Dear Mr. Doctor

“Aduhh—pelan-pelan dong, setan!”   “Mulut cantik lo kalau lagi nggak dipakai menyumpah tuh jadi makin cantik deh, Mil.”   “Bisa diem, nggak?!” Bagaimana mulut Milda tidak dipakai menyumpah kalau yang harus Milda hadapi saat ini adalah jelmaan setengah iblis dengan wujud laki-laki tampan mengenakan jas putih khas rumah sakit dan stetoskop melingkari lehernya seolah mempertas statusnya yang merupakan seorang dokter. Lebih tepatnya, dokter super mega menyebalkan bernama Revin. “Obatin aja kaki gue, nggak usah pakai banyak omong!”   “Lagian siapa suruh lari-larian pakai heels? Takut ketahuan ya tadi abis cium—”   “REVIN!” Milda kali ini menjerit. Atau lebih tepatnya meneriakkan nama dokter gadungan di hadapannya saat ini. Oke, Revin memang dokter betulan, tetapi kelakuannya yang kekanakkan membuat gelar Sp.A di belakang namanya seperti hanya hiasan belaka. “Udah deh gue obatin sendiri aja sini!” Setelah melepaskan bekapan tangannya dari Revin, Milda merampas kapas berisi alkohol dari tangan Revin hingga membuat lelaki itu tertawa.   “Buat apa punya pacar dokter kalau pas luka malah ngobatin sendiri?”   “Pertama, luka gue cuma lecet kecil jadi nggak usah lebay sampai harus diobatin dokter segala.” Milda berkata tanpa menoleh ke arah Revin yang masih senantiasa menatapnya dengan tangan terlipat di d**a. “Kedua, lo bukan pacar gue!” Kali ini, Milda mengatakannya dengan berapi-api.   Seketika atmosfer di antara mereka berubah. Suasana menjadi lebih hening dari sebelumnya. Begitupun dengan tatapan Revin. Oniks milik lelaki itu yang sejak tadi jenaka mendadak berubah menjadi tajam menatap Milda seolah ingin mengulitinya. “Terus lo sebut apa hubungan ini kalau bukan pacaran?” tanyanya serius.   Milda bergeming sebelum kemudian memutuskan kontak mata mereka.   Milda bukanlah perempuan penakut. Tetapi Revin yang serius juga bukanlah tandingan yang tepat.   Musuh. Beberapa bulan yang lalu, Milda mungkin bisa dengan lantang mengatakan bahwa dirinya dan Revin adalah musuh. Mereka bahkan sudah menjadi musuh sejak sama-sama duduk di bangku sekolah dasar. Tetapi kenapa saat ini lidah Milda mendadak kelu. Mereka masih musuh, kan?   Musuh yang menghabiskan malam bersama? Berbagi pelukan dan ciuman serta saling mengeratkan genggaman tangan saat suhu udara mendingin? Musuh macam apa?   Revin yang sejak tadi setengah bersandar pada meja konsultasinya kini menegakkan tubuh. Lalu dalam hitungan detik lelaki itu sudah berdiri begitu dekat di hadapan Milda yang masih senantiasa duduk di atas sofa bed milik Revin yang ada di ruangan pribadinya.   Bahkan Milda berada di ruangan pribadi Revin di rumah sakit tempat lelaki itu bekerja dan masih bisa-bisanya mengatakan—meski dalam hati—bahwa mereka adalah musuh? Oh dan juga fakta bahwa empat puluh lima menit yang lalu keduanya baru saja melakukan satu sesi make out panas di sana. Milda pasti sudah gila.   Iya, gila karena dokter tampan yang juga seharusnya menjadi orang yang paling Milda benci di hadapannya inilah yang telah mengacak-acak kewarasan dan juga perasaannya.