20

1061 Words
TITIK TEMU [20] Bertahan sedikit lagi! ___________________________ Shena menatap layar laptopnya di mana video make up-nya menjadi trending nomor satu di Watching. Berhasil menyalip kreator lainnya dalam beberapa hari ini. Mungkin terbantu juga karena penonton baru dari sekolahnya yang baru. Banyak yang mulai mengikutinya, entah di Watching ataupun Layarkaca. Ada juga pesan-pesan manis yang sering dikirimkan oleh ketua basket itu. Katanya, cowok itu paling keren di sekolah. Menjadi incaran banyak cewek dan kabarnya pernah pacaran dengan salah satu anak paskibra nasional dari sekolah lain. Intinya, si ketua basket mempunyai selera yang bagus dalam urusan memilih pasangan. Sayangnya, Shena tidak tertarik dengan hubungan semacam itu. Hubungan antara dirinya dengan cowok yang tidak disukainya. Jika Shena ingin pacaran, berarti Shena menyukainya. Karena menurutnya, mempunyai hubungan harus ada landasan cinta di dalamnya. Tidak peduli dengan omongan orang tentang dirinya. Shena selalu tampil apa adanya. Ya, mungkin semenjak beberapa bulan belakangan ini. Shena yang biasa suka menjaga image di depan orang-orang, memilih untuk tampil apa adanya. Memperlihatkan karakternya yang sebenarnya. Tiba-tiba, ada beberapa komentar yang muncul. Komentar-komentar pedas dengan nama penggunanya yang tidak nyata. Shena membaca setiap komentar, termasuk komentar yang dituliskan oleh orang itu. Tanpa aba-aba sama sekali, Shena langsung menutup laptopnya dengan kasar. Wajahnya pucat, kedua matanya memerah, keringat dingin mulai mengucur membasahi keningnya. Mengapa selalu begini? Shena memegang selimutnya kuat-kuat, dadanya kembali sesak, jantungnya berpacu dua kali lipat dari biasanya. Serangan panik itu datang. Serangan yang membuat Shena ketakutan setengah mati. Membuat tubuhnya bekerja dua kali lipat. Sangat lelah namun hanya diam di tempat. Selama hampir tiga puluh menit, Shena menahan serangan itu. Serangan yang selalu melumpuhkan keberaniannya. Shena tidak tahu sejak kapan ini terjadi, tetapi dia mulai merasakan serangan itu satu tahun belakangan ini. Ketika dia jarang bisa tidur dengan nyaman. Ketika tubuhnya gemetaran ketika serangan itu datang. Shena sangat takut tetapi tidak tahu harus bicara kepada siapa. Shena ingat ketika kemarin serangan panik itu muncul tiba-tiba. Shena ingat bagaimana Albi memegang kedua tangannya sambil mengatakan kata-kata yang menenangkan. Shena juga ingat bagaimana u*****n cowok itu karena kesal kepadanya. Intinya Shena merasa sangat tersiksa dan ketakutan. Dia tidak mau ada orang yang tahu tentang dirinya. Shena tidak mau orang lain memanfaatkan kelemahannya ini. Tetapi di mana pun, Shena merasa tidak aman. Ada pesan-pesan mengerikan yang terus dikirim kepadanya. Ada banyak ancaman yang membuat Shena ketakutan. Harusnya Shena bisa mengatakan apapun yang terjadi kepada dirinya. Namun kepada siapa? Orang tuanya tidak terlalu dekat dengannya. Teman atau sahabat? Shena tidak pernah benar-benar punya. Mungkin inilah takdirnya, hidup sendirian untuk selamanya. "Shen," panggil seseorang dari luar kamarnya. Shena hanya diam, tidak berniat untuk membukakan pintu kamarnya kepada orang di luar sana. Tetapi terdengar suara pintu terbuka dan artinya orang itu tahu password kamarnya, lagi. Terlihat perempuan cantik dengan piyama tidurnya datang membawakan nampan berisi s**u. Meletakkannya di atas meja yang berada disamping tempat tidur Shena. Setelah itu, perempuan itu memilih duduk dipinggir ranjang Shena. Menatap Shena yang hanya diam saja tanpa menatapnya. "Bunda buatkan s**u. Diminum ya, Nak." Ucap sang Bunda kepada Shena yang diam saja. "Kata salah satu pelayan, kamu belum makan sejak pagi. Ada apa? Ada masalah lagi di sekolah? Kamu bisa bicara sama Bunda. Bisa cerita juga." Sambung Bundanya sambil memegang kedua tangan Shena. Sayangnya Shena menolak, menarik tangannya dari genggaman Bundanya itu. Mereka memang begitu, antara Shena dan Bundanya sangat tidak dekat. Ada jarak diantara mereka yang sangat jauh sehingga Shena tidak bisa didekati. "Jangan sok perhatian deh!" Ucap Shena pedas. "Enggak usah ngurusin aku. Enggak usah sok peduli. Aku enggak suka!" Sambungnya dengan penuh penekanan. "Bunda tahu kamu sedang tidak baik-baik saja. Sesekali kamu bisa mengakui hal itu. Bunda tahu kamu tidak nyaman, tetapi Bunda punya alasan untuk tetap berada disekitar kamu. Bunda sayang sekali dengan Shena. Bunda enggak minta Shena membalasnya. Bunda hanya mau, Shena baik-baik saja." Ucap sang Bunda sambil tersenyum. Shena tersenyum sinis, "kalau kamu mau aku baik-baik saja. Seharusnya kamu enggak pernah masuk dalam keluargaku. Harusnya kamu enggak pernah merebut Papi dari Mamiku. Sekarang apa yang kamu dapat? Harta yang melimpah?" Bundanya terpaku, "kamu belum waktunya mengerti, Shen. Bunda tidak pernah merebut apapun dari siapapun." "Kamu lebih baik jadi guru yang terhormat daripada perempuan perusak rumah tangga orang." Tandas Shena untuk kesekian kalinya. Bundanya tersenyum tipis, "Bunda tidak akan menyangkal apapun itu. Bunda berharap kamu mengerti." Perempuan itu keluar dari kamar Shena. Sedangkan Shena hanya bisa memandang kepergian Bundanya—bunda yang tidak ingin dia sebutkan sebagai seorang ibu untuknya. Bagi Shena, Bundanya adalah orang yang paling tidak tahu malu dan bermuka dua. Bagi Shena, kehidupannya hancur karena Bundanya masuk dalam rumah tangga Papi dan Maminya. Shena sangat membenci Bundanya, lebih dari apapun. Cewek itu menghela napas panjang, berjalan keluar ke arah balkon kamarnya. Menikmati udara malam yang menusuk kulit. Shena merasa dirinya sendirian. Tidak ada orang yang mau mengerti dirinya. Bahkan sekedar bertanya apakah dirinya baik-baik saja pun tak ada. "Nona..." Shena sudah tahu jika dibalik pintu kamarnya ada Simon yang sedang mengetuk pintu. Laki-laki itu selalu mengganggu waktunya. Untunglah Falah masih cuti, hingga akhirnya tersisa si cerewet Simon yang selalu mengetuk pintu kamarnya secara berulang-ulang. "Nona, saya bawakan americano. Minuman kesukaan Nona." Ucap Simon yang menarik perhatian Shena. "Dari Rainbow cafe, buatan barista biasanya. Dingin dengan tulisan nama saya." Sambungnya. Shena diam-diam tersenyum dari balik pintu. Tetapi sebelum membuka pintu, Shena merubah ekspresi wajahnya menjadi tidak peduli, seperti biasanya. "Siapa yang nyuruh Lo datang kesana?" Judes Shena berkacak pinggang di depan kamar. Simon tersenyum, menyodorkan sebuah cup minuman yang Shena sukai. "Americano, seperti yang Nona inginkan waktu itu. Saya tahu Nona suka buatan barista di Rainbow cafe itu. Karena Nona sudah membuat review buruk, Nona menjadi tidak berani datang. Jadi, saya pikir, akan lebih baik jika saya yang datang ke cafe itu." Ucap Simon dengan lengkungan bibirnya. Shena menerima minuman itu, "ini gue terima karena menghargai usaha Lo doang." "Baik, Nona. Terima kasih!" Jawab Simon mundur beberapa langkah dan meminta Shena untuk masuk kembali ke dalam kamarnya. Shena menurut, cewek itu masuk ke dalam kamarnya dengan membawa americano yang dibawakan Simon. Shena memilih untuk duduk di meja belajarnya, menikmati minumannya dan membuka-buka novel barunya yang beberapa belum sempat dibuka. Ucapan Simon beberapa waktu lalu membuatnya terngiang-ngiang setiap hari. Membuat Shena mempunyai semangat lebih terhadap harinya. Kebahagiaan bukan dicari Nona, tetapi diciptakan atau dibuat sendiri—Simon. "Gue bisa bahagia, 'kan? Bertahan sedikit lagi, Shena. Semangat!" •••••
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD