BAB 1 - ABDI DALEM BARU
Punggung Gendis terasa dingin, basah oleh keringat, padahal udara siang itu belum sepenuhnya menusuk. Gerbang Ndalem Suryawinata menjulang tinggi di depannya, ukiran naga kembar yang menatap kosong seolah menghakimi setiap inci keberanian yang tersisa di d**a.
Sebuah gerbang kokoh dari kayu jati, tingginya melebihi tiga kali tubuhnya, seolah menjadi portal ke dunia lain, dunia yang sama sekali tidak pernah dia bayangkan sebelumnya akan dia injak, apalagi sebagai seorang abdi dalem atau pembantu rumah tangga.
"Gendis, jangan nglamun! Ayok, masuk sekarang! Jangan bikin masalah di hari pertama!" Suara Mbah Kismo, mandor abdi dalem yang keriput tapi cekatan, terdengar tajam di sampingnya, membuyarkan lamunan gadis itu.
Mbah Kismo menatapnya dengan tatapan tanpa ampun, seolah sudah tahu betapa rapuhnya Gendis di balik kain kebaya sederhana yang baru saja dia kenakan.
Gendis menghela napas, berusaha menelan gumpalan pahit di tenggorokan. "Nggih, Mbah," jawabnya pelan, suaranya nyaris berbisik.
Rasanya seperti ada tangan tak kasat mata yang mencekik lehernya. Gadis itu menunduk, mengikuti Mbah Kismo yang sudah melangkah terlebih dulu. Setiap langkah kakinya di atas lantai batu andesit yang dingin terasa seperti langkah menuju jurang.
"Lihat ke sekelilingmu, Gendis," bisik Mbah Kismo, kini suaranya lebih rendah, tetapi masih mengandung peringatan. "Ini Ndalem Suryawinata. Bukan pasar atau warung kopi. Di sini ada aturan, ada unggah ungguh, ada aturan yang tertulis, dan yang tidak tertulis."
Mata Gendis menyapu ke sekelilingnya. Di tengah area halaman depan terdapat pendopo terbuka yang harus menaiki beberapa anak tangga untuk menujunya, dihiasi oleh bunga-bunga yang beraneka warna di bawahnya, sementara di kedua sisi di ujung pendopo ada pintu samping yang atasnya terbuka.
Mbah Kismo berjalan menuju ke pintu samping yang sebelah kiri, Gendis masih mengekor di belakang. Saat melewati pendopo, dilihatnya langit-langit pendopo yang begitu tinggi dan berukir rumit. Di empat sudutnya terdapat tiang-tiang penyangga yang besar, serta beberapa perabot kursi dan meja yang terbuat dari kayu tampak berada di tengah pendopo.
Saat memasuki pintu samping, tampak tembok bangunan rumah berdiri kokoh di samping kanan dengan jendela-jendela besar yang menghadap ke area samping yang dihiasi tanaman perdu yang menempel di tembok pagar sebelah kiri.
Udara di dalam Ndalem terasa sangat berbeda, lebih berat dan pekat dengan aroma melati kering bercampur kemenyan. Semuanya terasa membeku dalam waktu, seakan-akan modernisasi tidak pernah berani menyentuh dinding-dinding yang kokoh ini.
"Jaga sikap, jaga bicara. Jangan banyak tanya, jangan banyak komentar. Kerjakan apa yang disuruh," lanjut Mbah Kismo, tanpa menoleh sambil terus berjalan. "Dan yang paling penting… jangan pernah tunjukkan keahlian yang nggak pada tempatnya."
Gendis mengernyit. "Keahlian apa, Mbah?" tanyanya, bingung.
Mbah Kismo berhenti mendadak, membuat Gendis nyaris menabraknya. Perempuan tua itu berbalik dan menatap Gendis dengan mata yang menyipit.
"Kamu pikir aku nggak tahu siapa kamu? Kamu juru rias dari kota, ‘kan? Yang katanya punya 'tangan dingin'?" Nada Mbah Kismo penuh selidik. "Di sini, tanganmu cuma untuk bersih-bersih, mencuci, melayani, bukan untuk merias wajah bangsawan, itu urusan ningrat sendiri, atau juru rias khusus mereka. Kamu paham?"
Gendis hanya mengangguk, jantungnya berdebar kencang. “Bagaimana Mbah Kismo tahu? Mungkin dari Ibu,” batinnya resah.
Rasa panas mulai menjalari pipi, bukan karena malu, tapi karena marah. Marah pada keadaan yang memaksanya menelan kebanggaan itu begitu dalam.
"Nggih, Mbah. Paham," jawab Gendis, menunduk lagi.
Sebuah kebanggaan yang dulu menjadi napas hidupnya, kini harus dia kubur dalam-dalam. Kuas-kuas, palet warna, semua alat tempurnya sebagai juru rias profesional yang diakui banyak orang, kini teronggok di tas lusuh di rumah ibunya yang sempit, tertutup debu, sama seperti jiwanya.
"Bagus. Sekarang ikut aku. Aku tunjukkan kamarmu dan tugas-tugas awalmu."
Gendis mengangguk dan mengekor, mengikuti Mbah Kismo. Saat tiba di area belakang, tampak pendopo belakang yang berfungsi sebagai teras belakang rumah. Di ujung halaman belakang sebelah kanan terdapat dapur kotor yang di lengkapi dengan area sumur timba dan kamar mandi, sedangkan di ujung halaman sebelah kanan terdapat koridor yang memanjang dan sepi menghadap ke arah area halaman, tempat jemuran baju.
Mbah Kismo melewati koridor tersebut, sesekali mereka berpapasan dengan abdi dalem lain yang semuanya menunduk hormat ke Mbah Kismo. Tidak ada senyum atau sapaan ramah yang terlihat, yang ada hanya tatapan kosong, seolah mereka semua adalah bagian dari arsitektur Ndalem yang statis.
"Ini kamarmu, kecil sih, tapi bersih," ujar Mbah Kismo, menunjuk ke sebuah bilik di ujung lorong yang paling belakang. Di sana hanya ada ranjang tipis, lemari kecil, dan sebuah meja lipat. Jauh sekali dari studio riasnya yang dulu penuh cermin dan cahaya.
"Tugasmu hari ini, mulai dari membersihkan pendopo utama, menyapu halaman dalam, dan menyiapkan air siraman di kamar mandi tamu," instruksi Mbah Kismo. "Lalu, sore nanti, kamu bantu di dapur. Ada acara penting besok, jadi semua harus sempurna."
“Nggih, Mbah," Gendis mengangguk, mencoba menunjukkan kesigapan.
Seharian itu, Gendis bekerja tanpa henti. Tangannya yang dulu lincah menorehkan eyeliner secara presisi, kini sibuk menggosok lantai marmer yang tidak kunjung bersih. Punggungnya terasa pegal, kaki pun nyeri, dan hatinya terus-menerus berteriak protes.
Dilihatnya pantulan wajahnya di salah satu cermin antik di pendopo. Wajah yang kusam, tanpa riasan. Gendis teringat bagaimana dulu dia bisa mengubah wajah paling lelah sekalipun menjadi cerah berseri-seri hanya dengan sentuhan kuasnya. Tapi sekarang, dia bahkan tidak punya waktu untuk merawat dirinya sendiri.
"Hati-hati, Gendis! Jangan sampai air sabunnya menetes ke karpet itu!" tegur seorang abdi dalem senior bernama Yu Painah saat melihat Gendis yang sedang membersihkan vas besar.
"Nggih, Yu," Gendis segera menyeka tetesan air itu dengan kain lap. "Maaf."
"Di sini, kalau salah sedikit saja, akibatnya bisa fatal. Apalagi kalau salah di depan Gusti Kanjeng Putri Endah," bisik Yu Painah sambil mendekat ke arah Gendis dengan matanya melirik ke sekeliling, memastikan tidak ada yang mendengar percakapan mereka. "Gusti Putri itu keras. Dia itu sangat menjaga nama baik Ndalem ini."
"Gusti Kanjeng Putri Endah?" tanya Gendis penasaran, karena rasanya dia baru mendengar nama itu.
"Iya, yang punya Ndalem ini. Semua keputusan ada di tangannya," jelas Yu Painah. "Jangan sampai bikin dia murka. Kamu bisa langsung diusir tanpa ampun."
Gendis mengangguk, menelan ludah. "Terima kasih, Yu, sudah mengingatkan."
Menjelang sore, setelah semua tugas beres, Gendis duduk di ambang pintu kamarnya, merasa lelah luar biasa sambil melihat area jemuran baju yang telah kosong, rupanya semua baju sudah diambil, tidak seperti tadi pagi saat dia datang, banyak sekali kain-kain batik, beskap dan kebaya yang indah dan bagus bergantungan di tiang jemuran.
Aroma melati yang tadi terasa pekat kini mulai membuatnya mual. Dipejamkan matanya sesaat, membayangkan kuas-kuasnya, mencoba mengingat rasanya memegang bulu lembut itu di antara jemarinya. Sebuah hobi yang menjadi profesi, kini hanya menjadi sebuah kenangan yang menyakitkan.
Hutang mendiang ayahnya yang menumpuk, biaya operasi ibunya yang mendesak, semua itu membuatnya terpaksa. Semua ini demi Ibu dan keluarga. Gendis berusaha meyakinkan dirinya sendiri, kalau semua ini hanyalah sementara.
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat. Mbah Kismo berdiri tepat di depannya, dengan ekspresi serius.
"Gendis," panggilnya.
Gendis segera membuka mata dan berdiri. "Nggih, Mbah?"
"Ada tugas penting. Malam ini, dan besok pagi," kata Mbah Kismo. "Kamu ditugaskan untuk melayani... calon mempelai pria."
Mata Gendis membulat. "Calon mempelai pria? Maksud Mbah... Gusti Bagas?"
Mbah Kismo mengangguk. "Betul. Raden Mas Bagas Narendra. Beliau besok akan menjalani prosesi pertunangan. Malam ini, kamu bantu siapkan pakaiannya, dan pastikan kamarnya bersih dan harum. Besok pagi, kamu yang menyiapkan air mandinya, memijat kakinya, dan membantu mengenakan busana adatnya."
Rasa kaget melanda Gendis. Melayani langsung sang pangeran? Bukankah itu tugas abdi dalem yang sudah lama mengabdi, bukan dirinya yang baru sehari bekerja?