BAB 3 - SENGATAN LISTRIK

1027 Words
Gendis mulai memijat wajah Bagas. Dengan lembut diusapkan minyak di dahi Bagas terlebih dulu, lalu turun ke pelipis, tulang pipi, dan dagu. Setiap sentuhan terasa begitu intim, seolah sedang membaca peta wajah sang pangeran, mengenali setiap lekukan dan ketegangan. Dipijatnya wajah tampan itu dengan presisi, menggunakan teknik pijat wajah yang biasa dia terapkan untuk melemaskan otot sebelum merias, membuat kliennya terlihat lebih segar dan rileks. Bagas yang awalnya tampak kaku dan tegang, akhirnya perlahan bisa merasakan ketegangan di rahangnya yang mulai mengendur. Otot di antara alisnya yang semula berkerut samar, kini menjadi lebih rileks. "Apakah pijatan saya terlalu keras, Gusti?" tanya Gendis, suaranya pelan, nyaris berbisik sambil terus memijat wajah ningrat itu. Bagas tidak membuka mata. Namun, mulutnya setengah membuka dan berkata, "Nggak," gumamnya, suaranya terdengar sedikit serak. "Hanya… beda, nggak seperti yang lain." Gendis mengernyitkan dahi. "Beda bagaimana, Gusti?" tanyanya, memberanikan diri sambil mengurut pipi laki-laki itu ke atas dengan jemarinya yang lentik. Bagas menghela napas panjang, yang kini terdengar lebih santai. "Sentuhanmu… nggak seperti biasa, nggak seperti abdi dalem yang lain yang pernah memijatku. Rasanya… lebih ringan, tapi sampai ke dalam." Gendis merasakan pipinya mulai memanas. "Maafkan saya, Gusti. Saya akan berusaha lebih baik." “Bagus!” batinnya bersorak, ada sedikit rasa bangga yang tidak bisa dia tahan dalam hatinya. “Aku memang beda, Gusti. Karena aku 'kan perias profesional, bukan tukang pijat biasa!” batinnya lagi dalam hati sambil tersenyum tipis Gendis lalu melanjutkan pijatannya, kini lebih berhati-hati, tapi tetap dengan sentuhan khasnya, sentuhan pemijat profesional. Gadis itu menggunakan ibu jarinya untuk memijat lembut area bawah mata, lalu naik ke pelipis, memutar perlahan, melemaskan otot-otot yang mungkin tegang karena banyak pikiran. "Kamu sering memijat ya?" tanya Bagas, matanya masih terpejam, menikmati setiap sentuhan gadis itu yang sangat terasa di wajahnya yang lelah. Gendis menelan ludah. Ini pertanyaan yang berbahaya. "Saya… saya sering membantu Ibu saya memijat, Gusti," jawabnya, setengah berbohong. Dia memang sering memijat ibunya, tapi itu hanya sebagai latihan, sebagai bagian dari risetnya tentang bagaimana sentuhan bisa memengaruhi wajah seperti yang diajarkan oleh guru pijat terapinya. "Hmm…." Kali ini gumaman Bagas terdengar lebih serius dan mendalam. Dibuka matanya sedikit lalu mendongak ke atas, menatap ke arah Gendis. "Tanganmu… kenapa terasa begitu halus? Tidak seperti abdi dalem yang lain yang tangannya terasa kasar." Gendis buru-buru menarik tangannya sebentar, berpura-pura mengambil lebih banyak minyak dan menggosok-gosokkan di tangannya. "Saya… saya menjaga tangan saya, Gusti," jawabnya gugup. Bagas hanya mengangguk lalu menutup matanya lagi. "Oke, teruskan," ujarnya santai. Gendis pun melanjutkan pijatannya, kali ini pindah ke area leher dan bahu. Gadis itu merasakan otot-otot Bagas yang keras dan kaku di bawah sentuhannya, tapi bukan otot yang kaku karena tegang, melainkan padat dan kuat. Gadis itu memijat dengan gerakan memutar, melepaskan simpul-simpul kecil di bahu Bagas, membuat pria itu melenguh nikmat. Ada aura kelelahan yang terpancar dari tubuh sang pangeran, bukan kelelahan fisik, melainkan sesuatu yang lebih dalam. Seolah beban sebuah takdir sedang menindihnya. "Apa ada yang perlu saya perbaiki, Gusti?" tanya Gendis lagi, mencoba memecah keheningan yang semakin intim di antara mereka berdua. "Nggak," jawab Bagas, kini suaranya terdengar lebih santai, "terus saja seperti itu. Pijatanmu enak." Gendis pun terus memijat, setiap sentuhannya adalah sebuah komunikasi non-verbal. Dia berusaha memberikan yang terbaik, bukan hanya sebagai abdi dalem, tetapi juga sebagai seorang seniman yang memahami anatomi tubuh dan emosi di baliknya. Laki-laki itu pun tampak semakin rileks, napasnya mulai melambat dan teratur. Setelah hampir satu setengah jam, akhirnya Gendis selesai memijat wajah Bagas. Diusapnya sisa minyak dengan handuk hangat seraya berkata, “Sudah selesai, Gusti. Sampun.” "Terima kasih, Gendis," balas Bagas sambil bangkit lalu terduduk di atas ranjang, punggungnya membelakangi gadis itu, sementara suaranya kini terdengar benar-benar tenang. Laki-laki itu lalu memutar leher dan meregangkan bahunya ke belakang. Wajahnya terlihat lebih segar dan matanya tidak lagi memancarkan kehampaan seperti yang Gendis lihat tadi. "Sama-sama, Gusti," jawab Gendis, menunduk. "Sekarang, apa Gusti mau mengenakan pakaian?" Bagas mengangguk. Gendis segera mengambil beskap dan kain jarik yang sudah dia siapkan sedari tadi lalu membantu pria itu mengenakan kain jarik dengan hati-hati, melipatnya dengan presisi yang sempurna, kemudian mengenakan beskap, memastikan kancing-kancingnya terpasang rapi. "Terakhir, selendang ini, Gusti," ujar Gendis sambil mengambil selendang batik yang tipis dan indah. Dia berdiri di belakang Bagas yang kini berdiri di depan cermin besar, lalu melingkarkan selendang itu di bahu sang pangeran, menyilangkannya di d**a, dan menyematkan jarum kecil. Saat Gendis menyematkan jarum terakhir, gadis itu sedikit condong ke depan. Bagas, yang sedang mematut diri di cermin, tiba-tiba mengangkat tangannya. Mungkin ingin menyesuaikan selendangnya sendiri atau mungkin terkejut dengan kedekatan Gendis. Entah bagaimana, gerakan itu membuat jari-jari mereka bersentuhan. Hanya sekejap, tapi cukup mengejutkan keduanya. Sebuah percikan listrik yang nyata melesat dari jari Bagas ke jari Gendis, lalu menyebar ke seluruh lengan, hingga ke jantungnya. Anehnya baru kali ini dia rasakan, padahal sedari tadi Gendis sudah memegang jemari Bagas, tapi tidak merasakan sengatan listrik seperti ini. Rasa dingin, panas, dan getaran aneh yang tidak terlukiskan membuat gadis itu terkesiap, kaget, matanya pun membulat. Ditariknya tangannya sendiri dengan cepat, seolah seperti tersengat. Jantungnya berdebar sangat kencang, lebih kencang dari sebelumnya. Bagas pun hanya terdiam, tatapannya di cermin kini tidak lagi sunyi, melainkan terkejut. Matanya bertemu dengan mata Gendis melalui pantulan cermin, dan di sana, gadis itu melihat sedikit kerentanan atau mungkin kebingungan. "Maaf, Gusti," bisik Gendis, suaranya tercekat, berusaha keras mengendalikan napasnya yang memburu. "Saya nggak... nggak sengaja." Bagas tidak menjawab. Laki-laki itu hanya terus menatap Gendis melalui pantulan cermin, seolah mencoba menguraikan teka-teki yang baru saja terjadi. Jari-jarinya yang tadi menyentuh Gendis kini sedikit mengepal. Keheningan yang mencekam kembali menyelimuti ruangan. Namun, kali ini, keheningan itu dipenuhi oleh gema dari sentuhan yang tidak terduga. Gendis merasakan sesuatu yang baru saja terbangun di antara mereka, sesuatu yang berbahaya, yang melanggar semua aturan kasta, dan dia harus segera melarikan diri dari tatapan Bagas yang tiba-tiba begitu mengunci dirinya. Gendis harus segera pergi, sebelum percikan itu berubah menjadi api yang akan melahap segalanya, termasuk dirinya sendiri. Tapi, dia tidak bisa bergerak. Gadis itu hanya berdiri di sana, terperangkap di antara cermin, tatapan Bagas, dan rasa aneh yang baru saja melanda, seolah-olah takdir baru saja menuliskan babak lain untuk mereka berdua dan itu adalah babak yang sangat terlarang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD