BAB 2 - PERTEMUAN PERTAMA

1391 Words
"Tapi, Mbah… saya ‘kan masih baru," Gendis mencoba menolak, rasa gugup mulai merayapi hatinya. "Nggak ada tapi-tapian!" potong Mbah Kismo tegas. "Ini perintah langsung dari Gusti Kanjeng Putri Endah Suryawinata. Katanya, beliau ingin tangan baru yang melayani Gusti Bagas agar energi pernikahannya murni. Jadi jangan membantah!" Gendis tidak punya pilihan. Dia hanya mengangguk pasrah. "Nggih, Mbah." Mbah Kismo pun berbalik seraya berkata, "Kamar Gusti Bagas ada di lantai dua sayap timur. Sekarang juga kamu ke sana, jangan sampai beliau menunggu." Perempuan tua itu kemudian berlalu meninggalkannya. Gendis bergegas merapikan kebayanya lalu menutup pintu bilik dan berjalan cepat menuju ke lantai dua sayap timur Ndalem. Jantungnya berdebar tidak karuan. Ada rasa takut, cemas, tapi juga sedikit rasa penasaran. Dia belum pernah melihat Raden Mas Bagas Narendra secara langsung, hanya mendengar desas-desus tentang pewaris Ndalem Suryawinata itu. Rumor yang dia dengar, Raden Mas Bagas itu tampan, tinggi dan berkharisma, sama seperti ayahnya dan dia juga cerdas, terampil dalam menjalankan bisnis kain batik warisan keluarga yang sudah turun temurun. Hingga akhirnya Gendis tiba di depan sebuah pintu ganda yang terbuat dari kayu ukir mahoni, disisi-sisi pintu ada rangkaian melati yang menjuntai ke bawah. Gendis yakin kalau itu kamar sang calon mempelai. Dengan ragu diketuknya pintu tersebut. "Masuk," terdengar suara berat dari dalam. Perlahan dibukanya pintu itu hingga berderit lirih. Aroma cendana dan tembakau halus menyambutnya, menguar di udara. Kamar itu jauh lebih besar dari rumah ibunya yang sempit. Sebuah ranjang berukir empat tiang mendominasi ruangan, tirai sutra tampak menjuntai megah. Di tengah ruangan, seorang pria tinggi, dengan rambut hitam disisir rapi ke belakang, sedang duduk membelakanginya di depan sebuah cermin yang besar. Laki-laki itu mengenakan beskap berwarna biru tua, menunjukkan bahunya yang kokoh. Itu pasti Raden Mas Bagas Narendra. Gendis membungkuk hormat. "Nuwun sewu, Gusti. Saya Gendis, abdi dalem yang ditugaskan untuk melayani Anda malam ini dan besok pagi." Pria itu tidak bergerak. Hanya tatapan matanya di cermin yang bertemu dengan mata Gendis yang berdiri di belakangnya. Mata laki-laki itu teduh, tajam, tetapi di baliknya tersimpan sesuatu yang tidak terdefinisikan, seperti adanya sebuah kehampaan atau mungkin kesedihan? Sekejap, Gendis merasa terhisap ke dalam tatapan itu, melupakan sejenak posisinya, melupakan semua aturan. Gadis itu merasakan sensasi yang aneh, seolah ada percikan listrik yang tiba-tiba melesat di antara mereka, memecah keheningan yang mencekam di dalam Ndalem Suryawinata. Gendis menahan napas. Tatapan Bagas Narendra di cermin memang menghujam, seolah menelanjangi setiap selubung yang dia pakai. Bukan tatapan menghakimi seperti ukiran naga di gerbang Ndalem, juga bukan tatapan kosong para abdi dalem lain, tapi ada sesuatu yang lain di sana, sesuatu yang sunyi. Sebuah ketenangan yang aneh, kontras dengan gemuruh hiruk-pikuk Ndalem yang dia rasakan sepanjang hari. Pria itu tinggi, tegap, dengan rahang tegas yang diukir waktu dan mungkin juga beban. Rambutnya hitam legam, disisir rapi, tetapi beberapa helainya tampak memberontak di pelipis. Di balik beskap biru tua, Gendis bisa melihat bahu yang kokoh, otot yang terbentuk, bukan dari kerja keras, melainkan dari latihan dan mungkin juga keturunan. Gendis membungkuk lebih dalam, berusaha memutus kontak mata yang terlalu intens itu. "Nuwun sewu, Gusti," ulangnya, mencoba menormalkan suaranya yang sedikit tercekat. "Saya Gendis, abdi dalem yang ditugaskan untuk melayani Anda malam ini dan besok pagi." Bagas menghela napas, sangat pelan, nyaris tak terdengar. Laki-laki itu akhirnya memalingkan pandangannya dari cermin, menoleh sedikit ke arah Gendis. Wajahnya tetap datar, tanpa emosi yang kentara. Namun, gadis itu bisa merasakan ada semacam gelombang energi yang melingkupi pria itu. Bukan aura angkuh, tapi lebih seperti perisai yang tak kasat mata. "Kamu abdi dalem baru?" tanya Bagas, suaranya terdengar berat dan dalam. Bahasa yang dia gunakan lebih halus, tapi bukan bahasa baku kaku ala pejabat. Itu bahasa ningrat yang terbiasa dihormati. "Nggih, Gusti," jawab Gendis, menunduk lagi. Gadis itu tidak berani menatap. "Baru hari ini saya mulai bekerja." "Hmm…" Bagas kembali menatap cermin. Namun, kini tatapannya lebih tertuju pada bayangan Gendis di belakangnya. "Mbah Kismo yang mengutusmu?" "Nggih, Gusti." "Baiklah," balas Bagas, pria itu tidak bertanya lebih lanjut, tidak menunjukkan ekspresi apa pun. Dingin, persis seperti yang Yu Painah katakan tentang karakter bangsawan di Ndalem ini. "Pakaian untuk acara besok sudah disiapkan?" Gendis mendongak sedikit. Di sudut ruangan, tergantung rapi di patung manekin kayu tanpa kepala, ada sebuah beskap berwarna cokelat tua dengan motif batik parang rusak yang rumit, lengkap dengan blangkon, keris, dan kain jarik yang senada. "Sudah, Gusti," jawabnya. "Semua sudah siap." "Bagus." Bagas melirik ke beskap yang dikenakannya. "Bantu aku melepaskan ini dan siapkan air hangat untuk mandi," lanjutnya sambil berdiri menghadap ke arah Gendis. "Nggih, Gusti." Gendis segera mendekat ke arah Bagas, tangannya gemetar saat menyentuh kancing beskap yang terbuat dari emas. Aroma cendana dan tembakau halus dari tubuh Bagas menyergap indranya, entah mengapa terasa begitu memabukkan. Gadis itu berusaha fokus, melepas kancing itu satu per satu dengan hati-hati. Kulit Bagas terasa hangat di bawah sentuhan jarinya yang tidak sengaja. "Maafkan saya, Gusti," bisik Gendis saat kancing terakhir terlepas. Bagas tidak merespons, hanya tetap berdiri tegak, membiarkan Gendis melakukan tugasnya. Setelah beskap terlepas, Gendis segera menyampirkannya ke kursi lalu beralih ke kamar mandi, membuka kran air panas yang sudah tersedia di bathup yang besar dan panjang. Setelah memastikan kehangatan air, Gendis keluar dari kamar mandi. "Air hangat sudah saya siapkan di kamar mandi, Gusti," ujar Gendis sambil menunjuk ke sebuah pintu kayu berukir di sisi kanan. Bagas mengangguk. "Aku akan mandi sebentar. Sementara itu, kamu siapkan pakaianku yang lain dan setelah itu…" Dia berhenti, menoleh lagi ke Gendis. "Tolong siapkan minyak pijat. Mbah Kismo bilang, ada sesi pijat wajah dan tubuh untuk kesiapan mental sebelum ritual. Kamu bisa, ‘kan?" Gendis terkesiap. Pijat wajah? Itu bagian dari pekerjaannya sebagai juru rias, bukan abdi dalem. Tangannya sudah sangat terbiasa dengan kontur wajah, otot-otot halus di bawah kulit. Namun, ini adalah pekerjaan yang sama sekali berbeda, dengan niat yang berbeda. "Nggih, Gusti," jawab Gendis, mencoba menyembunyikan keterkejutannya. "Akan saya siapkan." Bagas lalu berjalan menuju ke kamar mandi tanpa suara. Gendis menghela napas lega saat pintu tertutup. Dia segera mencari minyak pijat yang mungkin sudah disiapkan Mbah Kismo, atau setidaknya, dia harus meraciknya sendiri dari bahan-bahan yang ada. Syukurlah, di lemari kecil di sudut kamar, ada beberapa botol berisi minyak esensial cendana dan melati. Gendis segera mencampurkan keduanya dengan sedikit minyak kelapa, menciptakan ramuan yang aromanya menenangkan. Sembari menunggu Bagas, Gendis mengatur pakaian pria itu dan diletakkan di atas ranjang, memastikan tidak ada lipatan yang salah. Kain jarik, beskap, blangkon, dan sabuk keris. Semuanya tampak mewah, terbuat dari bahan yang terbaik. Gendis membayangkan dirinya merias Bagas, bukan sebagai abdi dalem, tapi sebagai seorang perias. Sebuah senyum pahit tersungging di bibirnya. Dia harus mengubur jauh-jauh bayangan itu. Tak lama kemudian, pintu kamar mandi terbuka. Bagas keluar, hanya mengenakan kain jarik yang melilit di pinggang. Rambutnya basah, meneteskan air ke bahu dan dadanya yang bidang. Aroma sabun herbal bercampur dengan cendana dan melati, menciptakan perpaduan yang memabukkan. Gendis segera menunduk, berusaha menyembunyikan pandangannya yang tidak sengaja terpaku pada tubuh Bagas. "Sudah siap semua?" tanya Bagas sambil duduk di tepi ranjang, menghadap ke arah Gendis. "Sudah, Gusti," jawab Gendis, mendekat sambil membawa mangkuk berisi minyak pijat dan handuk bersih. "Apa Gusti ingin berbaring?" Bagas mengangguk, lalu berbaring telungkup di ranjang besar di atas selembar kain yang sudah disiapkan Gendis, pakaiannya terletak di samping kanan. "Mulai dari punggung dulu." Gendis lalu naik ke atas ranjang dan duduk bersimpuh di sisi ranjang sebelah kiri. Tangannya sedikit gemetar saat menuangkan sedikit minyak ke telapak tangannya. Keahlian meriasnya kini harus diubah menjadi keahlian memijat. Dia mulai memijat punggung Bagas yang bidang, laki-laki itu tampak melenguh nikmat sambil memejamkan mata. Setelah selesai memijat punggung, Gendis beralih ke lengan sang pangeran sebelah kiri yang kekar lalu beralih ke sebelah kanan. “Nuwun sewu, Gusti. Saya mau mijat lengan yang sebelah kanan. Gusti bisa berbalik,” pinta Gendis lirih. Tanpa ragu laki-laki itu segera membalikkan tubuhnya dan menatap Gendis tajam. Gadis itu hanya bisa menunduk sambil memijat lengan, menghindari tatapan sang pangeran yang memperhatikannya tanpa berkedip. Begitu selesai memijat lengan Bagas, Gendis segera turun dari atas ranjang seraya berkata, “Nuwun sewu, Gusti. Sekarang saya mau pijat wajahnya,” ujarnya sambil menaruh mangkuk di atas meja lalu menggeret kursi dan menaruhnya di depan ranjang, sementara Bagas memposisikan kepalanya di atas bantal yang terletak di tepi ranjang. Gendis lalu duduk di kursi itu, menghadap tepat ke arah wajah Bagas. “Nuwun sewu, Gusti. Saya pijat wajahnya.” Bagas hanya mengangguk sambil memejamkan mata.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD