TITIK TEMU
[22] Tempat curhat!
_____________________
Albi meletakkan segelas lemon squash di atas meja, tepatnya di depan Rilo yang tengah merenung. Entah apa yang membawa Rilo datang kesini, namun tiba-tiba saja dia masuk ke dalam Rainbow cafe dan memilih untuk berdiam diri. Tidak biasanya Rilo menjadi pendiam, karena pendiam adalah keahlian Albi. Biasanya, Rilo dan Nandan adalah paket komplit dari kegilaan yang selalu ada ditengah pertemanan mereka. Karena beberapa hari ini sedang banyak pikiran, komposisi pendiam diduduki oleh Albi dan Rilo. Nandan mungkin masih tetap berada di zonanya, setengah gila.
Rilo banyak menyimpan masalah karena orang tuanya kaya. Ternyata, orang tua kaya, orang tua ekonomi rata-rata, atau orang tua miskin mempunyai problematika tersendiri. Seperti Rilo yang sejak kecil sudah dipersiapkan sebagai penerus dari perusahaan raksasa milik kedua orang tuanya. Bayangkan saja, dua perusahaan raksasa yang tergabung menjadi satu. Bagaimana Rilo tidak stress? Ditambah dengan semua aset yang menurut Albi, tidak akan habis jika hanya digunakan oleh Rilo seumur hidupnya.
"Setiap seminggu sekali, gue akan bolos sekolah dengan alasan ikut training di perusahaan. Katanya, calon penerus Megantara Grup. Itu yang selalu gue dengar dari banyak pegawai Daddy dan Mommy setiap kali gue lewat. Mereka memberikan Service paling baik karena itu gue, pewaris tunggal dari perusahaan tempat mereka kerja. Gue muak dan kesal banget karena kehidupan itu, bukan kehidupan gue banget. Gue enggak pengen jadi pewaris tunggal dan duduk di kantor seharian cuma mantengin komputer berjam-jam, tanda tangan kontrak sana-sini, breafing atau rapat sambil marah-marah. Gue enggak pengen! Sama sekali! Gue cuma mau bebas," ucap Rilo akhirnya.
"Salah enggak sih kalau gue mau menentukan pilihan gue sendiri? Kenapa gue enggak bisa kaya yang lain? Menentukan apa yang mereka mau dan mereka suka. Mau masuk jurusan apa, sekolah di mana, ikut ekskul apa, mau jadi apa. Gue cuma manusia! Manusia biasa yang cuma bisa berlindung dengan kata-kata, iya, oke, baik. Kenapa gue enggak bisa bilang gue maunya ini, maunya itu. Kenapa enggak bisa sih?" Kali ini, ucapan Rilo juga tepat sasaran untuknya. Jujur saja, Albi juga merasakan hal yang sama.
Albi seperti tertampar oleh kenyataan juga, "kalau boleh jujur, Lo enggak sendirian. Gue juga sama kok, gue enggak bisa menentukan apa yang gue mau dan apa yang gue inginkan. Jadi, gue enggak bisa memberikan solusi dari masalah Lo. Gue juga enggak bisa menyelesaikan masalah itu dalam diri gue sendiri. Gue enggak mau menjelaskan sesuatu yang salah. Itu aja!"
"Tenang aja, gue cuma curhat aja kok. Karena enggak semua cerita harus ada solusinya. Kadang didengarkan aja udah senang banget." Jawab Rilo sambil tersenyum.
Albi mengangguk, setuju dengan ucapan Rilo. Terkadang didengar sudah lebih dari cukup. Tetapi untuk mencari pendengar yang baik, itu yang sulit.
"Hm, sebenarnya gue enggak enak tanya ini sama Lo. Tapi jujur aja gue penasaran." Ucap Albi kemudian.
Rilo yang baru saja menyeruput minumannya, seperti paham kemana arah Albi ingin bicara. Cowok itu tersenyum sambil melipat kedua tangannya di atas meja.
"Soal pernikahan yang gue maksud itu?" Tanya Rilo yang mendapatkan anggukan ragu-ragu dari Albi.
Rilo tersenyum samar, "kayanya bukan hal baru deh di dunia bisnis kalau kita sebut dengan pernikahan bisnis. Pernikahan yang berguna untuk menguatkan relasi antara dua perusahaan. Bahkan masalah hati aja, gue enggak bisa milih. Menikah pun harus ada timbal baliknya buat bisnis. Semuanya tentang bisnis. Selama enggak bisa menguntungkan perusahaan, untuk apa menjalin hubungan. Iya 'kan?"
"Lo yakin enggak masalah dengan pernikahan itu? Maksud gue, Elo masih sangat muda untuk masuk ke tahap yang menurut gue, sangat serius." Ucap Albi berpendapat.
Rilo mengangkat kedua bahunya tidak tahu, "katanya sih sehabis gue lulus SMA, baru pernikahan itu terjadi."
Sekarang Albi yang tidak habis pikir dengan jalan pikiran orang tua Rilo. Bagaimana mungkin mereka mendukung anaknya untuk nikah muda. Anak satu-satunya lho ini. Bahkan Ibunya saja mati-matian untuk menyuruhnya sekolah setinggi-tingginya walaupun terkadang harus ngutang untuk biaya sekolahnya. Ya, meskipun keadaan sebenarnya, Albi kesal dengan sikap Ibunya yang memaksa.
"Tapi Lo 'kan masih remaja. Masih banyak waktu buat menikmati hidup. Kalau udah nikah, hidup Lo gimana? Lo yakin bakalan menikmati sebuah hubungan tanpa perasaan? Nikah lho, sekali seumur hidup." Ucap Albi lagi.
Rilo menatap gelasnya, "perasaan enggak penting, 'kan? Elo pernah bilang, cinta cuma angan yang enggak akan pernah jadi kenyataan."
Lagi-lagi Albi termakan omongannya sendiri. Cowok itu memilih untuk diam. Dia tidak mau memperkeruh keadaan. Toh, mau bagaimanapun caranya, orang tua Rilo akan tetap menikahkan Rilo dengan pilihan mereka ketika lulus SMA nanti. Namun Albi begitu menyayangkan, mengapa mereka yang mempunyai uang, fasilitas, dan koneksi malah memilih untuk mengabaikan pendidikan? Walaupun Albi sangat yakin jika harta keluarga Rilo sangat amat cukup untuk biaya hidup Rilo sampai kapanpun.
"Nandan mana sih?" Tanya Rilo akhirnya, mencairkan suasana diantara mereka yang mendadak hening.
Albi celingukan sebentar, "iya, ya, dari tadi belum balik juga tuh anak. Katanya mau beli pulsa di Betamart. Padahal jaraknya dekat banget, enggak ada sepuluh menit udah PP tuh harusnya."
"Pasti godain Mbak-mbak angkringan depan gang," tebak Rilo yang mendapatkan anggukan Albi.
Tidak lama kemudian Nandan yang baru mereka bicarakan masuk ke cafe sambil membawa kantung plastik berisi gorengan dan sate telur puyuh.
"Nah, 'kan, benar tebakan gue." Ucap Rilo sambil mengangkat plastik makanan yang dibawa Nandan.
"Eh, tebakan apaan nih?" Sewot Nandan.
"Tebak-tebakan alasan Lo lama banget beli pulsa. Beli di Betamart cabang mana?" Sindir Albi yang disambut tawa renyah dari Nandan.
Nandan merangkul pundak Albi sambil tertawa, "gue mampir dulu buat silaturahmi sama Mbak Irma."
"Silaturahmi, silaturahmi! Muka Lo enggak pantes," jawab Rilo.
"Muka gue ganteng, masalah buat Lo?" Tandas Nandan menatap Rilo sengit.
Albi melerai keduanya sebelum ada gelas-gelas yang melayang atau tanaman di pot-pot kecil miliknya.
"Mau closing gue. Kalau enggak mau pada bantuin, mending minggat sana." Usir Albi galak.
Keduanya beranjak dari duduknya dan mengambil peralatan perang masing-masing. Nandan tentu saja setia membersihkan counter tersayangnya. Albi sendiri mengelap meja sampai kinclong dan Rilo menyapu lantai walaupun tidak pernah bersih. Entah Albi atau Nandan, nantinya akan mengulangi untuk menyapu. Ya, setidaknya Rilo punya kesadaran untuk membantu.
"Btw, besok jadi ke rumah Shena 'kan?" Tanya Nandan sambil menatap Albi dan Rilo.
"Gue mana bisa," ucap Rilo dengan wajah melas.
"Masuk kerja? Di hari sabtu?" Tanya Nandan tidak percaya.
Rilo mengangguk, "sabtu-minggu lebih tepatnya. Jadwal gue mulai dipadatkan. Katanya biar senin sampai jumat, gue di sekolah terus. Enggak perlu ijin lagi."
"Tugas kita gimana, Nyet? Tolong jangan mengandalkan otak gue doang buat mikir makalah." Cerca Nandan yang mulai tidak santai.
"Iya 'kan Lo bisa kerjain setengah, terus gue juga setengah."
"Masalahnya diskusi, Nyet. Ada presentasi!"
"Sekali lagi Lo panggil gue nyet, gue smackdown Lo sampai babak belur!"
Albi tidak mau ikut campur, biarkan saja mereka bertengkar. Yang paling penting tidak melibatkan gelasnya atau pot-pot tanamannya. Perkara mereka adu jotos sampai patah tulang, Albi tidak peduli.
•••••