“Kamu dari kantor polisi kan sebelum pulang? Sudah kamu cabut laporanmu di kantor polisi?”
Andra langsung mencecar Sonya dengan pertanyaan begitu membukakan pintu rumahnya untuk wanita yang masih menjadi istri sahnya itu.
Sonya melirik sekilas ke arah Andra sambil mengambil kopernya yang baru saja di keluarkan oleh supir taksi.
“Bisa bantu aku membawa koper ini ke dalam, Mas?” tanya Sonya sambil memperbaiki posisi Reyna yang rewel dalam gendongannya.
Andra berdecih kemudian berjalan mendekati Sonya.
“Jawab dulu pertanyaanku, Sonya!” geram Andra begitu berada di depan Sonya.
“Mas lihat kan Reyna sedang rewel? Apa tidak bisa kita bicara di dalam?”
“Tidak. Aku mau memastikan hal itu dulu sebelum mengizinkanmu menginjakkan kakimu kembali di rumahku.”
Sonya mengigit bibirnya, menahan geram sekaligus pedih mendengar ucapan suaminya itu. Andra benar-benar sudah bersikap seperti orang lain. Bahkan dia tidak menggunakan kata ‘dek’ dan ‘mas’ dalam setiap percakapan mereka.
Sonya menarik napas dalam kemudian membuangnya secara kasar untuk menenangkan kembali emosinya, “Aku sudah mencabut laporan itu sebelum kembali ke sini,” jawab Sonya sambil menatap tajam Andra.
“Bagus!” Andra tersenyum puas kemudian mengambil koper yang di bawa oleh Sonya.
Sonya berjalan dengan cepat meninggalkan Andra terlebih dahulu karena ingin membaringkan Reyna yang sudah lelah terus berada dalam gendongannya.
“Assalamualaikum,” ucap Sonya begitu masuk ke dalam rumah.
Tidak ada yang menjawab salamnya karena suasana rumah memang masih sangat sepi. Apa memang hanya ada Andra di dalam rumah itu, Sonya tidak begitu memikirkannya. Dia hanya ingin segera membaringkan Reya di atas tempat tidur agar anaknya segera bisa beristirahat dengan baik.
“Astagfirullahaladzim!” ucap Sonya terkejut begitu membuka kamarnnya.
Tampak seorang wanita sedang berbaring tidur di atas tempat tidurnya. Sangat jelas terlihat bahwa wanita itu sedang dalam keadaan polos tanpa busana karena selimut yang sedang dipakainya tidak menutup sempurna tubuhnya.
Sebuah tangan menariknya dengan kasar keluar dari kamar itu.
“Kamu ngapain ke sana sih!” ucap Andra yang emosi meskipun menggunakan nada berbisik.
Andra segera menutup kembali pintu kamar itu dengan sangat pelan agar Diana tidak terganggu dari tidurnya.
“Kenapa dia tidur di kamar kita, Mas?”
“Kamar kita?” Andra menyeringai, “Sekarang kamar itu menjadi kamar kami, Sonya. Kamu dan Reyna bisa tidur di kamar belakang. Itu juga kalau kamu mau. Kalau gak mau ya sudah, silahkan keluar lagi. Dengan catatan, aku tidak akan menanggungjawabi Reyna lagi,” ancam Andra.
“Jangan coba-coba menyuruh Diana untuk melakukan tugas apapun di rumah ini. Kami sedang program anak, jadi dia tidak boleh capek. Dia akan memberikanku anak-anak yang sempurna. Tidak seperti kamu!”
Sonya menutup kedua matanya. Kepedihan ini sudah sangat sempurna dirasakannya.
“Kita harus ke rumah sakit pagi ini untuk memeriksakan Reyna pada Dokter pediatric oftalmologinya. Mas ikut kan? Ini urgent, Mas. Kita harus cepat sebelum kita kehilangan donor mata untuk Reyna,” ucap Sonya.
“Kamu pergi saja sendiri. Aku dan Diana mau jalan-jalan hari ini. Kami sudah menghabiskan waktu semalaman untuk bergulat panas. Jangan lagi bebani dengan anak cacat ini!”
“Kamu bapaknya, Mas!” ucap Sonya dengan suara bergetar. Matanya mulai panas namun sekuat tenaga Sonya menghalangi air mata itu keluar.
“Terus kenapa? Kamu ibunya kan? Kamu urus saja anak itu, aku yang membiayai. Adil kan?”
Tangan Sonya mengepal kuat. Sonya mengambil kopernya yang ada di dekat Andra dan segera berjalan menuju ke kamar belakang. Dia harus segera bersiap-siap untuk membawa Reyna ke rumah sakit. Dia hanya butuh uang dari suaminya itu dan tidak lagi mengharapkan hal lainnya. Meminta perhatian Andra atas anaknya merupakan hal terperih dalam hidupnya. Jauh lebih perih dari pada kehadiran istri madu yang tiba-tiba dibawa oleh suami dan mertuanya kemarin.
Sakit hati yang di torehkan oleh suaminya membuat Sonya tanpa sengaja mendorong kuat saat menutup pintu kamarnya. Suara menggelegar seketika menggaung di ruangan itu. Diana yang tadinya tertidur tiba-tiba tersentak bangun. Sambil sempoyongan dia berjalan keluar dari dalam kamarnya dengan mengenakan selembar selimut untuk menutupi tubuh polosnya.
“Suara apa tadi itu, Mas?” tanya Diana pada Andra yang masih berdiri kaku di depan pintu kamar mereka.
“Tidak ada, Sayang. Kamu buruan mandi ya. Hari ini kita kan mau jalan-jalan kan?”
Diana langsung menganggukkan kepalanya dengan wajah begitu sumringah. Dengan cepat dia kembali masuk ke dalam kamar untuk mandi dan bersiap untuk pergi bersama Andra.
“Kamu sengaja kan membanting pintu tadi karena cemburu dengan aku dan Diana?”
Andra membuka pintu kamar Sonya dengan kasar.
“Aku sama sekali tidak cemburu, Mas. Lakukanlah apapun yang kamu ingin lakukan dengan Diana.” Sonya berusaha menahan amarahnya. Tangannya sibuk memasukkan perlengkapan Reyna untuk berkonsultasi siang itu.
“Bohong! Kamu pasti cemburu. Semua hal itu tidak akan terjadi jika kamu tidak melahirkan anak cacat itu, Sonya.” Andra berdiri di depan pintu sambil melihat sinis kearah Reyna.
“Sebenarnya kamu jauh lebih cantik dan menarik. Itu alasan utamaku menikahimu,” lanjutnya.
Sonya memilih mengabaikan apapun yang dikatakan oleh Andra. Dia tetap fokus pada persiapannya untuk membawa Reyna ke rumah sakit.
“Sayang!” panggil Diana yang baru saja selesai mandi.
“Kamu sudah selesai?” Andra memutar tubuhnya ke arah sumber suara.
“Kamu gak mandi, Sayang?” Tangan Diana bergelayut manja di leher Andra.
“Setelah ini mas mandi ya. Kamu wangi banget sih. Menggoda sekali. Mas jadi pengen.” Andra menciumi pipi dan leher Diana.
Sonya dengan sengaja berjalan keluar dari kamar melewati Andra dan Diana sambil menggendong Reyna. Dia langsung masuk ke dalam kamar mandi bersama Reyna. Begitu selesai membersihkan dirinya dan Reyna, Sonya kembali ke dalam kamarnya.
Sonya menghelakan napas lega begitu melihat Diana dan Andra sudah tidak ada di depan kamarnya lagi.
“Tanda tangani ini!” ucap Sonya sambil melemparkan sebuah kertas dan pulpen ke atas meja yang ada di depan Andra dan Diana yang sedang bersantai menikmati teh mereka di depan televisi.
“Apa ini?” tanya Andra bingung.
“Baca!”
Andra mengambil kertas yang dimaksud oleh Sonya itu dan membacanya. Tak lama kemudian tawanya pecah dan lepas begitu selesai membaca isi surat itu.
“Apa ini? Kamu ingin aku menandatangi surat perjanjian konyol ini? Menceraikanmu, membiayai kebutuhan hidup dan sekolah Reyna, memberi fasilitas baby sitter untuk Reyna selama kamu bekerja, dan membelikan rumah untuk Reyna?”
“Ya,” jawab Sonya singkat dan tegas.
“Atas dasar apa kamu menuntut semua ini padaku?”
“Aku dan Reyna juga berhak hidup tenang dan bahagia, bukan cuma kamu, Mas.”
Tawa Andra semakin membesar dan lepas.
“Kamu jangan ngelunjak, Sonya. Sudah di kasih makan gratis malah kurang ajar!!”
“Kamu hanya perlu bersih-bersih rumah, Sonya. Lumayan kan uang untuk menggaji pembantu bisa untuk biaya makan kamu dan Reyna sehari-hari,” timpal Diana sambil tersenyum dan menatap sinis Sonya.
Sonya membalas tatapan Diana kemudian beralih suaminya.
“Bukti visumku kemarin masih ada. Aku bisa menggunakannya untuk menuntutmu lagi, Mas. Di tambah dengan foto luka memar yang aku alami dan foto pernikahan siri kalian. KDRT dan perselingkuhan, aku pastikan reputasimu akan hancur dalam sekejap. Kali ini aku tidak akan mencabut lagi laporanku jika kamu tidak segera menandatangani surat perjanjian ini. Aku pastikan kalian berdua akan mendekam di penjara begitu aku melaporkannya.”
Wajah Andra seketika memerah. Dia tidak menyangka Sonya yang selama ini penurut dan pendiam bisa mengancamnya seperti ini. Sementara Diana terlihat pucat pasi begitu mendengar ancaman yang di lontarkan Sonya. Tak pernah terbayangkan bagaimana kehidupannya nanti jika masuk ke dalam penjara.
“Sudah, Mas. Tanda tangani saja surat perjanjiannya. Biarkan dia pergi,” ucap Diana dengan gusar.
Tangan Andra bergetar menahan amarah. Dengan emosi diambilnya sebuah pulpen yang tadi di letakkan oleh Sonya dan menandatangani surat perjanjian itu di atas sebuah materai.
“Dia juga harus menandatangani surat itu sebagai saksi.” Sonya mentap tajam ke arah Diana.
Diana dengan cepat mengambil kertas dan pulpen dari tangan Andra dan menandatangani surat itu.
“Ini. Sudah kan? Pergilah yang jauh dan jangan pernah kembali,” ucap Diana sambil memberikan surat perjanjian yang sudah di tanda tangani itu kepada Sonya.
Sonya mengambil surat perjanjian yang dibuatnya dan memeriksa bagian tanda tangan Andra dan Diana.
“Lakukan semua poin yang aku minta mulai sekarang. Aku dan Reyna akan keluar dari rumah ini,” ucap Sonya dengan tegas.
***
“Kita sudah sampai, Bu,” ucap supir taksi itu yang menyadarkan Sonya dari lamunannya.
Sonya segera mengambil uang dari dalam dompetnya dan membayar biaya perjalanannya. Setelah itu, dengan cepat Sonya keluar dari dalam taksi dan berjalan menuju ke resepsionis rumah sakit megah itu.
“Ada yang bisa saya bantu, Bu?” tanya resepsionis begitu melihat Sonya berdiri di depannya.
“Saya ingin berkonsulltasi dengan dokter pediatric oftalmologi.”
“Sudah mendaftar sebelumnya?”
“Reservasi belum, tapi dokternya tahu saya harus segera berkonsultasi dengannya,” jawab Sonya.
“Baik, boleh tahu nama pasiennya?”
“Reyna Putri Artawilaga.”
“Sebentar saya daftarkan dulu.”
Resepsionis itu mulai sibuk dengan komputernya sementara Sonya menunggu sambil menimang tubuh Reyna dalam gendongannya.
“Baik, anak ibu sudah di daftarkan di poli anak dengan dokter Ricky, spesialis pediatric oftalmologi. Ibu berjalan lurus. Setelah sampai ujung, ibu belok kiri. Nanti bisa ibu baca di papan keterangan setiap ruangan,” jelas resepsionis itu.
“Terima kasih.”
Sonya berjalan mengikuti instruksi dari resepsionis tadi. Sonya terus memperhatikan setiap papan yang tertempel di atas setiap pintu ruangan yang di laluinya.
“Sonya?” ucap seseorang yang melihat Sonya melintas di depannya.
Sonya menghentikan langkahnya dan memutar tubuhnya untuk melihat siapa yang tadi menyebut namanya.
“Da-David?” wajah Sonya menegang begitu melihat siapa yang dilihatnya sekarang.
David segera berjalan mendekati Sonya.
“Mau berkonsultasi dengan dokter Ricky?”
Sonya menganggukkan kepalanya.
“Mari aku antar. Tidak perlu mengantri lagi. Kita harus cepat.”
Sonya menganggukkan kepalanya setuju.
“Tapi kenapa wajahmu lebam seperi ini?” tanya David serius sambil melihat wajah Sonya yang penuh pola berwarna biru serta luka.
“Oh itu-itu karena kemarin aku jatuh dari tangga rumahku. Tidak apa-apa. hanya memar sedikit.” Sonya tersenyum palsu demi menutupi hal yang sebenarnya terjadi. Dia tidak ingin siapapun tahu tentang apa yang terjadi di rumah tangganya sekarang.
“Kita bisa pergi sekarang?” tanya Sonya lagi.
David yang dari tadi memperhatikan wajah lebam Sonya tersadar. Meskipun dia tidak begitu yakin dengan alasan Sonya mengenai lebam di wajah Sonya tapi dia tidak punya hak untuk mencampuri hal itu.
“Ayo, aku antar menemui Dokter Ricky.”