episode 3

1380 Words
Aku menarik napas lega, ketika pesta itu benar-benar berakhir. Dan dalam sekejap, suasana hening memenuhi istana ini. Hanya terlihat beberapa pelayan sedang membersihkan ruangan pesta tadi. Dan aku, aku memilih masuk ke dalam kamar. Aku menatap jendela besar dengan gorden sutra yang melayang tertiup angin. Di kejauhan, terlihat cahaya lampu mobil yang bersiap meninggalkan tempat ini. Samar, aku melihat Alexander berdiri di sana, di sisi mobil dengan senyum mengambang. Begitu pentingkah, tamu yang berada di dalam mobil itu, sehingga Alexander mengantarnya hingga ke depan gerbang? Aku meraih daun jendela, menutupnya rapat. Dan aku yakin, Alexander melihat ke arahku. Setelah mobil itu pergi, Alexander bergegas masuk ke dalam kamar kami. "Alana..." Alexander menghentikan ucapannya. Menatapku dengan gaun tidur yang kini melekat di tubuhku. Aku meraih cardigan di sisi tempat tidur, memakainya segera mungkin untuk menutupi bagian tubuhku yang terbuka. "Kau sudah kembali?" Tanyaku ragu. "Ya, kau melihatku tadi?" "Melihat apa?" Alexander menarik napas lega, dan aku merasa telah melewatkan sesuatu. "Tidak, bukan hal penting. Tapi, Alana. Kau sangat cantik dengan gaun tidur itu." "A..Aku..." Alexander berjalan mendekat, memeluk tubuhku yang kini gemetar. Dia adalah suamiku, tapi rasa sungkan itu masih terasa begitu kuat. "Alana, kau begitu sempurna." Bisik Alexander di telingaku. Pria itu mengecup leherku, membuat seluruh tubuhku bergidik. "Tidak bisakah kau menyebut namaku? Aku ingin mendengarnya, Alana." Suara Alexander di sisi wajahku membuatku tak kuasa menahan diri. Terlebih lagi, ketika pria itu mempererat pelukannya. Ada sesuatu yang mengalir di relung dadaku, membuatnya berdetak lebih cepat. "Ayo, Alana...aku ingin mendengarnya." Desis Alexander. "Iya, A...Alex." Alexander tersenyum, dan entah sejak kapan, ia melepaskan cardigan yang menempel di tubuhku. ............... Aku masih terjaga, ketika waktu hampir menunjukkan pukul tiga pagi. Udara dingin membelai tubuhku di bawah selimut sutra. Sungguh, ini adalah pertama kalinya kami melakukan itu. Sekalipun malam ini, bukan malam pertama setelah pernikahan. Alexander mengeliat, meraih tubuhku dan memeluknya erat. Tubuh kekar dan hangat Alexander, seolah tidak berniat melepaskanku malam ini. "Kau tidak tidur, sayang?" "Apa? Kau tahu?" Tanyaku terkejut. "Tentu aku tahu, aku melihatmu sejak tadi. Kau gelisah, apa yang kau pikirkan?" "Alex, aku melihatmu bersama seorang wanita di pesta tadi. Apa yang ia lakukan? Kenapa sikapnya seperti itu?" "Oh, sayang. Kau cemburu?" Alexander tertawa kecil, "Aku tidak akan mengkhianatimu. Aku sangat mencintaimu, Alana. "Tapi, aku hanya merasa kalau dia..." "Dia putri salah satu investor kita, melalui wanita itu, perusahaan banyak mendapat suntikan dana. Tapi percayalah, Alana. Hatiku adalah milikmu." Alexander mengecup bahuku, "Alana, kau mau melakukannya lagi?" .......... Aku membuka mata, dan terkejut melihat Alexander dengan setelan jas dan berdiri di depan cermin, sedang mengoleskan krim ke wajahnya. "Kau sudah bangun? Kurasa kita hanya tertidur sebentar tadi malam." Tanyaku sambil meraih gaun tidur yang terjatuh di lantai. "Aku harus bekerja, sayang. Kau tidur saja. Aku tahu, kau sangat letih, bukan?" "Tapi, Alex. Bagaimana denganmu? Tidak bisakah kau berangkat nanti saja?" "Maafkan aku, Alana. Aku harus bertemu klien pagi ini. Aku janji, akan pulang secepat mungkin." Alexander berjalan ke arahku, menangkup wajahku dengan kedua tangannya, memberi kecupan kecil di bibir, "Temp akan datang, kau bisa pergi dengannya kemanapun kau mau. Atau kau ingin membeli sesuatu? Aku meletakkan kartu kredit di meja riasmu, sayang. Kau bisa membeli semua keperluanmu." "Tapi, Alex. Ya aku tahu kau harus bekerja, tapi tidak bisakah kita bersama walau hanya satu hari saja?" Alexander menatapku, lagi-lagi dengan mata teduhnya, "tentu saja, tapi tidak hari ini. Kau mengertikan?" "Oke. Aku mengerti." .......... Ketika aku hendak bergegas mandi, aku mendengar suara mobil berhenti di halaman, dan di balik jendela besar kamarku, aku melihat Temp. Pria itu kemudian masuk, ketika seorang pelayan membuka pintu. "Haruskah setiap hari dia menjagaku? Seperti ini?" Desisku sembari melangkah ke kamar mandi. "Apakah Nyonya Alana ada di dalam?" Aku mendengar suara seorang pelayan di depan pintu kamar. "Ya," sahutku sambil melingkarkan handuk ke tubuhku yang basah. "Ada apa?" Dan betapa terkejutnya aku, ketika mendapati Temp berdiri di depan pintu kamar, bersama dengan seorang pelayan wanita. "Oh, maaf. Saya akan menunggu di ruang tamu." Temp melangkah meninggalkan-ku yang diam terpaku dengan jantung berdetak kencang. "Apa kau sudah gila? Kenapa kau membawa pria itu ke sini?" Ujarku dengan marah kepada pelayan itu. "Dia yang memaksa, Nyonya. Dia mencemaskan anda." Jawab pelayan itu. "Apa? Dia mencemaskanku? Bahkan di dalam kamarku sendiri?" Aku mengerutkan kening, heran dengan jawaban itu. "Pergilah, aku harus memakai baju. Dan jangan pernah membawa dia ke dalam kamarku lagi!" "Maafkan saya, Nyonya." Pelayan itupun pergi diiringi suara dentuman pintu yang tertutup. .............. "Nyonya, Alana...." Sapa Temp yang langsung berdiri begitu melihat Alana. Dan jika mengingat apa yang baru saja dilihatnya beberapa menit yang lalu, wajah Temp terasa panas. "Ada apa, bukankah ini masih terlalu pagi?" "Benar, tapi Tuan meminta saya datang pagi-pagi. Dan baru pergi setelah Tuan kembali." Suara Temp terdengar parau. Jelas terlihat ia sedang berusaha menghindari tatapan mataku. "Lalu apa yang akan kau lakukan? Apa kau akan mengikuti kemanapun aku pergi, sekalipun itu di dalam rumahku sendiri?" Tanyaku kesal. Temp terkekeh mendengar kalimat yang keluar dari mulutku. Bahkan aku bisa melihat jika pipi pria itu memerah. "Tentu tidak, saya akan berada di sini. Menunggu perintah anda, Nyonya." Aku menatap Temp. Benar, dia hanya sedang menjalankan tugas. Namun entah mengapa, aku merasa jika Alexander terlalu protektif kepadaku. "Baiklah, kau bisa duduk di sana kalau mau." Aku melembutkan suara. Tersenyum kecil dan berlalu dari hadapan pria itu. Temp membalas senyumanku, dan wajah itu, sekali lagi membuat detak di dadaku semakin tak beraturan. Ah, ada apa denganmu Alana, apa yang kau pikirkan. "Anda memasak, Nyonya? Biarkan saya saja. Apa yang ingin anda makan?" Tukas pelayan itu. "Tidak, aku saja. Temp pasti belum sarapan. Kau kerjakan saja yang lainnya." Pelayan itu terdiam, berdiri mematung dan menatapku dengan mata membulat. Seolah ia sedang melihat sesuatu yang menakutkan. "Ada apa? Sampai kapan kau akan di sana dan menatapku?" Pelayan itu dengan wajah penuh kebingungan, akhirnya pergi meninggalkan-ku yang mulai sibuk dengan dapur. "Temp, Aku membuatnya sendiri." Aku meletakkan sepiring telur dadar dengan sosis bakar di sisinya, juga segelas jus jeruk dingin. "Apa yang anda lakukan, Nyonya? Tanya Temp dengan alis menyatu. "Ada apa? Kau tidak suka? Aku membuatnya sendiri untukmu. Kau belum sarapan, bukan?" Aku mengambil makanan itu, menyodorkannya kepada Temp, "makanlah." "Bukan begitu, tapi Tuan pasti sangat marah kalau tahu anda membuat makanan untuk saya, Nyonya." "Kalau begitu, jangan katakan apapun juga kepadanya. Makanlah, setelah ini aku ingin menikmati udara di luar. Temani aku, Temp." ............. Aku menghirup udara sedalam mungkin, aroma rumput serta bunga mawar dan bunga bakung di taman Generalife, Spanyol ini begitu indah. Hawa dingin dari pegunungan Sierra membelai wajahku yang memerah, aku memejamkan mata, menikmati kicauan burung serta hamparan rumput yang terbentang luas. Ketika aku sedang merasakan semua keindahan ini, Temp datang menghampiri, dengan suara yang lembut ia berkata, "Aku memang bukan orang yang ahli dalam menilai, tapi tahukah anda, jika semua yang ada di sini terlihat begitu sempurna dan indah, seindah dirimu, Nyonya Alana." Aku Menoleh, menatap Temp yang tersenyum kepadaku. Entah mengapa ada perasaan bahagia ketika mendengar suaranya. Terlebih lagi ketika menatap wajah itu. Angin berhembus, kabut dingin mulai merayap turun. Kurapatkan cardigan hingga menutupi d**a, dan menggosok kedua tanganku yang dingin. "Kemarilah, Nyonya." Temp meraih tanganku, dan di luar dugaan ia menyelipkan kedua tanganku ke dalam saku mantelnya. "Kurasa ini tidak perlu." Aku mencoba menarik tanganku dari dalam saku mantelnya, namun Temp bersikeras menahannya di sana. Apa yang dilakukan Temp membuat tubuh kami menjadi sangat dekat. Bahkan aku mampu mencium aroma wangi dari tubuhnya. "Temp...Aku baik-baik saja. Lepaskan aku." Pintaku dengan suara yang hampir tak terdengar. "Tentu, maaf. Saya hanya takut jika anda sakit. Tuan pasti akan marah besar." Temp melepaskan tanganku, kemudian berjalan mundur beberapa langkah. "Kau sepertinya sangat takut terhadap suamiku, Temp." Ujarku berusaha mengubah suasana. Temp tersenyum kecil, sembari menatapku iapun berkata, "saya hanya berusaha menjalankan tugas dengan baik. Tapi Tuan, dia memiliki banyak peraturan, yang mungkin juga berlaku untuk anda." "Peraturan, untukku?" Mataku menyipit, merasa janggal dengan kalimat yang keluar dari mulut Temp. Pria itu mengangguk, "Nanti anda juga akan mengerti, Nyonya. Bagaimana kalau sekarang kita pulang? Perjalanan kita cukup jauh, bukan?" "Baiklah, ayo kita pulang." Aku terus saja memikirkan perkataan Temp di sepanjang perjalanan, sebagai istri Alexander, aku bahkan tidak tahu apapun juga tentangnya. Perjalanan ini masih awal, aku yakin suatu saat nanti aku akan menjadi satu-satunya bagi Alexander.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD