Takdir Allah - Aisyah

2121 Words
‘Sahabat baik selalu tahu kalau kita sedang sedih. Meskipun kita tersenyum, tertawa, terlihat riang; dia tahu kita sedang sedih . Hanya dengan menatap mata kita.’  -Tere Liye Itaewon, Korea Selatan 28 April 2020 Aisyah mengikat rambutnya pony tail, ia melemaskan lehernya sembari meregangkan tangan. Ia merebahkan tubuhnya di kursi, memejamkan matanya yang terasa panas karena menatap layar komputer selama berjam-jam. Gadis itu menoleh ketika mendengar suara ketukan pintu. “Aisyah, meeting 15 menit lagi.” Aisyah mengerutkan kening ketika mendengar hal itu dari salah satu rekan kerjanya di kantor. Gadis itu berdiri, melihat jam dinding yang menunjukkan hampir jam 12 malam. “Rere, bagaimana kita bisa meeting di tengah malam buta seperti ini? bukankah semua orang sudah pulang?” tanya Aisyah bingung. Rekan kerja Aisyah yang bernama Rere itu menepuk keningnya, “Astaga, aku lupa memberitahumu tadi. Semua orang masih berada di kantor ini, termasuk general manager.” “Apa yang terjadi?” Rere menjelaskan permasalahan secara singkat kepada Aisyah. Jika, salah satu klien penting mereka tiba-tiba membatalkan kontrak kerja sama. Setelah menjelaskan, Rere pergi dari ruang kerja Aisyah. Aisyah bekerja di sebuah perusahaan yang bergerak dibidang industri hiburan, mereka memiliki banyak penyanyi baik itu solo ataupun group serta satu anak perusahaan khusus untuk model serta aktor/aktris. Bagi perusahaan mereka, investor adalah hal yang sangat penting. Jika, ada klien yang membatalkan kerja sama maka itu petaka. Aisyah sendiri bekerja sebagai social media marketing, dia memegang satu buah kelompok penyanyi yang sangat terkenal. Pekerjaannya sebagai social media marketing, tidak  bisa dianggap mudah atau di anggap susah, karena pekerjaan ini berhubungan langsung dengan penggemar karena pekerjaannya memiliki pengaruh yang besar bagi pertumbuhan dan imej perusahaan dan tentunya sang artis, Aisyahlah yang menjadi admin media sosial milik kelompok penyanyi yang ia pegang, memberikan berbagai konten dan menciptakan komunikasi yang baik terhadap penggemar dank lien perushaannya. Aisyah sendiri lulus dari Universitas terkemuka di Seoul, dengan keberuntungannya ia berhasil masuk dan bekerja di HIT Entertaiment, tempatnya bekerja sekarang. Perusahaan ini juga unik, mereka menerima orang asing seperti dirinya yang berasal dari Indonesia. Asal mereka memiliki nilai, kepercayaan diri serta yang paling penting adalah ketelitian. Bekerja di sebuah agensi seperti dirinya juga harus sangat berhati-hati, jika saja Aisyah ingin ia akan menjadi sumber dari orang-orang yang menjadi penguntit artis mereka, bayarannya lima kali lipat dari gajinya 1 bulan. Tapi, Aisyah tidak pernah ingin menjadi orang yang seperti itu. Selain ilegal, ia bisa dipenjara hanya karena tergiur dengan lembaran uang. “Aisyah! Meeting!” Rere kembali memanggilnya. Aisyah berdiri dengan gemas, mencubit pinggang Rere. Ia baru saja akan terlelap, kantung matanya sudah menghitam karena tiga hari begadang. Oh ya, Rere juga orang asing, ia berasal dari London, dia salah satu editor yang bertugas untuk mengedit dan menerbitkan video tentang kegiatan sang artis. Aisyah memperbaiki rambutnya, serta hoodienya yang terlihat kusut. Satu lagi, bekerja di agensi perusahaan tidak membuatnya harus memakai pakaian resmi seperti kemeja dengan rok selutut, mereka bebas memakai apapun sesuai dengan selerea fashion masing-masing, dan Aisyah suka memakai hoodie kebesaran tanpa bawahan. “Rambutmu panjang sekali. Mau kupotongkan?” tanya Rere. Aisyah menggeleng cepat, bahkan sangat cepat membuat Rere tergelak. “Enak saja!” Aisyah mengerucutkan bibirnya. Mereka sampai di ruang rapat, di sana sudah banyak orang yang terlihat memegang kepala, maupun yang mengetatkan rahang ataupun yang terlihat lesu. Aisyah dan Rere hanya duduk di kursi yang terletak di dekat pintu, kehadiran mereka tidak terlalu berpengaruh pada proses rapat, kasarnya hanya formalitas. Diskusi berjalan cukup tegang, Aisyah berkali-kali kaget karena tingginya suara masing-masing orang yang berada di ruangan itu. Masalah yang mereka hadapi memang serius, ada seorang salah satu aktor mereka yang melakukan kesalahan ketika film yang ia bintangi akan tayang, ia berada di sebuah pub ketika perkelahian terjadi di sana, walaupun bukan tersangka, keberadaannya di sana sangat di sorot oleh media. “Beruntung kita tidak jadi kehilangan klein. Bisa rugi miliaran jika mereka membatalkan kontrak, padahal proyek sudah jalan.” ucap Asiyah pelan, mereka sedang berjalan di koridor menuju ruang kerja mereka. Pihak mereka berhasil meyakinkan klien jika tidak ada efek yang berarti pada actor mereka dan akan berusaha menenggelamkan berita yang menyangkut pautkan aktor mereka agar tidak mempengaruhi film yang akan segera di rilis. Rere mengangguk, “Aku sih tidak terlalu tertarik, itu urusan petinggi perusahaan.” “Ck, kau ini. Jika perusahaan ini bangkrut bagaimana? Kita akan kehilangan pekerjaan dalam semalam.” Aisyah tidak terima dengan ucapan Rere. “Ampun bos, aku tidak bermaksud mengatakan itu.” ucap Rere sambil membuat tanda peace. Mereka masuk ke ruang kerja masing-masing, Aisyah melirik jam tangannya. Pukul 3 pagi, Astaga! Mana ada bus jam segini! ucapnya dalam hati. Aisyah membereskan barang-barangnya, menyampirkan tas itu dibahu lalu bersiap untuk pulang. Sebelum keluar, Aisyah memakai celana training panjang. Ia tidak ingin mengambil resiko sebagai sasaran empuk penjahat, apalagi ini sudah pagi buta. Di tengah perjalanan, menyapa sejenak beberapa karyawan yang baru pulang, Aisyah beruntung ia mendapat taxi duluan dan membuatnya sampai di rumah lebih cepat. “Ah, akhirnya sampai di rumah.” ucap Aisyah senang. Ia merebahkan diri di sofa. Lalu tersadar jika ia belum mengganti baju. Aisyah bangkit dengan kesadaran yang menipis, ia membersihkan diri lalu mengganti pakaiannya dengan baju tidur. … Aisyah sedang menyiapkan sarapan pagi, ia baru saja bangun setengah jam yang lalu karena sinar matahari menerpa wajahnya tepat pukul 10 pagi. Ia membuat nasi goreng dengan bahan seadanya dengan telur dadar. Tempat tinggalnya cukup luas, Aisyah bisa menyewa apartemen dengan tabungan yang selama ini ia kumpulkan. Tinggal di negara orang pasti sangat susah, seperti Aisyah saat masih mahasiswa baru, dulu. Ia tinggal di Goshiwon, atau bisa dibilang kos-kosan murah untuk mahasiswa yang berukuran 3,5 meter persegi yang dilengkapi dengan kasur, meja dan kursi dan rak buku serta penghangat ruangan. Goshiwon bisa memiliki kamar mandi ataupun jendela tetapi harganya akan lebih mahal dari harga normal. Jadi, dalam waktu 4 tahun Aisyah hidup dengan menggunakan kamar mandi bersama dan kamar tanpa jendela untuk menghemat pengeluaran, bayangkan bagaimana pengapnya. Sekarang, setelah pekerjaannya sudah tetap, Aisyah mampu menyewa apartemen. Jangan salah, menyewa apartemen di korea tidak semahal di Indonesia dan lebih murah dari pada menyewa rumah. Lalu sistem pembayaran di Korea juga sangat jauh berbeda, ia akan menandatangani kontrak dan juga membayar deposit untuk apartemen, deposit tiap apartemen akan berbeda tetapi Aisyah membayar hampir 65 juta dan jika masa sewanya akan berakhir maka uang itu akan dikembalikan kepadanya. “Yeoboseyo,” (Halo) Kening Aisyah berkerut, setahunya ini hari minggu. Tetapi, kenapa salah satu rekan kantornya menelpon? Aisyah mengangguk ternyata ada jadwal dadakan dari agensi yang harus di posting beberapa jam lagi. Aisyah berjalan menuju kamarnya mengambil Ipad lalu membukanya setengah tergesa. “Ne, jamsiman gidariseyo,” (Iya, Tunggu sebentar) Gadis itu menyambungkan airpods lalu memasang benda kecil itu ditelinganya. Jari-jemari Aisyah bergerak cepat di atas keyboard, setelah selesai mencatat semua yang penting, Aisyah menghela napas pelan. “Ne, Kamsahamnida.” (Iya, terimakasih) Aisyah menutup telepon lalu melanjutkan memakan sarapannya yang sudah dingin. Gadis itu menggulir layar Ipadnya pelan, membaca berita terbaru dari Indonesia. Tidak menemukan yang menarik, Aisyah kembali membuka pekerjaannya. Ia mulai berkonsentrasi sambil mengunyah makanan, lima belas menit kemudian Aisyah telah selesai merangkai kata-kata yang akan dia publish di akun official group penyanyi yang ia tangani. Setelah mengatur waktunya Aisyah meninggalkan ipad itu lalu beranjak untuk mencuci piring.  Aisyah terkadang memakai bahasa inggris maupun hangeul agar lebih mudah untuk berkomunikasi. Beruntung sekarang ia sudah fasih, jika mengingat saat mahasiswa dulu, ia lebih banyak ditertawakan karena salah ucap. Tiba-tiba bel apartemennya berbunyi, Aisyah segera mengeringkan tangannya lalu berjalan ke arah pintu. Gadis itu membuka pintu setelah tahu siapa yang mengunjunginya. “Kirain belum bangun,” Rere berucap pelan, mengganti sepatunya dengan sandal rumah. Aisyah terkekeh, “Yah, sekitar 1 jam yang lalu. Mau minum apa, Re?” “Apa aja deh,” jawabnya sembari merebahkan diri di sofa. “Air keran, mau?” Rere seketika terduduk, menatap Aisyah kesal. “Jus deh kalau gitu.” “Katanya apa aja?” tanya Aisyah menggoda Rere. Rere mengeuk jus jeruk yang diberikan Aisyah, “Ya, nggak air keran juga.” Aisyah tergelak, “Nanti malam jadi ke pub?” “Nggak ah, bosan nggak ada yang bisa dilihat kecuali bartender sama orang mabuk. Ganti ke club, yuk di sana lebih enak buat cuci mata.” ucap Rere sembari menonton drama yang sedang tayang di tv. Aisyah mengangkat bahu tak acuh, “Jadi, kemana dulu? Nggak mungkin kita sepagi ini udah clubbing.” “Street food dulu. Sudah lama aku ngak makan diluar.” ucap Rere menaik turunkan alisnya. Aisyah mengerucutkan bibir, “Yah, pakai baju double dong.” Mau tidak mau, Aisyah setuju saran Rere karena tidak mungkin mereka makan dipinggir jalan dengan hanya menggunakan pakaian minim. Jika mereka melakukannya bisa jadi mereka akan ditangkap polisi. Sementara ini, mereka akan menonton drama maraton. Hitung-hitung refreshing karena beberapa minggu ini mereka selalu bekerja tanpa berlibur. Crash Landing on You, drama romantis tentang seorang tentara dari Korea Utara dan wanita kaya dari Korea selatan yang tersesat di sana. Mereka menonton drama itu hingga pukul tujuh  malam, setelah menghabiskan 2 kotak ayam goreng dan minuman bersoda. Mereka lalu membersihkan diri, bersiap untuk makan diluar, walaupun sudah menghabiskan dua kotak ayam, bagi mereka itu hanya cemilan. “Jalan kaki?” Tanya Rere. Aisyah mengangguk, “Sekalian olahraga. Lumayan, bisa sehat.” Rere mendengkus kesal, padahal dia bawa mobil. Mereka berjalan santai menuju tempat street food, walaupun Itaewon terkenal dengan café atau restoran terkenal, ada juga yang berjualan street food, walaupun tidak seterkenal Gwangjang Market dan Myeongdong. Aisyah memakai dress selutut dengan tas kecil untuk menyimpan dompet dan ponselnya. Ia tidak membawa baju ganti, menurutnya dress yang ia kenakan cukup cocok untuk bersenang-senang di club malam. Di dalam perjalanan, tiba-tiba mereka melihat dua orang wanita memakai hijab. “Eh, ada orang muslim.” Celetuk Rere spontan. Aisyah menoleh ke arah yang ditunjuk Rere, tepat di sana ada dua orang yang sedang berfoto ria di depan sebuah café. “Aduh, Re. Jangan keras-keras, nanti mereka dengar.” Protes Aisyah. Rere cemberut, “Memangnya kenapa, kan aku benar, mereka orang islam karena pakai hijab.” Aisyah mengangguk pelan, bukan perkara benar atau salahnya tetapi tidak sopan jika suaranya terdengar oleh mereka, bisa tersinggung. Mereka masih menatap kedua wanita itu hingga di ujung belokan, Aisyah yang paling memperhatikan mereka lalu menghela napas sebelum mengalihkan pandangannya. Rere yang mendengar Aisyah menghela napas seketika melirik gadis itu, “Kenapa?” “Nggak,” jawab Aisyah pendek. Rere mengangkat bahu tak acuh, lalu melanjutkan perjalanan mereka. Baginya jika Aisyah tidak ingin bercerita, maka bukan haknya untuk memaksa gadis itu, ia hanya menunggu sampai gadis itu bercerita kembali, yang ia tahu gadis di sebelahnya ini adalah orang islam, terlihat jelas dari nama Aisyah. Mereka sampai di salah satu gerai yang menjual odeng, teokbokki dan minuman dingin. Aisyah selalu menyukai odeng atau bisa juga di sebut eomuk, kuahnya sangat luar biasa. Inilah salah satu makanan yang sangat ia sukai saat masih mahasiswa. Aisyah melirik Rere yang sedang memakan tteokbokki, tiba-tiba dia merasa Rere sangat pengertian dan tidak memaksanya untuk bercerita, padahal gadis itu sangat terbuka kepadanya. “Re,” Rere hanya berdehem pelan menjawab panggilan Aisyah, gadis itu fokus dengan makanannya. Aisyah bingung harus mengucapkan apa, “Apa kau tidak pernah penasaran? Maksudku, tentangku?” Rere menengadah lalu mengerutkan kening, “Penasaran? Tentu saja aku sangat penasaran. Tapi, aku menghargaimu karena itu hakmu untuk bercerita atau tidak.” Aisyah menghembuskan napas pelan. “Kalau tidak mau cerita, tidak masalah. Jangan terpaksa hanya karena kita melihat orang tadi.” Rere berdiri untuk menambah porsi tteokbokki ketiga kalinya. Rere benar, Aisyah memikirkan wanita tadi dan pikiran it uterus saja berputar di kepalanya. Tapi, entah kenapa Aisyah ingin bercerita kepada Rere, di antara rekan kerja yang lain di kantor, dia hanya nyaman berteman dengan Rere karena gadis itu easy going. Aisyah menatap Rere, “Mungkin kau sudah menebak-nebak sejak lama, aku memang orang islam.” “Kalau itu aku sudah tahu, sangat kentara dari namamu, Aisyah Syafiqah. Semua orang yang juga tahu nama itu adalah nama islam.” Ucap Rere. “Aku penasaran dengan hal lain, tetapi itu adalah privasimu. Aku tidak bisa semudah itu bertanya. Masing-masing orang berhak untuk tidak menceritakan sebuah hal kepada teman mereka walaupun mereka dekat.” Lanjut Rere kemudian. Aisyah kembali menghela napas pendek, “Kau penasaran kenapa aku tidak berpakaian sama seperti yang kedua wanita itu gunakan tadi?” Rere meletakkan kembali teokbokkinya ketika akan memasukkannya ke dalam mulut, menatap Aisyah lalu mengangguk pelan. Dari yang Rere ketahui, orang islam itu diwajibkan untuk memakai pakaian yang tertutup dan hanya memperlihatkan wajah dan telapak tangan. Rere memperoleh informasi itu dari internet, di zaman sekarang dengan kecepatan internet yang sangat tinggi dan semua informasi yang ingin diketahui hampir smeuanya sudah berada di dalam internet, orang-orang hanya perlu berusaha untuk mencarinya dan menyaring informasi yang ditemukan, memilah apakah itu informasi yang benar ataupun tidak. “Bisa dibilang, aku ini hanya islam KTP.” Aisyah terkekeh, walaupun sebenarnya itu sama sekali tidak lucu. “…aku sangat jarang memakai pakaian tertutup seperti itu, bahkan ketika aku berada di Indonesia dulu.” Tatapan mata Aisyah tampak menerawang, ia kembali mengingat saat ketika ia masih bersekolah di Indonesia, ia juga memakai pakaian seperti yang ia pakai sekarang, mengenyampingkan kewajiban yang harusnya ia lakukan. “Kalau dulu saat ditanya pertanyaan yang sama, aku akan menjawab belum siap dan jawabanku untuk sekarang masih sama. Memakai pakaian tertutup seperti itu bukan hanya tentang memakai pakaian tertutup, Re. Tetapi, harus menaja sikap dan sifat dan yang jelas aku sekarang belum mampu, kapan-kapanlah, aku masih ingin menikmati masa muda.” Rere terkekeh pelan mendengar jawaban Aisyah, benar, menikmati masa muda adalah hal yang berharga karena waktu berjalan dengan sangat cepat, jika tidak menikmatinya, mereka akan menyesal.    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD