"Bagaimana kalau kita mampir sebentar ke kedai kopi, Nyonya." Tawar Temp.
"Kedai kopi?"
"Apa anda belum pernah pergi ke kedai kopi?" Temp mengerutkan keningnya.
"Ah, tentu saja. Di mana letak kedai itu?" Tanyaku sembari mengikat rambut membentuk gulungan.
"Tidak jauh dari sini, hanya beberapa kilometer. Kedai itu terletak di tepi anak sungai, pemandangan di sana tak kalah menakjubkan. Anda pasti menyukainya."
Aku tersenyum mendengar penjelasan Temp. Kulayangkan pandanganku ke luar jendela mobil. Deretan pohon jeruk yang berbuah lebat di sepanjang Alhambra, menambah keindahan tersendiri.
"Nyonya, Alana...." Temp menatapku dari spion depan mobil. Dan pandangan mata itu kembali membuat jantungku berdebar kencang.
"Ya," jawabku lirih.
"Apa anda menyukai kopi?"
"Benar, aku menyukainya."
"Kalau begitu, saya akan memesan kopi yang paling enak di kedai itu. Saya yakin, anda pasti ingin kembali."
Aku tersenyum, membalas tatapan mata Temp Dari kaca spion mobil.
............
Benar seperti apa yang dikatakan Temp. Udara di tempat ini begitu sejuk, ditambah lagi pemandangannya yang luar biasa menakjubkan. Aku menghirup udara sedalam mungkin, mencium aroma air serta tanah yang menyatu.
Temp terlihat sedang berbicara dengan pemilik kedai, tak lama kemudian ia berjalan menghampiriku.
"Kita duduk di sebelah sana, Nyonya. Semua sisi akan terlihat dari sudut itu."
Aku berjalan mengikuti Temp, dan duduk di kursi yang terbuat dari rotan.
Aroma kopi sudah Menguar ke seluruh ruangan ini. Ruangan yang luasnya kira-kira lima puluh meter persegi.
Aku menatap ke seluruh ruangan, terlihat beberapa pemuda sedang bergerombol, asyik dengan obrolan mereka.
Di sisi lain, sepasang kekasih sedang bercengkrama sambil sesekali menggoda pasangannya. Dan si pemilik kedai bersama tiga orang karyawannya, sibuk meracik kopi.
Di bagian tengah ruangan, terdapat sebuah kolam kecil dengan ikan-ikan hias yang berenang ke sana kemari. Menambah indah dan sejuk tempat itu.
Temp berdiri di sisi lain, ia bahkan terlihat sedang menjaga jarak denganku, sampai seorang karyawan datang dan menyajikan secangkir latte hangat.
"Jadi, apakah aku akan menikmati kopi ini sendirian?" Kataku, menoleh ke arah Temp yang tersenyum dengan kalimatku tadi.
"Saya hanya seorang pengawal, Nyonya. Tidak pantas duduk di dekat anda." Ucap Temp dengan sedih.
"Kalau begitu, maukah kau menjadi temanku hari ini? Seorang teman akan duduk dan minum dalam satu meja, bukan?"
"Tapi, saya merasa itu tidak layak, Nyonya Alana. Maafkan saya."
Aku menatap secangkir latte di hadapanku, aromanya yang hangat cukup memberi sedikit ketenangan.
"Tapi aku ingin, Temp. Bukankah aku memiliki hak untuk memberi perintah? Dan sekarang, aku ingin kau duduk di sini." Kataku tanpa melihatnya.
Temp mengangguk perlahan, lalu berjalan mendekat, menarik kursi di hadapanku. Dan lagi-lagi detak jantungku berdegup kencang. Sungguh, aku tidak mampu menutupi semua itu. Bahkan wajahku terasa panas.
"Lalu apa yang ingin kau minum, Temp?" Tanyaku sembari mengaduk kopi itu.
"Ah, saya akan memanggil pelayan."
................
Temp menyesap kopi hitam-nya. Terlihat sesekali bibirnya berdecak menikmati rasa itu.
"Apa itu enak?" Tanyaku di sela-sela senyuman.
"Hmm, ini luar biasa. Kopi pahit dengan rasa yang kuat."
"Aku boleh mencobanya?"
Entah mengapa Temp terkejut dengan kata-kataku. Ia bahkan hampir tersedak dengan kopinya.
"Oh, anda ingin memesan yang ini juga? Akan saya panggilkan pelayan."
"Tidak...tidak, kalau boleh aku ingin mencoba kopimu sedikit."
"Tapi, saya sudah meminumnya tadi."
Aku meraih cangkir kopi milik Temp. Dengan ujung sendok, aku menyesap kopi itu. "Arghhh, pahit..."
Temp terkekeh melihat ekspresi wajahku, pria itu menuang segelas air dan menyodorkan kepadaku, "minumlah, Nyonya. Kopi itu memang sangat pahit." Ucap Temp di sela-sela tawanya yang renyah.
"Nyonya, sebenarnya aku tidak ingin mengatakan ini. Tapi anda harus tahu."
"Apa?" Aku menatap Temp lekat.
"Tuan Alexander sangat membenci kopi."
Aku meletakkan gelas air itu, mengerutkan kening sembari menatap Temp lurus, "Dia membenci kopi? Lalu kenapa kau membawaku ke tempat ini?"
"Karena anda sangat menyukainya."
"Aku tidak mengerti."
"Tuan memang melarang saya untuk menjamu anda dengan kopi, namun haruskah saya melakukan itu, sedangkan anda terlihat begitu menyukai minuman ini? Saya akan memberikan apa yang anda inginkan, Nyonya. Sekalipun Tuan membencinya."
Aku menatap Temp, jauh ke dalam manik matanya, "bukankah kau adalah orang kepercayaan suamiku? Lalu apakah sekarang kau sedang mencoba untuk melawannya?"
Sekali lagi Temp terkekeh, "apa yang anda pikirkan? Pemikiran itu terlalu jauh, Nyonya. Seperti ucapanku tadi, aku hanya ingin membuat anda senang. Sekalipun tidak bagi Tuan. Jadi, apakah ini akan menjadi rahasia bagi kita?"
"Apalagi yang tidak kuketahui tentang Alexander?"
"Tuan adalah pria ambisius, dia akan melakukan segala cara untuk mencapai tujuannya. Termasuk menyingkirkan mereka yang dianggap sebagai penghalang."
"Tunggu, apa arti dari kata menyingkirkan? Apakah itu semacam pembunuhan?" Aku melebarkan bola mataku, mulai gelisah dengan pembicaraan ini.
"Entahlah, tapi yang pasti, tangan Tuan selalu bersih. Bukankah begitu, Nyonya?" Temp kembali meneguk kopinya, dan terdengar ada nada kekesalan di balik ucapannya itu.
"Temp, Aku rasa dia tidak mungkin melakukan itu. Memang belum setahun aku mengenalnya, tapi Alexander yang kukenal, ia begitu baik dan hangat. Dan aku juga tahu pasti, sebagai pengusaha besar seperti dia, pasti memiliki banyak pesaing yang cukup untuk membencinya. Tapi sekali lagi, Temp. Suamiku tidak akan melakukan tindakan kejahatan di mata hukum."
"Well, tentu saja. Saya juga berharap demikian." Mata tajam Temp berkilat, sejenak aku merasakan aura yang berbeda dari pria ini.
"Kita pulang sekarang, Nyonya Alana?"
Aku berjalan mendahului Temp. Melangkah masuk ke dalam mobil.
Di sepanjang jalan menuju ke rumah, kami banyak berdiam diri. Tapi aku tetap memikirkan semua obrolan itu. Jauh di dalam relung hatiku, mungkin saja semua itu bisa terjadi, namun atas dasar apa aku mempercayainya?
Aku membuka ponsel, setidaknya ada sepuluh panggilan tak terjawab. Dan semua itu dari suamiku, Alexander.
Dengan cekatan aku menekan kembali nomor itu, berusaha menghubunginya.
Sunyi.....tak ada jawaban.
Temp sepertinya melihat kegelisahanku, dan entah mengapa, dari sisi wajahnya kulihat, lagi-lagi ia tersenyum. Namun aku berusaha membuang semua pikiran buruk itu.
...........
Aku memasuki halaman rumah, setelah seorang penjaga menutup gerbang itu kembali. Temp berjalan mendahului, dan membuka pintu untukku. Pria itu membungkuk, ketika melihat Alexander berdiri di ruang tamu. Pria itu menatap ke arah kami dengan tajam.
"Kau di rumah?" Tanyaku dengan ragu, ada rasa terkejut di balik kalimat itu.
"Hmm, kau baru pulang? Aku sengaja meluangkan waktu untuk makan siang denganmu. Tapi ternyata kau tidak di rumah. Dan sayang, kenapa kau tidak menjawab teleponku?" Suara Alexander datar.
"Maaf, ponselku tertinggal di dalam mobil."
"Ini kesalahan saya, Tuan, Alexander. Saya bahkan tidak mengingatkan Nyonya Alana untuk membawa ponselnya. Maafkan saya." Sahut Temp tiba-tiba.
"Baiklah, Temp. Kau bisa tinggalkan kami sekarang." Kata Alexander.
Temp mengangguk, dan meninggalkan ruangan itu. Setelah kepergian Temp, Alexander berjalan mendekatiku, dengan senyum kecil di bibirnya, Alex meraih bahuku, membawanya mendekat. "Aku merindukanmu, Alana."
"Tapi bagaimana dengan pekerjaanmu?" Tanyaku ragu.
"Aku sudah menilik proyek, semua baik-baik saja. Tapi aku merasa jika terlalu lama jauh darimu, itu terlalu menyiksa."
Alexander menangkup wajahku dengan kedua tangannya, perlahan mendekatkan bibirnya ke wajahku.
"Tapi, Alex. Kurasa aku tidak bisa melakukannya di sini." Aku melepaskan tangan Alexander dari wajahku. Pria itu terkekeh geli.
"Melakukan apa, sayang? Aku hanya ingin menciummu. Atau kau menginginkan lebih?"
Mendengar kalimat itu, tentu saja membuat wajahku memerah. Menginginkan lebih, katanya?
"Ma... maksudku, aku tidak terbiasa berciuman di ruangan terbuka. Ada banyak pelayan, yang mungkin saja mereka akan melewati tempat ini."
"Ha-ha-ha, ini rumah kita, sayang. Dan kita suami istri. Tidak ada yang salah dengan itu, bukan? Para pelayan tidak akan berani melewati tempat ini, selama aku berdiri di sini. Mereka hanya akan datang jika kupanggil. Jangan cemaskan soal itu."
"Tadi, kau bilang ingin makan siang, bukan? Ayo kita makan siang sekarang. Aku sangat lapar." Aku berjalan melewati Alexander, menuju ke ruang makan. Dan aku yakin, pria itu sedang menatapku dari sana.