19

1098 Words
TITIK TEMU [19] u*****n kasar ______________________ Semenjak bersekolah di sekolahnya yang baru, kotak pesannya tiba-tiba dipenuhi oleh nomor-nomor baru yang meminta kenalan. Shena tahu orang-orang itu mendapat nomornya dari grup chat kelas dan sekolah. Mungkin namanya begitu melejit bahkan sangat terkenal karena beberapa kali muncul di berbagai beranda mereka. Entah di Watching atau Layarkaca. Pengikutnya pun semakin bertambah, ada yang mengirimkan pesan romantis sampai ada yang terang-terangan datang ke kelasnya untuk memberikan cokelat atau bunga. Dari adik kelas, teman satu angkatan, sampai kakak kelas. Cowok-cowok seperti kebakaran jenggot ketika melihat Shena yang lewat di depan mereka. Mereka juga membuat semacam challenge bagi siapa saja yang bisa mendapatkan perhatian Shena akan mendapatkan uang taruhan. Tentu saja Shena bisa tahu dengan mudah jika dirinya dijadikan bahan taruhan. Tetapi, cewek itu hanya acuh. Dia tidak ingin memperpanjang masalah atau malas harus berkomunikasi dengan para cowok tidak penting itu. Karena baginya, hubungan semacam pacaran bukanlah tujuannya untuk saat ini. Sofya menggandeng tangan Shena sepanjang perjalanan ke kantin. Shena tidak tahu sejak kapan dia sedekat ini dengan Sofya. Yang jelas, cewek itu sangat baik kepadanya. Bahkan tidak jarang mengajaknya mengobrol di kelas. Kadang-kadang juga Liliana yang memandu setiap perjalanan mereka, memperkenalkan setiap sudut sekolah. Shena juga punya Nandan dan Rilo yang tidak segan menungguinya di gerbang sebelum masuk. Mungkin hanya Albi yang masih antipati dengan Shena. Walaupun pada akhirnya mereka biasa saja. Tidak pernah bicara, lebih tepatnya. "Lo enggak ada rencana buat respon salah satu fans Lo, Shen?" Tanya Sofya sambil memperhatikan jalan mereka yang dipenuhi dengan lalu-lalang siswa-siswi yang hendak pergi ke kantin pada jam istirahat ini. Shena menggeleng pelan, "gue sama sekali enggak tertarik. Lagipula gue mau fokus sama sekolah." "Astaga, kenapa Lo mirip banget sih sama Albi." Ucap Sofya. "Mirip?" "Hm, iya. Lo punya prinsip yang hampir sama mungkin kaya Albi. Selalu fokus sama sekolah." Jawab Sofya sambil menatap Shena. "Dia selalu total dalam belajar dan usaha cafe-nya. Ingat enggak, cafe yang pernah Lo hujat waktu itu." Sambung Sofya sambil tertawa. Shena mengangguk, "sepenting itu cafe-nya?" "Kurang lebih sih gitu. Albi selalu melakukan yang terbaik untuk tetap mempertahankan Rainbow cafe. Ya, kurang lebih, Albi enggak akan rela kalau cafe-nya sampai tutup. Albi enggak seburuk yang Lo pikir kok. Memang sih, dia suka ketus sama orang lain. Tapi dia enggak jahat kok. Baik malahan." Shena hanya diam, jujur saja dia malas membahas Albi. Cowok itu menyebalkan menurutnya. Meski banyak sekali yang mengatakan tentang kebaikan Albi berulang kali. "Shena," panggil salah satu cowok yang tadinya berada di lapangan basket. Cowok yang sama yang pernah datang ke kelasnya dan memberikan sekotak cokelat mahal kemarin. Shena menatap cowok itu, "ada apa, Kak?" "Nanti sore, kamu luang enggak?" Tanyanya yang mendapatkan cukup banyak perhatian dari orang-orang. Sofya pun hanya bisa menatap keduanya dengan menyembunyikan senyumnya. "Sorry Kak, gue sibuk." Jawab Shena yang membuat raut wajah cowok itu berubah kecewa. "Oh, oke. Kalau gitu kapan kamu luangnya?" Tanya cowok itu tidak menyerah. Shena mengangkat kedua bahunya acuh, "sibuk terus! Kakak bisa ajak yang lain." Setelah mengatakan itu, Shena langsung meninggalkan cowok itu tanpa mengatakan sepatah kata pun. Shena tersenyum sinis, tidak mau peduli dengan seberapa malunya cowok itu karena penolakannya. Cowok itu belum tahu sikap Shena yang sebenarnya, terlalu percaya diri karena dia adalah anak baru. Mereka pikir, Shena cewek lemah yang tidak akan mempermalukan mereka. Jika itu yang ada dalam pikiran mereka. Itu salah besar. "Lo sadar 'kan Shen, baru nolak siapa? Dia ketua basket di sekolah kita, lho." Ucap Sofya. "Biarin aja! Cowok cuma modal ganteng yang bisanya bikin baper cewek-cewek doang. Bukan tipe gue banget." Jawab Shena seadanya. Setelah sampai di kantin, mereka mendekat ke arah meja di mana sudah ada Liliana, Rilo, Nandan, dan juga Albi di sana. Shena menatap kedua mata Albi yang tajam. Tetapi akhirnya Albi lah yang memutus kontak mata mereka dengan melihat ke arah lainnya. Shena merasakan ada yang bergetar di saku roknya. Cewek itu mengambil ponselnya, membuka sebuah pesan dari seseorang. Dadanya rasanya sesak tiba-tiba, kepalanya pusing, Shena seperti pohon yang hendak dicabut akarnya. Cewek itu mencari pegangan, takut terhuyung dan jatuh seperti beberapa saat sebelumnya. Shena tidak mau orang lain tahu apa yang terjadi kepadanya. Pandangan matanya benar-benar kabur dan dadanya sesak, sangat sesak. Shena memejamkan matanya sejenak, sebelum dia sadar ada yang tengah memegangi lengannya. Tatapannya jatuh kepada sosok Albi yang tengah menopang tubuhnya. Cowok itu menarik lengan kanan Shena untuk dikalungkan di lehernya. Albi mengambil ponsel Shena dan memasukkannya ke dalam sakunya. Albi membawa Shena menjauh dari kantin, di mana banyak pasang mata menatap ke arah mereka. Penasaran, dengan apa hubungan keduanya. Albi tidak membawa Shena ke UKS ataupun ke kelas. Albi membawa Shena ke bawah pohon di mana dia biasanya menyendiri. Cowok itu mendudukkan Shena yang masih terengah-engah. Tangannya mulai bergetar hebat, Albi kenal sekali dengan gejala seperti ini. Melihat kondisi Shena, dia tahu betul apa yang dialami Shena. Albi berjongkok di depan cewek itu, meraih kedua tangan Shena dan menggenggamnya. Berharap Shena bisa lebih tenang dan setidaknya mengurangi rasa tidak nyaman itu. "Tenang!" "Lo aman!" "Ada gue. Tenang!" Mungkin itu beberapa kata yang Shena dengar keluar dari mulut Albi untuk menenangkannya. Keringat membasahi dahi Shena, wajahnya pun pucat. Albi sebenarnya tidak suka dengan Shena, tetapi dia cukup tahu tentang kondisi Shena setelah melihatnya. Albi tidak tahu apa prediksinya benar atau tidak. Namun, dia kasihan apabila prediksinya itu memang terbukti. "Lepasin," ketus Shena ketika dia sudah mulai tenang. "Lepas!" Marah Shena karena Albi tidak mau menuruti kemauannya. "Lo bisa tenang enggak?" Sebal Albi dengan nada penuh penekanan. "LEPASIN! ANJING" "DIAM! JANGAN TERIAK SAMA GUE!" Teriak Albi lebih keras daripada Shena. Shena tertegun menatap Albi, "apa? Lo mau apa lagi?" "Sialan!" Umpat Albi di depan wajah Shena. "Lo cewek paling kurang ajar, enggak tahu sopan santun, enggak tahu terimakasih, keras kepala, sok kuat, intinya Lo cewek sialan yang pernah gue temuin." Segala macam ucapan tidak mengenakkan keluar dari mulut Albi karena kesal. "Harusnya Lo berterimakasih sama gue. Bukannya malah teriak-teriak kaya orang yang enggak punya tata krama sama sekali. Asal Lo tahu ya, gue enggak peduli Lo cewek atau bukan. Tapi Lo enggak berhak untuk teriak-teriak atau melakukan hal sesuka hati Lo. Memangnya Lo siapa?" Shena terdiam dengan d**a yang naik turun. "Gue nyesel bantuin Lo!" "b*****t!" Umpat Albi akhirnya. Melepaskan semua unek-unek di kepalanya kepada Shena. Kata-kata itu terus terngiang di kepala Shena. Seperti kaset rusak yang terus berulang. Ada orang lain yang pernah mengumpatinya lebih dari itu dan kurang lebih sama. Shena memejamkan matanya sejenak. Mungkin akan lebih lega jika dia bisa menangis. Sayangnya, tidak bisa. Shena benci tidak bisa menangis. •••••
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD