Bertemu Lagi

984 Words
Jane melangkah menuju tempat parkiran dan mendekati mobil Honda jazz merah. Ia mengemudikan mobil lalu melajukannya menuju  sebuah tempat yang tak terlalu jauh. Tiga puluh menit kemudian, Jane menghentikan mobil tepat di depan gerbang sekolah. Dan tak lama seorang pria muda mendekati dan mengetuk jendela mobil disampingnya. 'Tok tok tok' Ia mengetuk pelan jendela sambil tersenyum. Jane membuka pintu di sampingnya. "Masuklah," ajaknya, membalas senyum pemuda tadi. Pemuda itu duduk disamping lalu mengecup kedua pipinya. "Sudah aku bilang gak usah jemput aku, Ma," ujarnya sedikit memelas. Jane tersenyum lalu mencubit pipi pemuda yang disinyalir adalah anaknya. "Mama kangen sama kamu, Yan," ujarnya. Ternyata pemuda itu adalah Ryan saputra, anak satu-satunya dari hasil perkawinannya dengan Thomas Li, pria berkewarganegaraan Singapura. Ryan mengelus pipinya yang terasa sakit dan meninggalkan bekas merah. Tapi Jane hanya tertawa kecil dan menyalakan mobil, membawanya ke suatu tempat favorit mereka. Setelah melalui sepuluh menit perjalanan, Jane menghentikan laju mobilnya tepat didepan sebuah rumah makan Padang. Rumah makan yang tak terlalu besar itu tepat berada di sebelah sekolah SMK Widya Utama. Sekolah gadis cantik yang Ryan temui saat di angkot tadi pagi. Tak ada lima menit, pelayan membawa lauk pauk yang ditaruh di kedua sisi lengan dan menghidangnya di atas meja. Ryan dan Jane, sesekali meneguk air liur melihat lauk pauk itu terhidang dan mengeluarkan aroma lezat. Tanpa menunda waktu, mereka melahap dan menikmati makan siang bersama yang jarang mereka lakukan. Jane tinggal di sebuah apartemen Jakarta Selatan, karena ingin dekat dengan tempat kerjanya sebagai produser. Sementara Ryan, menetap di rumah peninggalan mendiang ibunya yang berada di Bekasi bersama pengasuhnya, Mbok Surti.  Bagi Ryan, Mbok surti adalah ibu angkatnya. Sejak berusia 5 tahun hanya wanita itulah yang merawatnya dengan baik di Indonesia, walaupun ia hidup bersama neneknya, Mrs.Wang.  Saat itu Jane masih tinggal di Singapura sebagai asisten sutradara. Meskipun mereka menjalin hubungan LDR (Long distance relationship), setidaknya tiga bulan sekali, Jane pulang ke tanah air untuk menemui Ryan dan ibunya. Ryan tak merasa kekurangan kasih sayang dari kedua orangtuanya yang sudah bercerai. Selama tiga tahun ini ia bisa leluasa bertemu Jane walau tak setiap hari. Dan ayahnya juga sering menelpon dan memberi uang untuk keperluan pribadinya. Baginya, perceraian bukan alasan untuk hidup tidak bahagia dan menjadi korban broken home, dan semua itu tergantung sikap dari para orang tua. Menelantarkan anak atau tetap menjalin komunikasi. Seperti yang ia rasakan sekarang, tetap merasa hidup dengan baik walau orang tuanya sudah bercerai.. Sesudah makan Ryan mengambil sebatang rokok lalu menyulutnya. Jane tidak heran melihat anaknya merokok dan tidak bisa melarang karena pernah menjadi pecandu rokok ketika tinggal di Singapura dulu. Jadi, ia hanya bisa membiarkan Ryan menghisap rokok di depannya. Ryan menyodorkan sebungkus rokok pada Jane. Tapi Jane menolak. "Mama sudah berhenti merokok," ujarnya sambil mengeluarkan sesuatu dari dalam tas. "Habis kelulusan, kamu kuliah dimana, Yan?" tanya Jane. Ryan mengangkat kedua bahu. "Entahlah, Ma. Aku belum mikirin itu," jawabnya santai, memainkan gelembung asap rokok yang dikeluarkan dari mulut. Jane menyodorkan sebuah kertas pamflet. "Kuliahlah di Singapura, Yan," pinta Jane, lebih tepatnya memohon, "Disana ada kampus bagus dan orang Indonesia juga banyak kok." ujar Jane lagi, meyakini Ryan yang tertarik pada ilmu Design interior. Ryan meraih pamflet lalu membacanya. Setelah selesai, menatap Jane yang sangat berharap untuk kuliah dan berdekatan dengan ayahnya disana. "Bagaimana, mau?" tanya Jane dengan tatapan penuh harap. Ryan tersenyum tipis, tanpa bicara Jane sudah mengetahui jawabannya. "Gak usahlah, Ma. Aku kuliah disini aja. Di Jakarta banyak kok kampus yang berkualitas," tolaknya, sesuai dugaan Jane. Mendengar jawaban Ryan membuat Jane mendengus kesal dan kecewa, "Terserah kamu lah, Yan. Mama cuma nyaranin yang terbaik buat kamu aja. Kamu memang mirip papamu, keras kepala!" ucapnya ketus lalu bangkit dari kursi dan beranjak menuju kasir. "Ma, tunggu--" Ryan bangkit mengejar Jane yang menekuk wajah ke arah kasir. ❤❤❤ Beberapa jam kemudian Disebuah Toko grosir Ardi mempunyai sebuah toko grosir makanan dan minuman yang dikelola oleh Iwan, karyawan kepercayaannya. Terkadang Iwan dibantu oleh  Riska, yang menjadi kasir setelah pulang sekolah.  Seperti saat ini, Riska sibuk melayani pembeli yang memborong beberapa minuman,rokok atau beberapa biskuit kemasan. Keadaan toko memang selalu ramai dan kewalahan walau Ardi sudah menambah dua karyawan baru untuk membantu Iwan. "Rokok Sampoerna satu," pinta seorang pria yang sedari tadi mengantri. Riska mengangkat wajah dan terkejut melihat pria yang mengenakan jaket hoodie dan celana Levis ripped tak lain adalah Ryan. Pria yang selama dua tahun ini yang ia idolakan.  "Ryan?!" serunya dalam hati. Perasaannya menjadi campur aduk. Heran, bahagia dan berharap.. "Sampoerna satu," Ryan mengulangi ucapannya. "Eh? Ah iya, sebentar aku ambilin dulu," Riska menyahut sambil salah tingkah. "Calm, Ris. Calm! Kamu gak boleh grogi di depan dia!" seru batinnya lagi. Tangannya meraih sebungkus rokok lalu memberikan ke Ryan. "Dua puluh ribu," ujar Riska. Berusaha santai walau wajahnya spontan tertunduk malu. Ryan merogoh saku celananya. Karena terlalu dalam menaruh uang, ia mengeluarkan terlebih dulu Zippo di atas meja kasir lalu menyodorkan uang lima puluh ribu. Riska memberi uang kembalian, "Terima kasih."  Ryan tersenyum dan mereka sempat beradu pandang walau sebentar dan tak lama ia berlalu bergegas meninggalkan toko dan menaiki motor Kawasaki ninja nya dengan kecepatan sedang. "Apa aku sedang mimpi?!" Riska bergumam dan menepuk pelan kedua pipinya. Ini kedua kalinya dalam hari yang sama berjumpa dengan Ryan.Hatinya juga makin berbunga-bunga setelah beradu pandang dan Ryan tersenyum penuh makna. 'Tiing' Riska tertegun mendengar sebuah benda jatuh di lantai. Korek api. Ia spontan berlari keluar toko untuk mengejar Ryan tapi usahanya sia-sia. Pria itu sudah menghilang. Dengan langkah gontai dan memegang erat Zippo, ia kembali bergumam kesal. "Kenapa dia cepat banget sih perginya?!" "Siapa yang pergi, Neng?" tanya Iwan yang mendengar gumaman kesal Riska sambil mengisi rak dengan kopi sachetan. Riska tersenyum kecut dan menggeleng. "Eh? Bukan siapa-siapa, Mas. Tolong tutup toko ya. Aku mau ke rumah," pinta Riska. Iwan mengangguk setuju, "Siap, Neng." Riska beranjak dan berjalan menuju sebuah rumah yang tepat berada di sebelah toko. Rumah berlantai satu dengan model minimalis modern.  Tiba didalam, ia langsung masuk kekamar dan merebahkan tubuh di atas ranjang sambil memandangi Zippo milik Ryan. Senyumnya mengembang mengingat pertemuan hari ini dengannya, pertemuan yang membuat hatinya berdebar-debar. Dan Riska yakin akan sering berjumpa dengan Ryan lagi. Bukan sebagai penumpang pada angkot yang sama tapi sebagai.. yang lainnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD