BAB 15 - GULUNGAN KERTAS

1189 Words
Dinding dapur yang sempit kini adalah satu-satunya dunia Gendis. Bau rempah dan asap masakan menjadi teman setianya sehari-hari, menggantikan aroma melati dan cendana yang dulu mengelilinginya. Gadis itu bekerja tanpa henti, memotong sayuran, mengulek bumbu, mencuci piring-piring porselen yang tidak terhitung jumlahnya. Setiap gerakannya diiringi tatapan Nyi Roro yang tajam, atau sesekali, tatapan Karto yang melintas di ambang pintu, seperti elang yang mengawasi mangsa. Beberapa hari setelah pengasingannya ke dapur, Nyi Roro tiba-tiba datang dengan perintah baru. “Gendis!” suara Nyi Roro melengking, memecah keheningan dapur yang sedang sepi. Gendis, yang sedang membersihkan noda minyak di lantai, tersentak. “Nggih, Nyi Roro?” Gendis buru-buru berdiri, menunduk dalam. Nyi Roro melipat tangannya di depa d**a, tatapannya menyapu Gendis dari ujung rambut hingga ujung kaki. “Mulai besok, tugasmu ditambah. Kamu juga akan membersihkan kamar-kamar utama, termasuk kamar Gusti Bagas.” Darah Gendis berdesir dingin. Kamar Bagas? Itu adalah tempat yang paling dia hindari. Tempat yang penuh kenangan dan bahaya. “Tapi, Nyi Roro… bukankah kamar Gusti Bagas biasanya dibersihkan oleh Abdi Dalem yang lain?” Nyi Roro mendengus. “Itu bukan urusanmu! Gusti Putri Endah yang memerintahkan langsung. Katanya, semua Abdi Dalem harus merasakan semua tugas dan kamu, Gendis, harusnya bersyukur diberi kesempatan menginjakkan kaki di tempat terhormat seperti itu lagi!” Ada nada mengejek dalam nada suaranya, seolah Nyi Roro tahu persis betapa tersiksanya Gendis dengan tugas itu. “Pokoknya, besok pagi-pagi, kamu harus sudah ada di sana. Jangan sampai ada debu sekecil apapun yang tertinggal. Mengerti?” Gendis menelan ludah. “Nggih, Nyi Roro. Hamba mengerti.” Malam itu, Gendis tidak bisa tidur. Bayangan kamar Bagas, dengan semua barang pribadinya, mulai dari tempat tidur, meja, lemari, semuanya memenuhi benaknya. Dia tidak bisa membayangkan betapa sulitnya menjaga jarak di tempat yang begitu intim. Ini pasti ulah Gusti Endah Suryawinata. Sebuah cara baru untuk menyiksanya, untuk menguji batasnya, atau mungkin, untuk memancingnya melakukan kesalahan. Keesokan pagi, dengan jantung berdebar seperti genderang perang, Gendis melangkahkan kakinya ke lorong-lorong yang sudah lama tidak dia kunjungi. Lorong menuju kamar-kamar utama, begitu sampai di depan pintu kamar Bagas, ditariknya napas dalam-dalam. Jari-jarinya gemetar saat mendorong pintu yang sedikit terbuka. Ruangan itu sunyi, hanya aroma cendana samar-samar tercium di udara, pemilik kamar ini pasti sudah sibuk mengurus perusahaan kain batik yang diwariskan secara turun temurun. Kamar Bagas adalah cerminan dirinya yang rapi, elegan. Namun, ada sentuhan maskulin yang kuat. Tumpukan buku-buku tampak tersusun rapi di atas meja yang ada di samping tempat tidur, beberapa gulungan kertas juga terletak di sana, sementara sebuah tempat tidur besar dengan sprei batik yang rapi terletak di tengah ruangan. Gendis mulai membersihkan, gerakannya hati-hati, seolah takut mengganggu aura penghuni ruangan. Gadis itu mulai menyapu lantai, membersihkan debu dari perabotan ukiran, dan menata kembali buku-buku yang sedikit berantakan. Dia berusaha untuk tidak terlalu fokus pada barang-barang pribadi Bagas, tetapi setiap sentuhan pada buku atau pena terasa seperti sentuhan pada Bagas sendiri. Saat sedang membersihkan meja kerja, matanya tanpa sengaja menangkap sesuatu yang tersembunyi di balik tumpukan buku-buku tebal. Sebuah gulungan perkamen tua yang tampak lusuh, dan sedikit menguning. Gulungan kertas itu bukan gulungan kertas biasa, bentuknya tidak beraturan, seolah digulung terburu-buru. Rasa ingin tahu Gendis pun membuncah. Seharusnya dia tidak menyentuh barang pribadi Bagas, apalagi yang tersembunyi seperti ini. Namun, ada dorongan kuat dari dalam hati yang tidak bisa dia lawan. Dengan tangan gemetar, Gendis meraih gulungan perkamen itu sambil melirik ke arah pintu, memastikan tidak ada siapapun yang tiba-tiba muncul dari sana. Lalu, perlahan, dia membukanya. Itu adalah sebuah peta, bukan peta Ndalem yang biasa dilihatnya di dinding, yang dicetak rapi dan formal. Ini adalah peta yang digambar dengan tangan dan tinta yang sudah memudar di beberapa bagian. Peta itu menunjukkan Ndalem Suryawinata, tetapi dengan detail yang mengerikan. Ada garis-garis samar yang menunjukkan lorong-lorong tersembunyi, ruangan-ruangan kecil yang tidak pernah diketahui keberadaannya, bahkan beberapa tanda silang merah di tempat-tempat yang diyakini adalah area terlarang. Jantung Gendis berpacu kencang. “Ini bukan peta biasa, tapi sebuah peta rahasia, rahasia yang Bagas simpan,” batinnya resah, “apa peta ini ada hubungannya dengan kutukan yang pernah Mas Bagas bilang?” gumam Gendis sambil mengamati peta tersebut. Gadis itu menelusuri garis-garis peta dengan ujung jarinya, pikirannya melayang, mencoba memahami setiap simbol dan tanda. Ada sebuah ruangan yang ditandai dengan lingkaran merah di bagian paling belakang Ndalem, di dekat area perpustakaan lama yang jarang dikunjungi. Di sana, tertulis samar-samar “Pusaka”. Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar menggema di lorong. Gendis tersentak, dia tidak salah dengar, langkah kaki itu berat, mantap, dan semakin mendekat, itu pasti Bagas! Gadis itu panik, dengan terburu-buru dia menggulung peta itu, tangannya gemetar hebat. Di mana dia harus menyembunyikannya? Tidak ada waktu! Gendis hanya bisa menyelipkannya ke balik punggung, di bawah kain pembersih yang dipegangnya. Pintu pun terbuka, Bagas tampak berdiri di ambang pintu, mengenakan kemeja batik sederhana dan celana panjang. Wajahnya tampak terkejut saat melihat Gendis di sana. “Gendis?” tanya Bagas heran, suaranya rendah, ada kerutan di dahinya. “Sedang apa kamu di sini?” Gendis menunduk, berusaha menyembunyikan kegugupannya. “Nggih, Gusti. Hamba ditugaskan Nyi Roro untuk membersihkan kamar Gusti.” Suaranya sedikit bergetar. Bagas pun melangkah masuk dan menutup pintu di belakangnya. “Membersihkan? Tapi ini… biasanya bukan tugasmu.” Matanya menatap Gendis dengan intensitas yang terlalu dalam, terlalu memahami. “Wajahmu pucat dan kamu… kenapa kamu gemetar?” Gendis memeluk kain pembersihnya erat-erat, seolah kain itu adalah perisai. Peta itu terasa seperti bara api di punggungnya. “Nggak ada apa-apa, Gusti. Hamba hanya… sedikit lelah.” “Lelah?” Bagas mendengus, sebuah desahan yang penuh kekhawatiran. Laki-laki itu melangkah lebih dekat, tatapannya tidak lepas dari wajah Gendis seraya berkata, “Atau ada hal lain yang mengganggumu? Sejak Ibu memindahkanmu ke dapur, kamu nggak pernah mau ngobrol lagi denganku, kamu selalu menghindar.” Gendis mencoba menjaga jarak. “Hamba nggak bisa, Gusti. Gusti Putri Endah melarang hamba dan Lik Karto… dia selalu mengawasi, setiap langkah hamba.” Gadis itu mencoba memberikan alasan yang masuk akal, berharap Bagas akan mengerti dan menjauh. “Aku tahu itu, Gendis,” ujar Bagas yang kini berdiri hanya beberapa langkah di depannya. Aroma cendana yang khas menyergap indra penciumannya, membuat gadis itu semakin gugup. “Tapi kita sudah berjanji, bukan? Kita akan mencari jalan keluar. Kita akan menemukan cara untuk mematahkan kutukan ini.” Gendis merasakan air mata menggenang di ujung kelopak matanya, mendesak ingin keluar. Bagaimana bisa dia bicara tentang janji itu sekarang, saat dia memegang rahasia Bagas di balik punggungnya? “Janji itu… terlalu berbahaya, Gusti. Saya nggak bisa. Ini… ini terlalu beresiko untuk kita.” Bagas menatapnya lurus, matanya menyipit, seolah mencoba menembus pertahanannya. “Apa yang kamu sembunyikan, Gendis?” Gendis menggeleng cepat. “Nggak ada, Gusti! Hamba… hamba mohon, jangan mempersulit hamba.” “Jangan mempersulitmu?” Bagas mengulang, suaranya kini terdengar sedikit dingin. “Gendis, kamu nggak bisa bohong sama aku. Aku tahu pasti ada sesuatu.” Matanya kini menunduk, mengamati tangan Gendis yang memeluk kain pembersih terlalu erat. Jemarinya yang panjang, terulur pelan, menuju ke arahnya, tepat ke balik punggung Gendis. “Apa itu, Gendis?” bisiknya, suaranya kini menusuk tajam, seolah dia sudah tahu apa yang Gendis sembunyikan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD