BAB 14 - SEBUAH PEMBELAAN

1482 Words
Beberapa hari kemudian, ritual siraman Bagas akan segera dimulai dan Nyi Roro kepala Abdi Dalem bagian rumah tangga sudah berdiri di sana, mengawasi setiap gerak-gerik Gendis seolah dia adalah seekor tikus yang siap menodai upacara suci. “Pastikan semuanya berjalan dengan baik, Gendis. Jangan ada kesalahan sedikit pun,” ujar Nyi Roro. “Nggih, Nyi Roro,” bisik Gendis lirih sambil menunduk dalam, tangannya gemetar meraih sebuah kendi perak berukir rumit. Gadis itu berusaha keras agar suaranya tidak bergetar sementara semua abdi dalem yang lain tampak sibuk hilir mudik menyiapkan sesajen dan perlengkapan ritual, mereka mengabaikan percakapan singkat itu. Namun, Gendis tahu, mata-mata Ndalem Suryawinata selalu ada di mana-mana. “Pastikan air siraman itu murni, Gendis,” Nyi Roro menambahkan, melangkah lebih dekat, aroma melati dari sanggulnya menusuk hidungnya. “Nggak ada noda atau kotoran apalagi... tangan kotor.” Nyi Roro menekankan kata terakhir, tatapannya menyapu tangan Gendis yang baru saja membersihkan beberapa helai kelopak bunga melati yang jatuh ke lantai marmer. Gendis mengepalkan tangannya di balik punggung, kuku-kukunya menusuk telapak tangannya sendiri. “Sabar, Gendis… sabar,” ujarnya sambil menghela napas, lalu berbalik, mengambil langkah menuju meja panjang tempat air kembang tujuh rupa harus disiapkan. Di atas meja itu, tujuh wadah perak telah berjajar, masing-masing berisi jenis bunga yang berbeda, mulai dari mawar merah, melati putih, kenanga kuning, kantil putih, sedap malam, cempaka, dan melati gambir. Tugas Gendis adalah memilah setiap kelopak, memastikan tidak ada yang layu ataupun cacat, lalu merendamnya dengan air suci dari tujuh mata air keramat yang sudah disiapkan dalam gentong tanah liat besar. Proses itu sendiri memakan waktu, membutuhkan ketelitian luar biasa, dan Gendis sudah merasa energinya terkuras habis bahkan sebelum memulai. Seharian ini, dia sudah bekerja keras, mempersiapkan segala kebutuhan ritual siraman. Mulai dari membersihkan pendopo, menata sesajen, hingga menyiapkan kain batik khusus untuk upacara. Tubuhnya terasa remuk redam, punggungnya pegal, dan kepalanya berdenyut. Dia yakin Nyi Roro sengaja memberinya tugas-tugas berat ini, berharap dia melakukan kesalahan. Gendis mulai bekerja, tangannya lincah memilah kelopak mawar merah, satu per satu, kelopak yang sempurna dimasukkannya ke dalam wadah baru yang sudah berisi air bening. Aroma bunga-bunga mulai memenuhi pendopo, bercampur dengan bau kemenyan yang samar, menciptakan suasana sakral. Namun, menyesakkan bagi Gendis. “Kamu terlihat seperti baru saja berlari maraton, Gendis,” sebuah suara rendah berbisik di sampingnya. Gendis tersentak kaget hingga hampir saja menjatuhkan kelopak mawar itu. Dia mendongak, dan matanya bertemu dengan mata Bagas Narendra. Bagas berdiri di sana, mengenakan beskap putih sederhana yang belum dihias, tetapi auranya sudah memancar kuat. Matanya memancarkan kekhawatiran yang tulus. “Gusti Bagas,” bisik Gendis dan buru-buru menunduk lagi, hatinya berdebar kencang. Dia mencoba mengabaikan sentuhan mata itu dan kerinduan yang tiba-tiba menyeruak. “Hamba... hamba baik-baik saja, Gusti.” Bagas menghela napas, suaranya terdengar lelah. “Jangan bohong, wajahmu kelihatan pucat sekali dan tanganmu... kenapa gemetar?” Gendis menyembunyikan tangannya di balik wadah bunga. “Nggak, Gusti. Hamba hanya... sedikit lelah, bukan masalah besar.” “Bukan masalah besar?” Bagas mengulang, kini melangkah lebih dekat, suaranya lebih rendah. “Kamu sudah bekerja tanpa henti sejak fajar, bahkan tadi malam, aku melihatmu masih membersihkan lilin di pendopo.” Gendis tidak menjawab, dia tahu kalau Bagas mengawasinya laki-laki ini benar-benar peduli padanya dan hal itu justru membuatnya semakin takut. Setiap perhatian Bagas adalah pedang bermata dua yang bisa melukai mereka berdua. “Gendis!” sebuah suara melengking tajam memecah keheningan. Nyi Roro, kepala Abdi Dalem bagian rumah tangga, menghampiri mereka dengan langkah cepat, tatapannya menyala marah. “Kenapa kamu masih saja berdiam diri? Air kembang itu belum selesai kamu siapkan! Gusti Bagas sudah siap dimandikan!” Gendis memucat karena Nyi Roro selalu ketat, tapi nada suaranya kali ini lebih keras, seolah sengaja ingin mempermalukannya di depan Bagas. “Maaf, Nyi Roro,” bisik Gendis sambil buru-buru menggerakkan tangannya lagi, memilah kelopak melati. “Maaf? Maaf saja nggak cukup, Gendis!” Nyi Roro berseru, melangkah lebih dekat, dan tiba-tiba tangannya menyambar salah satu kelopak mawar yang sudah Gendis pilah. Perempuan paruh baya itu meremasnya kuat-kuat di depan wajah Gendis. “Ini semua harus sempurna! Jangan sampai ada cacat sedikit pun! Kamu pikir kamu sedang berada di rumahmu sendiri, hah? Malas-malasan begini?” Mata Gendis melebar, rasa perih menjalar di dadanya. Itu adalah penghinaan yang telanjang. “Nyi Roro, cukup!” suara Bagas tiba-tiba menggelegar, membuat Nyi Roro terkesiap dan membeku di tempat. Bagas melangkah di antara Gendis dan Nyi Roro, punggungnya kokoh melindungi Gendis. “Jangan ngomong seperti itu ke Gendis. Dia sudah bekerja keras, aku melihatnya sendiri.” Nyi Roro menelan ludah, wajahnya memucat. Dia tidak menyangka kalau Bagas akan membela seorang Abdi Dalem rendahan. “Tapi, Gusti... hamba hanya ingin memastikan semua berjalan lancar. Ini ritual penting...” “Aku tahu ini ritual penting,” Bagas memotong, suaranya tetap tenang. Namun, penuh otoritas. “Dan aku juga tahu kalau Gendis melakukan pekerjaannya dengan baik, biarkan dia menyelesaikan tugasnya tanpa diganggu.” Nyi Roro menunduk dalam, tidak berani membantah lagi. “Nggih, Gusti. Maafkan hamba.” Perempuan itu lalu melirik ke arah Gendis dengan tatapan yang masih penuh kebencian, sebelum berbalik dan pergi dengan langkah terburu-buru. Gendis masih berdiri di belakang Bagas, terdiam. Jantungnya berdebar sangat kencang. Bagas telah membelanya di depan semua orang, di tengah persiapan ritual suci. Perasaan campur aduk menyeruak tidak karuan, mulai dari rasa terima kasih, rasa takut, dan gejolak cinta yang tidak bisa dibendungnya lagi. Bagas berbalik, menatap Gendis, matanya melembut. “Kamu baik-baik saja?” Gendis mengangguk pelan. “Nggih, Gusti. Terima kasih.” “Aku sudah bilang, jangan panggil aku Gusti,” bisik Bagas, tatapannya penuh permohonan. “Di sini... di sini, kamu bisa memanggilku Mas Bagas lagi, hanya kita berdua.” Gendis merasakan pipinya memanas, permintaan itu terasa begitu berat, di tengah Ndalem yang penuh mata-mata, sebuah deklarasi yang berbahaya. “Mas Bagas...” bisik Gendis lirih. Nama, itu terasa asing dan sekaligus begitu akrab di lidahnya. Tiba-tiba, suara langkah kaki yang anggun. Namun, tegas terdengar mendekat. Aroma melati yang lebih pekat dan mewah, menyebar di udara. Gusti Kanjeng Endah Suryawinata muncul dari lorong, mengenakan kebaya beludru hijau tua yang mewah, diiringi Nyi Roro yang memasang senyum tipis dan puas. Mata Endah menyapu pemandangan di depannya, dimana Bagas yang berdiri terlalu dekat dengan Gendis, Abdi Dalem rendahan yang masih memegang kelopak bunga. Ekspresi Gusti Endah berubah menjadi dingin. “Bagas!” suara Gusti Endah menusuk, tajam seperti belati. “Apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu berdiri di sini, mengganggu persiapan ritualmu sendiri? Dan kenapa kamu membentak Nyi Roro?” Bagas menghela napas, dia tahu pertarungan akan segera dimulai. Laki-laki itu melangkah sedikit maju, seolah melindungi Gendis di belakangnya. “Ibu, Nyi Roro tidak seharusnya berbicara kasar ke Gendis, dia sudah bekerja sangat keras.” Gusti Endah mendengus, matanya menyala marah. “Bekerja keras atau nggak, dia adalah Abdi Dalem dan harus tahu posisinya! Dan kamu, Bagas, kamu itu calon pengantin! Kamu harus menjaga wibawamu! Apa kata orang kalau melihatmu membela seorang pelayan seperti itu?” ujar Gusti Endah marah. Gusti Endah menatap ke arah Gendis dengan pandangan merendahkan, seolah gadis itu adalah sampah. “Apalagi seorang pelayan yang bahkan tidak becus menyiapkan air kembang dengan cepat!” Gendis merasakan jantungnya mencelos. Ingin rasanya membela diri, tetapi dia tahu hal itu akan sia-sia. “Ibu, Gendis nggak salah.” Bagas bersikeras, suaranya sedikit meninggi. “Dia hanya kelelahan, tugas-tugas yang diberikan padanya terlalu banyak.” “Kelelahan? Omong kosong!” Gusti Endah memotong tajam. “Itu bukan urusanmu, Bagas! Tugasmu adalah fokus pada pernikahanmu, kewajibanmu sebagai pewaris Tumenggung Suryawinata! Bukan membela seorang Abdi Dalem yang tidak tahu diri!” Mata Gusti Endah kali ini menatap Bagas dengan intensitas yang mengerikan, seolah mencoba menembus pertahanan anaknya. “Kamu terlalu lembut, Bagas! Terlalu mudah terpengaruh dan kamu tidak boleh menunjukkan kelemahan seperti itu di Ndalem ini!” Nyi Roro tersenyum tipis di belakang sosok Gusti Endah, menikmati pemandangan itu, matanya melirik ke arah Gendis dengan tatapan mengejek. “Ibu, aku tidak menunjukkan kelemahan!” Bagas membantah, suaranya kini dipenuhi frustrasi. “Aku hanya... aku hanya manusia biasa yang tahu bagaimana memperlakukan orang lain dengan hormat!” “Hormat? Hormat itu diberikan pada yang setara, Bagas! Bukan pada yang di bawah!” Gusti Endah berseru, suaranya meninggi, menarik perhatian beberapa Abdi Dalem lain yang pura-pura sibuk di sekitar mereka. “Kamu lupa siapa dirimu? Kamu lupa siapa yang akan kamu nikahi? Kamu lupa konsekuensi dari melanggar tatanan kasta yang sudah ada sejak dulu?” Bagas terdiam, rahangnya mengeras. Kata-kata ibunya menusuknya begitu dalam, mengingatkannya pada beban yang selama ini dia pikul. Gusti Endah melangkah lebih dekat ke Bagas, tatapannya tidak pernah lepas. “Kamu harus ingat, Bagas. Ndalem Suryawinata ini punya mata di mana-mana dan aku nggak akan membiarkan siapa pun, terutama wanita rendahan itu,” Gusti Endah mengedikkan dagunya ke arah Gendis tanpa meliriknya, “mengganggu masa depanmu. Masa depan Ndalem ini!” Gendis merasakan darahnya berdesir, ancaman itu terasa begitu nyata dan dingin.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD