BAB 12 - MULAI DIAWASI

1430 Words
Beberapa hari berikutnya adalah neraka bagi Gendis. Gadis itu merasakan tatapan Karto mengikutinya kemanapun dia pergi. Karto, dengan seragam abdi dalem berwarna gelap dan tatapan mata elangnya, selalu memantau gerakan Gendis di setiap sudut, mulai dari dapur, pendopo, bahkan di taman belakang saat dia sedang menyapu. Karto tidak pernah bicara dengannya, hanya melintas, sesekali melempar pandangan sekilas yang penuh kecurigaan. Gendis berusaha keras untuk bertindak seolah tidak terjadi apa-apa, fokus pada pekerjaannya, menundukkan kepala, menghindari kontak mata dengan siapa pun, terutama dengan Bagas. Dia bahkan tidak berani lagi sekadar melirik ke arah Bagas saat pemuda itu lewat. Gendis tahu kalau Bagas mencarinya. Beberapa kali, dia bisa merasakan kehadiran bangsawan ningrat itu di dekatnya hanya dengan mencium aroma cendana yang khas, tetapi Gendis memaksakan diri untuk mengabaikan. Dia tidak bisa lagi memberi pria itu harapan dan melibatkan diri dalam bahaya ini. Namun, pengawasan itu bukan hanya perasaannya. Siang itu, Karto dengan langkah hati-hati memasuki ruang pribadi Gusti Kanjeng Putri Endah Suryawinata. Ruangan itu begitu sunyi, hanya dihiasi perabotan ukiran jati yang mahal dan lukisan-lukisan leluhur yang menatap tajam dari dinding. Gusti Endah duduk di kursi kebesarannya, sedang memilah surat-surat dengan ekspresi dingin. "Nuwun sewu, Gusti Putri," sapa Karto, membungkuk dalam, hampir menyentuh lantai. Suaranya rendah dan penuh hormat. Endah tidak mengangkat pandangannya. "Ada apa, Karto?" suaranya datar, tanpa emosi. "Nggih, Gusti Putri. Ada hal penting yang ingin hamba laporkan, terkait Gusti Bagas," lanjut Karto, suaranya sedikit bergetar. Gusti Endah akhirnya mengangkat kepala, matanya yang tajam menatap Karto. "Tentang Bagas? Apakah dia menunda lagi persiapan pernikahannya?" "Bukan... bukan tentang itu secara langsung, Gusti Putri," ujar Karto hati-hati. "Ini tentang perilakunya belakangan ini. Hamba melihat... keanehan." Endah mengerutkan kening. "Keanehan apa? Jangan bertele-tele, Karto. Ngomong yang jelas!" "Nggih, Gusti Putri." Karto menunduk lebih dalam. "Hamba telah mengamati Gusti Bagas sejak beberapa hari lalu, setelah sesi pemotretan untuk undangan." "Lalu?" "Beliau... sering mencari Abdi Dalem Gendis." Karto memulai laporannya, setiap kata diucapkannya dengan hati-hati. "Hamba melihatnya sedang ngobrol dengan Gendis di pendopo, cukup lama, dan terlalu... akrab untuk seorang Abdi Dalem dengan Gusti." Gusti Endah mendengus. "Bagas memang terlalu lembut hati, tapi itu bukan keanehan, hanya kurang disiplin." "Ada lagi, Gusti Putri." Karto memberanikan diri. "Pada malam itu, malam sebelum sesi pemotretan, Gusti Bagas memanggil Gendis ke ruang rias pribadi yang lama. Mereka berdua di sana, hingga menjelang subuh." Mata Endah menyipit. "Apa? Kamu yakin?" Nada suaranya sedikit meninggi, ada kilasan bahaya dan kemarahan di sana. "Hamba yakin, Gusti Putri. Hamba mendengar suara derit pintu, lalu langkah kaki Gendis keluar dari sana menjelang fajar." Karto menjelaskan. "Dan tadi malam... hamba melihat Gusti Bagas dan Gendis di paviliun samping. Gusti Bagas memegang tangan Gendis, dan mereka berbicara sangat... intim, Gusti." Endah meletakkan surat-suratnya, tatapannya kini membeku, dingin seperti es. "Memegang tangan? Berbicara intim? Apa ini maksudnya, Karto?" "Hamba nggak tahu pasti, Gusti Putri." Karto menunduk, pura-pura takut. "Tapi yang jelas, Gusti Bagas menunjukkan perhatian yang tidak wajar ke Gendis dan Gendis... tidak menolak dengan tegas, Gusti Putri, bahkan terkesan... menikmati." Gigi Gusti Endah bergemeletuk, sebuah urat menonjol di pelipisnya. "Karto, apa yang kamu katakan ini? Apa kamu ingin menghina nama baik Ndalem Tumenggung Suryawinata?" "Tidak, Gusti Putri! Hamba hanya melaporkan apa yang hamba lihat dan dengar!" Karto bersujud. "Gusti Bagas memang terlihat... terpengaruh oleh Gendis dan gadis itu, sepertinya memanfaatkan kesempatan ini." Gusti Endah terdiam sejenak, tatapannya kosong, tetapi pikirannya bekerja keras. Dia mengingat Bagas yang belakangan ini lebih murung, menentang bahkan enggan dengan persiapan pernikahannya. “Jadi ini penyebabnya.” Amarah yang membara mulai menjalar di dalam dirinya. Seorang abdi dalem telah berani mengganggu garis keturunan Suryawinata? Ini tidak bisa dimaafkan. "Bagas... anakku..." gumam Endah, lebih ke dirinya sendiri. "Dia terlalu mudah terpengaruh, terlalu lemah." Perempuan paruh baya itu menatap Karto lagi, matanya kini memancarkan tekad yang menakutkan. "Tapi Gendis... gadis itu, dia pasti yang memanipulasi Bagas." "Hamba juga berpikir demikian, Gusti Putri," sahut Karto cepat, merasa sedikit lega. "Ini nggak bisa dibiarkan," ujar Gusti Endah, suaranya kembali ke nada dingin yang penuh otoritas. "Garis keturunan Tumenggung Suryawinata nggak boleh tercemar oleh darah rendahan. Apalagi oleh seorang abdi dalem yang nggak tahu diri." "Lalu apa yang harus hamba lakukan, Gusti Putri?" tanya Karto. Gusti Endah menghela napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. "Mulai sekarang, Karto. Kamu tingkatkan pengawasan, bukan hanya Bagas, tetapi juga Gendis." "Maksud Gusti Putri?" "Aku ingin kamu mengawasi Gendis. Awasi setiap gerak-geriknya, perkataannya, orang yang dia temui," perintah Endah, suaranya kini terdengar seperti bilah pisau yang diasah. "Nggak boleh ada satu pun detail yang luput dari kamu. Laporkan semuanya ke aku segera." Karto menelan ludah. "Nggih, Gusti Putri, tapi... apa itu akan aman? Kalau Gusti Bagas tahu hamba mengawasi Gendis..." "Bagas nggak akan tahu dan kalau dia tahu, itu bukan urusanmu," potong Endah tajam. "Tugasmu adalah menjalankan perintahku. Aku nggak mau ada lagi keanehan di Ndalem ini. Apalagi yang berhubungan dengan w************n itu." "Nggih, Gusti Putri. Hamba mengerti." "Dan satu hal lagi, Karto." Endah menambahkan, suaranya lebih rendah dan mengancam. "Pastikan Gendis nggak pernah lagi mendekati Bagas. Kalau kamu lihat mereka berinteraksi terlalu dekat, kamu tahu apa yang harus kamu lakukan." Karto mengangguk cepat. "Nggih, Gusti Putri. Hamba akan pastikan dia menjauh dari Gusti Bagas." "Bagus." Gusti Endah akhirnya tersenyum tipis, senyum yang sama sekali tidak ramah. "Aku akan memberimu imbalan yang pantas kalau kamu berhasil menjaga kebersihan nama baik Ndalem ini." "Terima kasih banyak, Gusti Putri. Hamba akan melaksanakan perintah Gusti Putri dengan sebaik-baiknya." Karto membungkuk lagi, lalu mundur dari ruangan Gusti Endah, hatinya dipenuhi perasaan campur aduk. Ada rasa puas karena telah melaporkan Gendis, sekaligus ketakutan akan tugas baru yang begitu berat. *** Beberapa jam kemudian, Gendis sedang sibuk membersihkan perak-perak pusaka di ruang penyimpanan yang lembab. Gadis itu membungkuk, menggosok nampan perak dengan kain lembut, tetapi pikirannya jauh melayang. Dia masih merasakan tatapan Karto, yang kini terasa lebih intens dan sering memperhatikannya. Seolah-olah Karto benar-benar tidak akan membiarkannya lepas dari pandangan. Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat. Gendis tersentak, kaget hingga menjatuhkan nampan perak itu dengan bunyi dentingan keras di lantai marmer. Gadis itu berbalik, jantungnya berdebar sangat kencang. Karto berdiri di ambang pintu dengan seragam abdi dalem yang tampak lebih gelap di cahaya temaram ruangan. Wajahnya datar, tetapi matanya menatap Gendis dengan intensitas yang mengerikan, seolah sedang mengamati seekor tikus yang terperangkap. "Gendis…" panggil Karto, suaranya rendah, tanpa sapaan formal. Nada bicaranya berbeda dari biasanya, terasa ebih dingin. Gendis menelan ludah. "Nggih, Lik Karto?" Karto melangkah masuk, berhenti beberapa langkah di depannya. "Sepertinya kamu lupa posisimu di Ndalem Suryawinata ini." Gendis mengerutkan kening. "Maksud Lik Karto?" "Tugasmu adalah melayani. Bukan... mencari perhatian dari Gusti Bagas," ujar Karto sinis, setiap kata yang keluar dari mulutnya, diucapkan dengan penekanan yang menusuk. Rasa takut mulai mencengkeram Gendis. Karto pasti sudah melaporkannya. "Saya nggak mencari perhatian, Lik Karto." Gendis mencoba membela diri, suaranya terdengar gemetar. "Saya hanya menjalankan tugas saya." "Menjalankan tugas?" Karto mencibir. "Apa tugas seorang Abdi Dalem itu berduaan dengan Gusti Bagas di ruang rias sampai subuh atau berpegangan tangan di paviliun samping?" Gendis tersentak, wajahnya memucat. Ingin rasanya menyangkal, tetapi hal itu akan sia-sia belaka. Karto telah melihat semuanya. "Saya... saya bisa jelaskan, Lik Karto," bisik Gendis panik, berusaha mencari alasan. "Itu... itu hanya kesalahpahaman." "Nggak ada kesalahpahaman, Gendis," sela Karto cepat, tatapannya semakin dingin. "Mulai sekarang, kamu akan berada di bawah pengawasanku. Setiap saat, setiap hari. Aku nggak akan membiarkan kamu melakukan kesalahan lagi." Gendis menatap Karto dengan ekspresi cemas, matanya melebar karena ketakutan. "Pengawasan?" "Ya, pengawasan penuh." Karto mengangguk, sebuah senyum tipis, kejam, tersungging di bibirnya. "Dan kalau kamu berani melanggar aturan lagi, atau kamu berani mendekati Gusti Bagas lagi, maka... kamu akan berurusan langsung dengan Gusti Putri Endah. Kamu tahu ‘kan apa konsekuensinya?" Laki-laki paruh baya itu melangkah mendekat, menghampiri Gendis lalu membungkuk sedikit, suaranya kini seperti bisikan ular. "Aku nggak akan segan-segan untuk... menyingkirkanmu. Ingat itu!" desisnya. Gendis merasakan napasnya tertahan. Dia telah terperangkap, mulai hari ini dia harus menghindari Bagas atau menyembunyikan perasaannya, karena sekarang, setiap gerak-geriknya akan diawasi setiap detik. Ditatapnya Karto yang kini berdiri tegak, memancarkan aura ancaman yang nyata seraya berkata, "Dan jangan berpikir kalau kamu bisa sembunyi," lanjut Karto sinis, suaranya rendah, hampir seperti bisikan. "Karena aku akan ada di mana-mana, tepat di belakangmu." Gendis hanya bisa memejamkan mata, merasakan bahaya yang tidak terlihat itu kini mengikatnya erat. Mulai detik ini hidupnya di Ndalem Suryawinata ini akan berubah menjadi penjara yang nyata. Gadis itu tidak lagi bebas atau melakukan pertemuan rahasia dengan Bagas. Tidak ada lagi sentuhan yang terlarang yang ada hanya mata Karto yang mengawasinya, menunggunya melakukan kesalahan. Karto tidak akan main-main. Kali ini, Gusti Endah Suryawinata tidak hanya mengancamnya, tetapi juga menjadikannya bidak dalam permainan kejamnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD