek aku?" tanya Svarga yang menunjuk dirinya sendiri, "Tidak, aku hanya merasa kamu sedikit berubah," jawab Alena yang membuat ujung jari jempol dan telunjuk miliknya, membuat Svarga mengangkat satu sudut bibirnya. "Aku rasa, kamu terlalu berlebihan," kata Svarga yang menyanggah ucapan Alena. "Benar, tidak seharusnya aku mengatakan hal itu," Svarga menatap Alena, membuat Alena tersenyum mengejek ke arah Svarga. * Pagi ini, Alena memutuskan untuk berangkat kerja lebih awal. Alena tidak ingin Svarga membuat pagi indah-nya menghilang dengan mudah. Alena berjalan ke arah pantry, dia menyeduh kopi hitam kemudian dia membawa cangkir itu ke sebuah meja yang berada tidak jauh dari meja dimana Alena menyeduh kopi. Alena membuka sebuah paper bag yang berisi sarapan hari ini,, wajahnya berseri-seri, seakan beban hidupnya terkikis di pagi ini. "Roti panggang isi tuna mayo memang paling sempurna," gumam Alena sembari mengambil roti panggang yang dia beli di sebuah outlet yang berada tidak jauh dari apartementnya. Ketika Alena akan menggigit bagian ujung roti panggang miliknya, Svarga mencuri sebuah gigitan di roti panggang miliki Alena, membuat Alena membelalakkan kedua matanya. "Kamu sengaja?" tanya Alena, Alena yang panik akan hal itu, meletakkan roti panggang yang dia beli dan menutup pintu pantry dengan segera, "Kamu kenapa?" tanya Svarga, "Tsk, ini masih jam kerja. Kamu sengaja ingin membuat kita berdua menjadi bahan gibah karyawan lain?" Svarga menatap jam tangan Molex kesayangannya,"ini masih jam 6 pagi Alena, sejak kapan jam kerja di kantor ini maju 2 jam?" tanya Svarga sang pemilik. Alena memutar bola mata, dia kesal dengan Svarga yang suka menindas Alena tanpa alasan. Merebut hak karyawan? Bukankah hal itu bisa dikategorikan sebagai penindasan hak seorang karyawan?Pikir Alena di dalam hati. "Sepertinya kamu kesal?" "Tidak, aku bahagia. Karena kamu mengambil jatah makan pagi yang susah payah aku dapatkan hari ini," "Tsk, segini saja kamu sudah mengeluh? Lalu, bagaimana dengan aku yang kamu tinggal setelah kamu puas menikmati tubuh indahnya?" cibir Svarga membuat Alena menatap Svarga tak percaya. "Apa kamu gila? Kamu membahas hal ini tanpa beban? Bagaimana kalau ada karyawan yang tau? Kamu tidak takut resikonya?" cecar Alena yang mulai panik dengan tingkah Svarga. "Untuk apa aku takut? Bukannya di lantai ini hanya ada kamu, aku dan Hardy saja?" tanya Svarga yang membuat Alena memukul dahinya sendiri. Alena lupa, jika hari ini dia bukan lagi bawahan Becca, sahabatnya. Alena menatap Svarga kesal. Alena merasa dipermainkan oleh Svarga.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD