"Aku kesepian, Gendis," Bagas melanjutkan, suaranya bergetar. "Sangat kesepian. Di Ndalem ini, aku dikelilingi ribuan orang, tapi nggak ada satu pun yang benar-benar melihatku. Mereka melihat gelarku, warisanku, pusakaku."
Laki-laki itu mencondongkan tubuh sedikit lebih dekat, tatapannya mengunci Gendis. "Tapi kamu... kamu melihat Bagas."
Gendis tidak bisa menahan air matanya lagi, dibiarkannya air mata itu mengalir di pipi, air mata yang bercampur antara ketakutan, kebingungan, dan rasa haru yang mendalam.
"Dan hal itu membuat aku bertanya-tanya, Gendis," bisik Bagas lirih, ibu jarinya mengusap lembut air mata yang mengalir di pipi Gendis. "Apa... apa yang akan terjadi kalau aku terus menjadi Bagas yang 'biasa' ini? Apa yang akan terjadi kalau aku... aku memilih untuk menjadi diriku sendiri, bersamamu?"
Gendis menahan napas, pertanyaan itu, diucapkan di tengah Ndalem yang sakral, di ambang fajar, terasa seperti bom waktu yang siap meledak.
"Aku tahu ini berbahaya," Bagas melanjutkan, suaranya penuh tekad. "Aku tahu ini gila, tapi... aku nggak bisa kembali ke diriku yang dulu, Gendis. Setelah aku merasakan sentuhanmu, merasakan kebebasan ini... aku nggak bisa."
Pria itu mendekatkan wajahnya lagi, matanya menatap Gendis dengan intensitas yang membakar. "Aku nggak akan bisa menikahi Lintang. Aku nggak bisa hidup tanpa merasa... hidup."
Jantung Gendis berdebar-debar sangat kencang, rasanya seperti lari maraton hingga berkilo-kilo jaraknya. Dia tahu ini salah, tetapi setiap serat dalam dirinya berteriak untuk percaya pada pria ini. Untuk memeluknya dan melepaskan semua aturan yang selama ini mengikatnya.
"Gendis…" Bagas memanggil, suaranya terdengar serak, "Aku nggak tahu apa yang harus aku lakukan, tapi aku tahu satu hal," ujarnya sambil menundukkan kepala dan bibirnya menyentuh dahi Gendis, sebuah sentuhan lembut yang penuh kerentanan.
"Aku... aku nggak ingin kehilanganmu, aku nggak mau kehilangan perasaan ini."
Gendis memejamkan mata, membiarkan sentuhan itu meresap ke dalam jiwanya. Perasaan dan keintiman ini, adalah bahaya yang paling manis yang pernah dia rasakan.
"Aku... aku nggak tahu, Mas Bagas," bisik Gendis lirih, suaranya terdengar parau. "Ini terlalu... terlalu besar risikonya."
"Risiko?" Bagas mengangkat kepalanya, menatap Gendis lagi, matanya penuh api. "Apa ada yang lebih berisiko daripada hidup sebagai mayat hidup dan menikahi orang yang nggak aku cintai? Apa ada yang lebih berisiko daripada... kehilangan diriku sendiri?"
Laki-laki itu mengambil napas dalam. "Aku nggak peduli dengan kasta, Gendis. Aku nggak peduli dengan gelar. Aku hanya peduli dengan... kebebasan, dengan diriku sendiri dan dengan... denganmu."
Dia melepaskan tangannya dari pipi Gendis, lalu meraih tangan Gendis yang masih memegang kotak rias. Jemarinya yang panjang mengusap punggung tangan Gendis, merasakan kehangatan yang familiar.
"Aku akan melawan semua ini, Gendis," Bagas bersumpah, suaranya penuh keyakinan yang menakutkan. "Aku akan melawan ibuku, melawan kasta. Aku akan melawan kutukan ini dan menemukan cara agar kita bisa... bisa hidup bebas, bersama."
Ditatapnya mata Gendis tajam, matanya memancarkan tekad yang membara, tetapi juga ada sedikit keraguan dan pertanyaan. "Gendis, maukah kamu... membantuku menemukan cara itu? Maukah kamu tetap di sisiku... sebagai dirimu sendiri?"
Gendis menatap mata Bagas yang memohon, mendengar tekadnya yang membara. Di satu sisi, dia tahu ini adalah kehancuran, tapi di sisi lain, ini adalah kesempatan untuk kebebasan yang sama-sama mereka dambakan.
Gadis itu melihat Bagas yang bukan lagi seorang bangsawan, ataupun pewaris, melainkan seorang pria yang putus asa yang mencarinya.
"Tapi... bagaimana?" tanya Gendis cemas, suaranya nyaris tidak terdengar. "Bagaimana kita bisa melawan semua ini, Mas?"
Bagas tersenyum, senyum yang begitu tulus dan langka. "Aku nggak tahu, tapi aku yakin, bersama kamu... kita akan menemukan caranya," ujarnya sambil meremas tangan Gendis.
"Aku nggak akan membiarkan kita berdua tercekik lagi dan membiarkan kita... kehilangan diri kita sendiri."
Sebuah keheningan panjang menggantung di antara mereka. Aroma melati dan cendana bercampur, menciptakan suasana yang memabukkan dan berbahaya. Gendis menatap kotak rias di tangannya, lalu ke mata Bagas. Kata-katanya, tatapannya, sentuhannya... semua itu menciptakan ikatan yang lebih kuat dari kasta apa pun.
"Aku akan mencarimu lagi, Gendis," ujar Bagas, suaranya lembut. Namun, tegas. "Aku akan mencari cara agar kita bisa bicara lagi seperti ini sebagai Bagas dan Gendis, bukan Gusti dan Abdi Dalem."
Gendis tidak menjawab. Dia hanya menatap Bagas, merasakan pusaran emosi yang mengancam menelannya. Gadis itu tahu, setelah malam ini, tidak ada jalan kembali. Mereka telah melangkah terlalu jauh dan dalam, sementara bahaya yang menanti mereka terasa sangat nyata.
Bagas mencondongkan tubuhnya sekali lagi, tetapi kali ini hanya untuk mengecup singkat punggung tangan Gendis, tepat di atas sendi jemarinya. Sentuhan itu begitu singkat, tetapi meninggalkan jejak panas yang membakar.
"Hati-hati, Gendis," bisik Bagas, lalu melepaskan genggaman tangannya dan berbalik, melangkah menuju pintu dan menghilang ke dalam koridor yang gelap, meninggalkan Gendis sendirian.
Gendis masih berdiri di tempatnya, terhuyung dan nyaris ambruk. Kotak riasnya jatuh dari tangan, terhempas ke lantai dengan bunyi pelan, kuas-kuasnya berhamburan di lantai. Dia tidak peduli yang dipedulikannya adalah jantungnya yang berdebar kencang, dan ucapannya Bagas yang terus terngiang di telinga.
“Maukah kamu tetap di sisiku... sebagai dirimu sendiri?”
Gadis itu menunduk, matanya menatap kuas-kuasnya yang berserakan di lantai marmer yang dingin. Lalu, pandangannya beralih ke cermin berukir emas, memantulkan sosok Gendis yang kacau, dengan air mata yang membasahi pipi dan di balik bayangannya, seolah berdiri sosok Bagas, menatapnya dengan penuh harapan.
Setelah malam ini, dia telah membuat pilihan yang sangat berbahaya, yang bisa mengorbankan segalanya, tetapi dia tidak bisa lagi berpura-pura atau menyembunyikan dirinya. Dia harus menjadi Gendis, bahkan jika itu berarti dia harus ikut melawan.
Gadis itu lalu berlutut, mengumpulkan kuas-kuas dengan tangannya yang gemetar, tetapi ada tekad baru yang membakar di dalam dirinya. Dilihatnya pintu yang tertutup rapat, di mana Bagas baru saja menghilang di sana.
“Bagas dan Gendis,” batinnya lirih. “Bukan Gusti dan Abdi Dalem.”
Tiba-tiba, dari luar pintu, Gendis mendengar derit halus, derit yang sama dengan yang dia dengar saat nyaris tertangkap bareng Bagas tempo hari lalu diikuti oleh langkah kaki yang pelan, mengendap-endap dan langkah kaki itu menuju ke arah ruang rias ini.
Jantung Gendis mencelos. Dia tidak sendirian, seseorang ada di luar, mungkin sedang mengawasi dan dia yakin, kali ini dia benar-benar tidak akan bisa lolos. Mata-mata Ndalem telah melihat segalanya. Gendis tidak perlu melihat sosok itu atau mendengar suara langkahnya lagi.
Derit halus pintu tadi, ditambah langkah kaki yang mengendap-endap menjauh, sudah cukup. Itu pasti Karto, si Abdi Dalem senior yang dikenal sebagai telinga dan mata Gusti Endah Suryawinata.
Keringat dingin membanjiri punggungnya, membasahi kain batik yang dia kenakan. Rasa takut itu kini bukan lagi bisikan, melainkan raungan yang memekakkan di benaknya.
Dengan gerakan panik, Gendis membungkuk, mengumpulkan kuas-kuas riasnya yang berserakan, memasukkan kembali ke dalam kotak. Tangannya gemetar begitu hebat hingga dia nyaris menjatuhkan kembali semuanya.
“Cepat, Gendis! Cepat!” perintahnya pada diri sendiri.
Diambilnya kotak rias itu dan memeluknya erat lalu bergegas keluar dari ruang rias itu. Dia tidak peduli lagi dengan siapa yang mungkin akan melihatnya sekarang, yang dia inginkan hanyalah kembali ke bilik, mengunci diri, dan berpura-pura bahwa malam ini tidak pernah terjadi.
Gadis itu berlari menyusuri koridor-koridor gelap, melewati pilar-pilar kokoh yang seolah menertawakan kebodohannya. Setiap bayangan, suara angin yang berdesir, terasa seperti ancaman. Dia tidak berani menoleh ke belakang atau berhenti, hanya terus berlari, napasnya tersengal hingga paru-parunya terasa terbakar.
Akhirnya, Gendis tiba di depan bilik. Dengan tangan gemetar, dia memasukkan kunci, memutarnya, lalu melesak masuk, mengunci pintu di belakangnya dengan bunyi klik yang memekakkan.
Gendis bersandar di balik pintu yang dingin, merosot ke lantai, memeluk kotak riasnya erat-erat. Dia memejamkan mata, mencoba menenangkan detak jantungnya yang masih menggila.
Bayangan Bagas, pengakuannya, sentuhan bibirnya di dahinya, kerentanannya yang begitu nyata, semua itu berputar di benaknya, bercampur dengan wajah Gusti Endah Suryawinata yang dingin, ancamannya yang tidak main-main, dan kini terlintas bayangan Lik Karto.
“Aku sudah gila. Benar-benar gila.”
Malam itu, Gendis tidak bisa tidur. Dia berbaring di pembaringannya yang tipis, matanya menatap langit-langit yang gelap, mendengarkan setiap bunyi Ndalem. Dia merasa seperti sedang menunggu hukuman.
Menunggu Gusti Endah Suryawinata mengetuk pintunya, menyeretnya keluar, dan menghukumnya atas dosa yang bahkan belum sempat dia lakukan sepenuhnya, tapi dia telah melanggar batas, dan di Ndalem ini, pelanggaran seperti itu tidak akan pernah dimaafkan.